Agama, Perjalanan, dan Tuhan…
Oleh : Candra Ponco
Terbiasa sebagai orang yang sering begadang, setiap malam saya selalu pergi mencari tempat tongkrongan, kadang di warung kopi dekat rumah maupun tempat tempat makan di pinggir jalan. Bukan sebuah tempat istimewa atau tempat mewah karena kantong saya selalu pas pasan.
Saya pun pernah nongkrong di tempat mewah, cafe berkelas meskipun tetap karena ada iming-iming gratisan. Bertemu dengan teman yang suka berdandan necis, teman yang suka berbaju koko, tetapi lebih seringnya nongkrong dengan teman berpenampilan sederhana.
Dari aktivitas nongkrong ini saya menemui beragam cerita dari masalah politik, agama, sejarah hingga pembahasan keseharian yang saya alami. Terkadang curhat masalah pribadi hingga rasan-rasan orang lain.
Saya juga bertemu dengan berbagai macam karakter orang. Ada yang paham agama, suka bicara politik, suka mengeluh, orang cerdas dengan wawasan yang luas maupun seseorang yang cukup berperan sebagai pendengar saja karena tak memiliki bahan untuk dibicarakan.
Saya sendiri adalah seorang muslim walaupun tak bisa dikatakan taat dalam beribadah, sholat juga selalu bolong bahkan 5 waktu pun sering terlewati semua dalam sehari. Bila sholat Jumat adalah kewajiban seorang pria yang harus dilakukan, saya pun sering tak mengerjakannya baik secara tak sengaja ataupun disengaja.
Ketika saya sesekali sholat Jumat di masjid, mungkin bagi banyak orang mendengarkan khotbah Jumat dari para ustad atau para kyai yang sudah memiliki gelar haji bisa mendekatkan diri kepada Tuhan. Tetapi hal itu tidak berlaku bagi saya.
Dalam kehidupan bermasyarakat juga biasa saja. Lingkungan tempat tinggal saya kebanyakan adalah muslim, tak heran apabila sering diadakan tahlilan. Bagi sebagian orang tahlilan adalah cara bersyukur kepada Tuhan sehingga dengan mengikuti tahlilan dan membaca surat Yasin bisa mendekatkan diri kepada Tuhan. Tetapi ternyata hal itu juga tidak berlaku bagi saya.
Begitulah biasanya saya dalam hal ibadah dari dulu sampai sekarang, sehingga bila ada yang mengajak saya ke acara pengajian sering saya tolak. Ataupun diajak ke acara majelis taklim dengan berbagai macam pembicara yang ahli agama lulusan dari Mesir dan negara Arab lainnya juga belum mampu membuat saya begitu dekat dengan Tuhan.
Acara pengajian di televisi malah lebih parah lagi, berbagai acara pengajian di televisi pun tak membuat saya tertarik. Dari ustad sampai ustadah, mulai dari yang serius maupun dengan gaya humornya belum juga mampu membuat saya dekat dengan Tuhan.
————————————————————————–
Saya suka dengan kegiatan alam bebas, mulai dari naik gunung hingga masuk dalam gua. Sehingga berbagai kegiatan lapangan atau kegiatan fisik lebih sering saya lakukan.
Tapi akhir-akhir ini saya lebih suka bersepeda motor, entah bagaimana ceritanya ketika melakukan ini saya mendapatkan ide untuk menulis yang berupa pengalaman perjalanan ataupun sebuah tulisan tentang kegelisahan-kegelisahan yang saya lihat dan rasakan.
Pernah saya bersepeda motor di Sulawesi Selatan mulai dari Makassar menuju Kota Bone menuju Wajo melewati Maros, ataupun dari Makassar hingga Kota Mamuju dengan jarak sekitar 300km. Saya juga pernah bersepeda motor pulang pergi dari Surabaya hingga kota Sumbawa Besar dengan jarak total 1500km.
Tapi yang menarik dari itu semua adalah ketika saya bekerja di Bali sebagai sales sehingga harus berkeliling dengan sepeda motor. Di situlah saya menemukan Tuhan dengan cara sederhana dan mengalir begitu saja. Semua pertanyaan yang mengalir di pikiran saya begitu saja mendapat jawaban yang bila boleh Ge eR adalah jawaban dari Tuhan.
Seperti kata Cak Nun yang pernah saya dengar, “Bertemu Tuhan ya jangan berharap menemukan sebuah wujud karena hanya hatimu yang bisa merasakannya”. Sehingga yakinlah saya bahwa apa yang saya alami sewaktu di Bali adalah jawaban dari Tuhan kepada saya.
—————————————————————————–
Suatu ketika di malam menjelang dini hari, saat saya merasakan lapar dalam perut ini, saya mampir di salah satu warung penyetan biasa saja di pinggir jalan di Surabaya. Penjualnya berpenampilan sangar, bertato dan bertindik di telinga bersama dua orang lainnya yang berpenampilan sederhana bercelana pendek seperti kebanyakan warung jalanan lainnya.
Salah satu pelayan warung disitu mengganti saluran radio hingga akhirnya menemukan lagu sholawat dan langsung memperbesar volumenya. Meskipun mendapat olok-olok dari temannya dengan enteng dia mengatakan, “aku lo seneng sholawatan”, sambil tertawa girang dan mengejek temannya, sambil terus memperbesar volumenya hingga lagu selesai.
Melihat fenomena tersebut entah bagaimana caranya saya kembali bertemu Tuhan di tempat itu dan bahkan memberi tahu sebuah ayat suciNya :
“Allah-lah yang menundukkan laut untukmu agar kapal-kapal dapat berlayar di atasnya dengan perintah-Nya dan agar kamu dapat mencari sebagian dari karunia-Nya dan agar kamu bersyukur.
Dan Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya. Sungguh, dalam hal yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berpikir”.
(QS.Al-Jaatsiyah,45:12-13)
Semua khotbah pernah saya dengar, semua pengajian yang saya lihat di televisi, semua lagu lagu religi yang booming saat bulan Ramadan, atau pengajian sholawatan para habib, tak mampu mempertemukan saya dengan Tuhan. Namun ternyata Tuhan menunjukkan diriNya di sebuah tempat yang sepele, warung penyetan yang penjualnya berpenampilan sangar, bertindik dan bertato.
Candra Ponco : Salah satu penggiat BangbangWetan yang hobi berpetualang di alam bebas. Bisa disapa di akun twitter @cow431