Rahim

Anak, Investasi atau Amanah?

Oleh : Mashita Charisma Dewi Eliyas

“Bu, target saya, anak ini selulus TK sudah bisa membaca, ya!” Itulah kalimat yang sering saya dengar dari wali murid ketika mendaftarkan anaknya ke Taman Kanak-kanak (TK). Sebenarnya sah-sah saja ketika orang tua mempunyai sebuah target yang baik untuk anaknya: dalam hal ini sudah bisa membaca selulus TK. Apalagi yang nanti akan diujikan untuk masuk ke Sekolah Dasar adalah ujian mampu membaca. Akan tetapi, berhasil tidaknya target tersebut tetap kembali pada kemampuan masing-masing anak. Untuk itulah diperlukan kerja sama antara orang tua di rumah dengan guru di sekolah.

Saat ini, terkadang orang tua dan guru sering lupa bahwa setiap anak mempunyai kemampuan masing-masing. Seperti pengamatan saya sebagai seorang guru yang mengajar di sebuah sekolah, saya menemukan perilaku unik dari masing-masing anak. Misalnya, ada beberapa anak yang tampak tidak pernah mendengarkan apa yang saya ajarkan, tetapi ketika di rumah dia tanpa diminta akan mengerjakan tugas-tugasnya. Ada pula anak yang sepertinya selalu mengerti dan meng-iya-kan apa yang saya bicarakan, tetapi ia selalu mengulangi hal-hal yang telah dilarang untuk dikerjakan. Bahkan, ada seorang anak yang bisa mengerjakan dua kegiatan sekaligus, bermain dan belajar ia lakukan dalam waktu yang bersamaan. Melihat hal tersebut, seharusnya diperlukan perlakuan khusus untuk masing-masing anak. Namun, yang terjadi selama ini di sekolah adalah seorang guru biasanya menyamaratakan metode pembelajaran bagi setiap siswanya.

Saya pernah berdiskusi dengan salah satu Jamaah Maiyah yang berprofesi sebagai guru, kami berdiskusi panjang tentang pendidikan dasar seorang siswa. Pendidikan dasar seorang siswa yakni tahu bahwa ia diciptakan Tuhan, maka kita wajib berdoa dan bersyukur kepada-Nya, saling menyayangi sesama, dan peduli terhadap lingkungan sekitar.

Kerja sama antara orang tua dan guru sangatlah dibutuhkan untuk mendidik anak. Orang tua tidak bisa menyerahkan sepenuhnya pengajaran anak kepada guru di sekolah, karena guru memiliki keterbatasan waktu dan ruang yang membuatnya tidak bisa mendidik secara maksimal. Orang tualah yang bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan setiap anak.

Maka hendaknya setiap orang tua juga memiliki ilmu. Setidaknya, ilmu untuk tidak membanding-bandingkan kemampuan anak, karena setiap anak mempunyai kemampuan istimewa dan akan menemukan kemampuannya masing-masing di saat yang tepat pula. Tugas kita sebagai pendidik dan orang tua adalah berusaha semaksimal mungkin untuk memfasilitasi mereka untuk belajar dengan metode yang tepat. Juga yang tidak boleh terlupa adalah berdoa agar Sang Pencipta  menitipkan ilmu kepada anak-anak kita.

Usia berapa pun anak-anak bisa membaca, menulis, dan berhitung tetaplah usia terbaik menurut kemampuan yang mereka miliki. Jangan merasa memiliki dan berkuasa pada anak lantas kita bisa menuntut mereka untuk melakukan hal yang orang tua inginkan. Karena pada hakikatnya anak bukanlah investasi yang bisa dipanen semau kita, anak adalah amanah Allah yang harus kita jaga sebaik mungkin.

Penulis adalah Jamaah Maiyah asal Sidoarjo yang berkecimpung dalam bidang pendidikan anak usia dini serta aktif menulis .Bisa disapa di akun instagram @sitaeliyas

Leave a Reply

Your email address will not be published.