Arini, Para CEO, dan Bu Direktur Yang Terhormat
Oleh : Budi Rustanto
“Aduh, yo opo iki? Diterimo gak enak, ditolak sungkan,” Arini bingung. Jarang-jarang dia menampilkan kebingungan seperti sekarang ini. Mungkin sudah saatnya dia bingung. Sebab, direkturnya itu punya ide untuk memutasi tempat di mana dia bekerja. Dengan iming-iming kenaikan jabatan. Yang bikin lebih bingung, sebenarnya bos Arini itu siapa? CEO yang—secara tidak langsung—menggaji dia, atau direktur kantor outsourcing yang langsung jadi atasannya? Nah, loh.
Untuk ukuran kantor outsourcing yang perusahaan induknya berjalan dengan budaya patriarki lumayan kental, hebat juga direktur Arini bisa menjabat sebagai dewan direksi cukup lama. Like, forever. Meh!
Arini itu perempuan cerewet, tapi, tegas. Yang kelihatan, sih. kapan lalu, dia ngomel ke orang-orang hanya karena berebut makanan gratis seharga lima ribu rupiah. Bukan masalah gratisnya, tapi, antrean mereka sudah merusak tanaman yang sudah susah payah dirawatnya. Mentang-mentang lokasi pembagian gratis itu di perusahaannya dan yang sibuk antre itu para CEOnya. Apalagi di perjanjian kontrak, tidak disebutkan ada S.O.P sesi rusak-rusakan tanaman. Jelas Arini ngomel-ngomel!
Kok bisa, demi gratisan lima ribu rupiah, mereka merusak dan menginjak-injak sesama makhluk ciptaan Tuhan. Coba kalau dibalik, para CEO itu yang diinjak-injak demi lima ribu rupiah, apa ya, mau? Wong sekarang harga-harga pada gila. Belanja lima ribu dapat apa? Eh, sebentar. Bukan harganya yang gila, tapi, sekelompok orang yang kerjanya menentukan harga pasar seenak udel. Ya, merekalah yang gila.
Sekelompok orang gila ini sudah tahu, kalau di perusahaan induk tempat Arini bekerja itu banyak CEO yang kere, bisa-bisanya menentukan harga di atas batas beli mereka. Tapi, ya, ini CEO-CEO kere, keményék juga, lho! Sadar kalau dirinya kere, kok, lagaknya mirip bos-bos perusahaan besar. Duitnya single, kebutuhannya double, keinginannya triple. Ujung-ujungnya jadi kaya lagu Bang Rhoma: Gali Lobang Tutup Lobang.
Mbok ya o, sesekali diterapkan ilmu ekonomi soal primer-sekunder-tersier. Mana kebutuhan, mana keinginan. Mereka itu keményék, apa optimis, sih?
Kembali ke Arini. Sebetulnya dia merasa bertanggungjawab dengan perusahaan tempatnya bekerja. Karena dia sempat punya omongan kalau tidak ingin pindah, sok-sok merasa merdeka dan berdaulat. Cuma, akhir-akhir ini Arini suka bawa-bawa Tuhan. “Kalau Tuhan menghendaki saya pindah perusahaan, saya pasrah,” begitu katanya. Ah, itu sih, bukan maunya Tuhan, Arini. Tapi, maunya direktur kantor outsourcing-mu. Bu direktur sepertinya tidak suka sama anak baru di perusahaan sebelah. Baru jadi karyawan beberapa bulan, sudah naik jabatan jadi manajer. Gara-garanya, manajer sebelum anak baru itu, pindah ke perusahaan induk yang lebih bonafit. Jadi Kepala Cabang pula! Otomatis, anak baru—yang jadi wakilnya—menggantikan.
Anak baru ini, beberapa orang menganggap kalau dia semena-mena. Suka bentak-bentak gitu, deh. Terusnya, dia mau (atau sudah?) terima tender reklamasi. Itu, lho, bikin gedung di atas sungai yang ditimbun pasir. Padahal sungai itu sumber kehidupan CEO di sekitarnya. Kalau di atasnya ada gedung, mereka jadi tidak bisa memancing dan menjala. Anehnya, banyak yang happy-happy (baca: mendukung). Entah pura-pura atau happy dengan sebenar-benarnya. Bahkan, para CEO happy itu mendirikan semacam LSM yang diberi nama @temanAnakbaru. Ada-ada saja, ya?
Dan kalau sudah pro-kontra begini, para CEO itu biasanya mengeluarkan jurus ampuh cum andalan, namanya Lempar Fitnah Sembunyi Nyali. Di perusahaan Arini dan si anak baru, sih, ini hal biasa. Dibilang antek asing, liberal, komunis, yahudi, teroris, feminis, misoginis, seksis, bid’ah, halal darahnya, kafir, sampai semua istilah yang mereka ciptakan sendiri dan belum ditulis di dalam buku panduan. Padahal nih, padahal, mayoritas dari mereka cuma tahu sedikit dari istilah-istilah yang dituduhkan itu. Malah, ada yang nol sama sekali.
