Berbukalah dengan ke-ADIL-an
Prolog BBW Juni: “Berbukalah dengan ke-ADIL-an”
KATA “adil” sungguh sangat mahsyur. Ia bisa kita jumpai di perbincangan bapak-ibu dan anak-anaknya, di persekolahan tingkat rendah hingga susunan gading yang jadi menara, di koran dan majalah yang kian risau akan keberlangsungan masa depannya serta pastilah di meja dan kursi nyaman mereka yang merasa terhormat dengan sebutan wakil rakyat.
Kata “adil” dengan demikian menyangkut hampir semua aspek kehidupan. Tanpapun negara dan lembaga-lembaga penyertanya, kata ini akan tetap kita temukan, pakai, upayakan dan perjuangkan.
Menilik pada tragedi Qoyin dan Habil, serta teori yang dikemukakan Aristoteles, terminologi “adil” berusia sama dengan keberadaan manusia. Secara sederhana, setiap manusia memiliki naluri untuk mendapatkan perilaku dan berada dalam tatanan adil. Sebaliknya, karena “kepurbaannya” pula maka memperbincangkan adil dan keadilan sama peliknya dengan menjadikan manusia sebagai obyek diskursus dan pembahasan.
Adil sebagai kata sifat memiliki pasangan hidup. Sebuah kata benda yang selalu menyertainya: keadilan. Kalau adil merujuk pada bagaimana sebuah tindakan kebijakan atau keputusan diambil maka keadilan terhubung dengan tatanan yang tercipta akibat perilaku adil itu. Keadilan adalah satu rangkaian logis sesudah adil.
Hukum sebenarnya adalah satu bagian saja dari beberapa bidang kehidupan dan wilayah pembahasan. Kalaupun adil dan keadilan banyak dihubungkan dengan hukum, ini merupakan suatu rangkaian wajar saja dari apa yang secara kasat mata ditangkap orang kebanyakan. Pertanyaannya selalu saja: apakah produk hukum sudah memenuhi aspek keadilan? Apakah tindakan dan keluaran perangkat hukum sudah adil? Adil dan memberi dampak pada terciptanya keadilankah semua yang datang dari jajaran para pengeloala negara atau pemerintahan?
Namun ada baiknya juga kita pertanyakan kembali apakah sebagai awam kita juga sudah atau setidaknya berupaya adil pada diri kita sendiri, pada lingkungan dan sesama di kanan kiri? Dan, ini yang terlihat semakin berat, adil dalam mengerti dan memahami posisi serta upaya yang telah dilakukan negara dan aparatnya.
Di Senin malam ketiga Ramadan ini, kami mengajak dulur-dulur memperbincangkan kembali dua kata tadi: adil dan keadilan. Tidak usah memaksakan munculnya kesimpulan apalagi solusi. Hangatnya obrolan kita sudah menjadi catatan tak ternilai bagi perbaikan pemahaman dan kesadaran di wilayah tempat mulai memancarnya matahari pagi.