Metaforatma

BangbangWetan; Rumah Bagi “Umat Protholan”

Oleh: Fahmi Agustian

(untuk 12 Tahun Bangbangwetan)

 

Maiyah adalah way of life. Di Maiyah, setiap hari kita selalu diajarkan untuk bersikap jujur, untuk melatih diri bertransformasi menjadi lebih baik. Kira-kira itulah kalimat yang disampaikan oleh Syeikh Nursamad Kamba pada BangbangWetan edisi September 2017. Ya, tepat satu tahun lalu, pada momen ulang tahun ke-11 BangbangWetan.

 

Mendeskripsikan Maiyah sebagai way of life mungkin sukar. Jika ada orang yang belum mengenal Maiyah, dan mereka bertanya tentang Maiyah, tidak mudah bagi kita untuk mendefinisikan dan menjelaskan makna Maiyah kepada mereka. Kebanyakan dari kita akan mengambil shortcut, kemudian menyampaikan kepada mereka yang bertanya; “Ikut saja dulu Maiyahan, nanti akan paham sendiri apa itu Maiyah.” Sebuah jawaban yang paling mudah, daripada kita pusing menjelaskan makna tentang Maiyah kepada orang yang baru mengenal Maiyah.

 

Salah satu hal yang terngiang di benak saya tentang BangbangWetan adalah sosok alm. Cak Priyo Aljabar. Saya lupa kapan pastinya, beberapa tahun yang lalu, ketika saya masih tinggal di Yogyakarta, pada sebuah edisi Mocopat Syafaat, saat itu Cak Priyo hadir dan berbicara di panggung. Salah satu ungkapan yang cukup populer saat itu adalah “Umat Protholan”. Cak Priyo menggambarkan “Umat Protholan” itu seperti buah yang jatuh dari pohon. Pada setiap buah yang jatuh, tidak semuanya matang, terkadang ada yang masih muda, juga ada yang sudah busuk. Seringkali, buah yang seperti itu dilupakan oleh manusia, dianggap sampah, tidak ada manfaatnya.

 

Term “Umat Protholan” menurut Cak Priyo Aljabar adalah salah satu realitas masyarakat kita. Manusia hidup dengan berbagai latar belakang, tidak semuanya menjalani kehidupan dalam jalur yang lurus, bahkan sepertinya jika benar-benar kita telaah, tidak ada satu pun manusia yang menjalani kehidupan di dunia dalam situasi yang baik-baik saja. Ibarat jalan, pasti ada lubangnya, ada tanjakan dan turunan, ada tikungan, dan di beberapa titik ada sedikit tanggul. Untuk menjaga agar manusia tetap berada di jalur yang benar, maka dibuatlah rambu-rambu, ada marka jalan, ada traffic light, ada zebra cross, dan lain sebagainya.

 

Kenapa Maiyah diterima oleh banyak orang, bukan hanya karena suasana forumnya yang egaliter, tetapi juga memang di Maiyah tidak ada mekanisme administrasi yang baku seperti forum-forum majelis ilmu kebanyakan. Di Maiyah bahkan tidak ada seragam. Peci Maiyah yang sering disebut sebagai salah satu identitas Maiyah saja tidak seluruhnya Jamaah Maiyah mengenakannya di setiap Maiyahan.

 

Egaliternya Maiyahan juga merupakan refleksi dari perjalanan Cak Nun, guru kita di Maiyah. Siapapun yang datang kepada Cak Nun, asalkan dengan niat yang baik, tulus, dan ikhlas pasti diterima juga dengan baik. Dan itu teraplikasikan dalam Maiyahan. Silakan datang ke Maiyahan, temukan sendiri kenyamanannya, kenikmatannya, dan kegembiraannya dalam ber-Maiyah.

 

Apa yang digambarkan oleh Cak Piryo tentang “Umat Protholan” itu gambaran yang nyata. Tidak semua masyarakat kita memiliki latar belakang pendidikan agama yang baik. Cak Nun melalui Maiyahan menyentuh ruang-ruang yang tidak tersentuh oleh para ustaz, ulama, kiai yang ada kebanyakan. Yang dibutuhkan oleh masyarakat bukanlah penghakiman, bukan justifikasi, apalagi putusan hukum yang kemudian dianggap sebagai fatwa yang tidak bisa diganggu gugat. Yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah kebijaksanaan dari seorang ulama yang mampu menenangkan hati. Dan Cak Nun mampu melakukan itu di Maiyahan.

 

12 tahun BangbangWetan berproses, menemani masyarakat Surabaya dan sekitarnya. BangbangWetan hadir untuk mengakomodir “Umat Protholan” yang disebut oleh Cak Priyo Aljabar itu. Esensi dalam memahami Islam bukan terletak pada seberapa khusyuk kita sholat, sebarapa rajin kita berpuasa, sebarapa banyak zakat yang kita tunaikan. Ibadah mahdhloh memang menjadi sebuah kewajiban bagi setiap kita yang beriman kepada Allah, tetapi konsep ibadah tidak sesempit ibadah mahdhloh semata.

 

BangbangWetan hadir mengakomodir saudara-saudara kita yang tidak memiliki latar belakang pemahaman Islam yang baik. Bukankah Allah sendiri juga berfirman di dalam Al Qur’an; wa man kaana yarju liqoo’a robbi fa-l-ya’mal ‘amalan shoolihan, walaa yusyrik bii ‘ibaadati robbihi ahadaa. Jelas disampaikan, jika kita berkehendak untuk bertemu dengan Allah, syaratnya adalah berbuat baik dan jangan mempersekutukan Dia dengan sesuatu apapun.

 

Maiyah sebagai way of life seperti yang dijelaskan oleh Syeikh Nursamad Kamba mungkin juga bisa dipahami dalam konteks yang sederhana seperti itu. Maiyah selama ini tidak pernah ada fatwa atau doktrin apapun kepada setiap jamaahnya. Setiap jamaah yang hadir di Maiyahan memiliki kedaulatan dan kemerdekaan yang penuh terhadap setiap informasi yang mereka dapatkan. Tidak ada kewajiban bahwa mereka harus patuh 100% kepada Cak Nun, Cak Fuad, atau juga kepada Syeikh Nursamad Kamba sebagai Marja’ Maiyah. Sama sekali tidak.

 

Yang selalu ditekankan oleh para Marja’ Maiyah adalah bagaimana caranya agar kita semua menemukan kenikmatan dalam berbuat baik. Seperti keresahan yang juga pernah disampaikan oleh Syeikh Nursamad Kamba, bahwa Islam hari ini lebih sering dimunculkan oleh para ulama sebagai institusi. Islam ditafsirkan oleh kelompok-kelompok tertentu, yang kemudian Islam hanya dipahami secara sempit berdasarkan kesepakatan dari masing-masing kelompok itu sendiri. Dan masing-masing merasa paling benar Islamnya, paling baik Islamnya.

 

Tentu saja, BangbangWetan tidak hanya selesai perjalanannya di angka 12 tahun. Perjalanan BangbangWetan masih sangat panjang. Dan semoga, BangbangWetan, juga Simpul Maiyah yang lain mampu menjadi rumah bagi siapa saja yang datang, tidak terkecuali para “Umat Protholan”. Salam takzim untuk alm. Cak Priyo Aljabar.

 

Selamat ulang tahun, BangbangWetan!

 

Penulis merupakan penggiat Kenduri Cinta. Bisa disapa di akun twitter @fahmiagustian