Dan karena kontrak jabatan manajer cuma 5 tahun, jadinya bu direktur dan jajaran eselon tinggi memanas-manasi agar Arini mau menggantikan posisi si anak baru. Sebentar lagi si anak baru masa aktifnya habis. Petinggi-petinggi perusahan outsourcing itu bekerja sama dengan juru ketik dan juru foto, agar berita Arini VS anak baru itu dibaca dan diperhatikan banyak orang. Dicitrakan seolah-olah mereka itu bermusuhan. Yah, hitung-hitung cari muka dan dukungan.
Berkat juru ketik dan juru foto ini, mau tidak mau, CEO dari dua perusahaan jadi ikut terlibat. Sudah biasa itu. Mereka, ‘kan, gampang banget diprovokasi. Kasih umpan sedikit, BLAR! Kobong sak oyot-oyot’e!
Beberapa CEO di perusahaan si anak baru, terlihat happy dengan wacana Arini yang hendak berkompetisi memperebutkan jabatan manajer. Mereka tertarik dengan kerja Arini di perusahaan sebelah. Perusahaan yang sebelumnya acak-adul karena supervisornya kurang becus, jadi terlihat ada peningkatan di beberapa bidang sebab campur tangan Arini. Omong-omong, Arini juga sering membantu tukang parkir menata mobil-mobil. Mungkin, CEO sebelah jadi simpati. Tapi, perusahaan sebelah memang suka begitu, main comot saja.
Sebenarnya, tidak mengapa jika CEO dari dua perusahaan ini jadi terlibat. Karena sejarah menyatakan, mereka memang sering berinteraksi. Yang utama, dalam olahraga sepak bola. CEO Arini, bisa dikatakan sebagai pelopor suporter yang mendukung timnya hingga ke luar daerah. Di mana kau berada, di situ kami ada. Begitu penggalan liriknya.
Cuma, ya, namanya juga suporter. Ada yang bijaksana, ada pula yang seperti anak TK. Yang TK hobinya ribut melulu. Sedikit-sedikit hajar, pentung, lempar. Suporter tugasnya, ya, support, mendukung. Ini malah tawuran. Syukurnya, sekarang sudah jarang terjadi. Sebab mereka bertambah bijaksana? Ini karena tim sepak bola di perusahaan Arini sempat terjadi dualisme kepemimpinan. Akhirnya perusahaan sepak bola tidak memasukkan tim perusahaan Arini ke kompetisi. Dan, dengar-dengar, para CEO ini meminta pihak perusahaan sepak bola untuk memasukkan tim sepak bola Arini ke dalam kompetisi.
Andai memang Arini menerima timangan CEO perusahaan sebelah, maka, mau tidak mau, dia harus meninggalkan perusahaan tempatnya—saat ini—bekerja. Tawarannya oke, lah. Dari supervisor, naik jabatan jadi manajer. Hanya saja, CEO di perusahaan Arini, apa ya bisa legawa? Seminggu yang lalu saja, mereka ramai-ramai mengumpulkan tanda tangan di lokasi Car Free Day. Rasa-rasanya, di negara tempat Arini tinggal, petisi-petisi itu hanya senilai terasi. Dan mungkin, yang namanya CEO itu, sepertinya hobi mengumpulkan. CEO di perusahaan anak baru itu, kemarin-kemarin mengumpulkan satu juta KTP, lho. Katanya untuk membantu anak baru maju sebagai manajer lagi.
Padahal sudah jelas, kalau mau menang kompetisi yang begini ini, harus diajukan direktur-direktur outsourcing. Ada, sih, beberapa tahun lalu yang maju atas rekomendasi CEO. Tapi, ya, persentase menangnya tidak lebih dari 5%.
Perusahaan induk tempat Arini bekerja memang agak-agak nganu. CEO kalah sama direktur outsourcing. Bahkan kalah sama karyawannya! Karyawannya kaya raya, naik mobil dikawal, jalanan harus steril, ke luar negeri dibayarin perusahaan. CEOnya? Halah, kredit motor baru 1 tahun saja sudah ditarik leasing. Mungkin, gara-gara mereka kepincut sistem demotrasi. Makanya para karyawan pada bau!
Dengar-dengar juga, perusahaan Arini baru saja merobohkan—yang katanya—téténgér cagar budaya. Lho, lho, apa ini? Kalau masih mau kerja, hambok dirawat itu—yang katanya—cagar budaya.
Arini, Arini. Kalau kamu saja tidak paham siapa bosmu sebenarnya, bagaimana hendak menentukan sikap akan tunduk pada keputusan siapa? Masa Tuhan kau ajak berpolitik.
*Budi Rustanto : Jamaah BangbangWetan. Pembelajar di mana saja, termasuk di Maiyah. Bisa disapa di alamat email : boeingr13@gmail.com