Bersikap Baik Pada Diri Sendiri
Saya termasuk orang yang percaya bahwa perbuatan baik memengaruhi pertumbuhan ke dalam maupun ke luar. Pergerakan kita di masa depan mungkin bukan hanya ‘berjihad’ melawan kemungkaran, namun berjuang istiqomah berbudi baik serta menyebar hanya kebaikan dan cinta kasih.
Sebenarnya ini pertanyaan sejak lama: “Mengapa seseorang bisa menjadi sangat antagonis?” Saya tumbuh dengan kedua orang tua yang paling pertama mewanti-wanti untuk tidak berbuat seenaknya. Tidak bisa semau sendiri menginginkan sesuatu, kalau tidak ada, ya tidak boleh memaksa. Keberadaan orang lain menjadi obyek serius untuk diwaspadai. Maksudnya, sepanjang hidup harus berusaha tidak mempermalukan diri sendiri dengan sikap-sikap yang tidak patut. Gak ilok – begitu istilahnya.
Maka Ibu saya sedari kecil bahkan sudah menegur ketika saya mencicipi suguhan saat bertamu sebelum pemilik rumah mempersilakan. Ayah memilih untuk mengatakan, “Ya sudah, dimaafkan saja. Sabar..” saat saya yang masih berusia 7 tahun pulang dan mengadu sambil menangis, karena tidak dipinjami mainan. Baik Ayah dan Ibu saya, dan semua orang tua, untuk selamanya adalah guru bagi anak-anaknya. Mereka pengingat pertama, supaya jalan menyimpang kita kembali menuju tujuan yang lurus.
Sekarang bagaimana? Terakhir kali diingatkan untuk mencium tangan guru, meski tidak sedang bertemu di sekolah adalah ketika SMA. Selepas itu keputusan-keputusan terkait etika dan moralitas dilepas begitu saja, tergantung seberapa berhasil seseorang mengambil pelajaran dari pengalaman hidupnya. Ini berlaku di semua aspek. Keputusan untuk berempati, berbagi, merasa malu, mau bekerja-sama, dan berbagai sikap seseorang yang berkaitan dengan orang lain sepenuhnya menjadi tanggung jawab diri sendiri. Beruntung bagi mereka yang telah dewasa, sebelum akhirnya terlepas dari ‘pengingat-pengingat’ dan bersosialisasi dalam masyarakat. Sebab jika tidak, maka dia harus siap menerima penghakiman atau menjadi bagian dari keresahan akibat ketidak-dewasaannya.
Dalam interaksi sosial, masyarakat kita sebenarnya sudah punya pagar-pagar budaya. Kesadaran moral individu diwujudkan dalam bentuk pengertian kapan seseorang bisa diam dan kapan bisa bicara, menempatkan diri dan menempatkan orang lain. Misalnya ada istilah-istilah dalam Jawa ada Isin (rasa malu dan merasa tidak nyaman), Sungkan (merasa perlu berjarak lingkungan), dan Wedi (merasa khawatir bila terpisah bagian dirinya dengan lingkungan). Tentu semua itu bukan sekadar teori tekstual yang mesti dirapal setiap hari di bangku sekolah. Namun, dipatri dalam peristiwa sehari-hari.
Seumur hidup kita berlatih mengenali pagar-pagar diri. Sampai sejauh mana presisi perhitungan perilaku terhadap orang lain sehingga menambah khazanah untuk lebih memahami. Menemukan cara-cara baru untuk memperbaiki keadaan dan seterusnya. Ini semua semacam berlaku baik pada diri sendiri, karena betul-betul mengenalinya. Tugas bersambung tersebut turun-temurun terpelihara oleh manusia sebagai makhluk terbaik Allah, yang memiliki Intuisi –meminjam istilah Syaikh Kamba- yakni potensi terbesar manusia untuk kompatibel dengan ayat-ayatNya. Beliau juga menyebut pentingnya intuisi sebab terkait langsung dengan kebangkitan nurani. Keduanya adalah daya kontrol sekaligus daya dorong bagi manusia agar tetap berada pada rel kebaikan dan kebajikan.
Maka menjawab pertanyaan diri saya sendiri di awal: “Mengapa seseorang bisa menjadi sangat antagonis?” adalah bahwa dalam dirinya terdapat potensi hikmah yang bisa kita olah sebagai pelajaran hidup bahwa pada apa saja di luar diri hanya refleksi ayat-ayat untuk kita baca. Pada akhirnya, terbiasa merasakan apa yang orang lain rasakan, menemukan nuraninya di hati yang bersih, sehingga mampu memantulkan Cahaya Allah ke luar.
Saya termasuk orang yang percaya bahwa perbuatan baik memengaruhi pertumbuhan ke dalam maupun ke luar. Pergerakan kita di masa depan mungkin bukan hanya ‘berjihad’ melawan kemungkaran, namun berjuang istiqomah berbudi baik serta menyebar hanya kebaikan dan cinta kasih. Sekali waktu saya ingat kata-kata Mbah Nun: “Dendam itu boleh, asal outputnya kebijaksanaan.” Beliau saat itu menasehati betapa nikmat memiliki hati yang bahagia di zaman ini. Pada sekian banyak peristiwa oleh manusia yang pada akhirnya mengecewakan kita, harus tetap punya ketahanan kondisi hati yang baik. Sehingga, tetap saja apa yang keluar dari diri kita adalah kebaikan pula.
Dalam konteks Maiyah, barangkali kita tidak lagi harus mencari momentum tanggal tertentu untuk merayakan kasih-sayang; Mencari-cari alasan untuk berbuat baik dan berbagi kebaikan. Semangat Maiyah bukan ‘mengajak berbuat kebaikan’ secara mentah saja, namun juga mengenali konsekuensi laku diri. Perlahan-lahan menyadari bahwa apapun perbuatan pasti Allah terlibat. Sebab Maiyah (sebagaimana kata Maiyatullah) adalah bersama Allah. Adakah waktu di mana kita tidak berada denganNya? Adakah sanggup hidup kita tanpa Kemurahan CintaNya?
Oleh :Dalliyanayya Ratuviha.
Jamaah Bangbang Wetan yang ninggal jejak di ratuviha.tumblr.com.