Kolom Jamaah

Bilamana Sepak Bola Tanpa Gawang Bag. 2

Oleh: Rifi Hadju

 

“Kalau tujuan sepak bola di penjuru dunia ini hanyalah sekadar menceploskan bola ke jala selebar 8 yard, buat apa menangis segala, wahai anak muda?” lantang seorang bertopi pet putih itu dari yang tak terjangkau mata.

Osvaldo Haay menjengkangi kesedihannya, memburu suara yang menusuk telinga. Stadion telah kelam, tak bergelora seperti sebelum senja, sebelum gawang yang hilang ditelan tak sampai sekedipan mata. Bola mata Haay mengitari selingkaran tribun stadion dan menemukan seseorang bertopi pet putih, tak jelas wajahnya – terhijab keremangan. Haay memutarkan badannya, matanya menjumpai seseorang bertopi pet putih yang masih menikmati sandarannya di single-seat tribun VVIP Gelora Bung Tomo.

Seorang bertopi pet putih itu masih mengasyiki sebatang rokoknya yang tak sedikitpun memendek walau sedari tadi diisapnya. Haay juga masih memandanginya dari kejauhan. Haay mengacuhkan seorang bertopi pet putih itu. Ia lebih memilih memungut si kulit bundar, beranjak dan berjalan memasuki lorong – tak mengacuhkan seorang bertopi pet putih itu yang mendadak terbahak-bahak. Keras sekali.

Ia agak sempoyongan menyusuri lorong menuju locker-room untuk mengambil bawaannya yang ternyata ditinggal oleh rekan setimnya yang lebih dulu kembali ke mess pemain dengan kawalan ketat aparat keamanan. Di sepanjang lorong, satu dua lampu sehat menyala, sekian lainnya remang dan sekian sisanya padam. Haay agak merinding, sebenarnya. Namun rasa itu tertutupi oleh penyesalan yang menurutnya, andai ia dua tiga detik lebih cepat menendang si kulit bundar dan gol, mungkin skor sementara akan menjadi 2 untuk Persebaya dan 3 untuk lawannya, sebelum gawang ditakdirkan hilang.

Rencananya, sendirian ia pulang. Entah semampunya menyusuri jalan, nggandol kendaraan, atau kalau ada yang percaya kalau ia winger andalan Persebaya, ada yang berkenan mengantarkannya. Rencana hanya rencana. Rupanya, pintu stadion terantai mati. Di balik pintu telah terbalut police-line yang membentang mengitari muka stadion. Haay mendadak bingung setengah mati. Mendadak ia terbayang yang tidak-tidak. Haay berteriak-teriak, menggoyang-goyang pintu, meninju-ninju badan pintu, bermaksud meminta bantuan dari siapapun yang mendengarnya, mencari jalan keluar bagaimanapun caranya. Si kulit bundar yang sedari tadi dihimpit di ketiaknya lepas, menggelinding membelakanginya.

“Begini, anak muda. Hakikat sepak bola yakni memasrahkan seluruhnya, sebanding lurus dengan kehendak -Nya. Kau sudah melakukannya?” celetuk seorang bertopi pet putih itu yang telah berada di belakang Haay, lihai men-jugling si kulit bundar yang menggelinding.

Haay tercengang lagi-lagi. Seorang bertopi pet putih itu seakan menghantuinya. Namun ia adalah satu-satunya orang yang bersama Haay di dalam stadion yang tengah terkunci mati. Itu yang mengganjal berat di pikirannya.

“Maaf, anda siapa?” ujarnya menetralisir gebu, berusaha tenang.

“Pertanyaanku sama. Kalau tujuan sepak bola di penjuru dunia ini hanyalah sekadar menceploskan bola ke jala selebar 8 yard, buat apa menangis segala, wahai anak muda?”

Seorang bertopi pet putih itu menghentingkan jugling, sedikit mengangkat topi pet putih yang merungkuk dari kepalanya. Ia mengumpan si kulit bundar itu kepada Haay yang tengah terpatung.

“Kalau kau enggan menjawabnya, ayo ikut kembali ke lapangan.”

“Tapi anda masih belum menjawab, anda siapa?”

“Perlu apa?” sergah seorang bertopi pet putih itu sekaligus menggiring Haay kembali ke dalam lapangan yang terakhir Haay dapati bertahan remang.

Seorang bertopi pet putih itu memintas ketika mendapati tulisan “Wani” di sepanjang tembok lorong pemain. “Anak muda, sepak bola itu Wani.”

“Bapak, eh, Paman, eh, Anda, sebelumnya maaf. Saya ini sedang terguncang. Gawang hilang, pas saya mau shoot ke sana. Lalu ada keriuhan. Dihentikan. Bapak datang begitu saja. Menertawakan saya, menceramahi saya, menanyai saya ini itu. Asal bapak tahu, saya pemain sepak bola profesional. Saya bekerja, keluarkan semua kemampuan yang saya miliki untuk tim yang saya bela.”

Seorang bertopi pet putih itu terbahak sebahak-bahaknya. Ia memilih sedikit mengalah kepada Haay, meringankan kemisteriusan Haay kepadanya. Soegiarto, sebut namanya.

Arkian mereka berdua duduk menyandar di tiang bench pemain. Soegiarto, seorang bertopi pet putih itu berkata-kata. Anggapnya, sepak bola di penjuru dunia hanyalah urusan cepat-cepatan dan banyak-banyakan menggetarkan jala gawang lawan sekaligus mengusahakan agar tak kemasukan gol sebisa mungkin. Berlomba untuk menang, menolak keras seri, apalagi kalah, bagaimanapun caranya. Kalau perlu, gunakan cara tertentu, yang penting, lawanmu pulang tertunduk malu.

“Sepak bola adalah ketika kamu melakukannya, kamu merasa bahagia. Andaipun harus menangis, tangisan ialah bagian dari kebahagiaan. Sepak bola yakni perjuangan, perjuangan memelihara keikhlasan.”

“Maksudnya?” bingung Haay.

Soegiarto meminta Haay berdiri dan menendang si kulit bundar sekeras-kerasnya. Si kulit bundar terbang melambung ke angkasa, jatuh ke lingkaran tengah lapangan. Ketika Soegiarto menanyakan apa yang Haay rasakan saat sebelum dan sesudah, Haay menggelengkan kepala. “Hambar,” katanya. Soegiarto memintanya mengulangi lagi. Tujuh kali, sebelas kali, dua puluh satu, empat puluh satu, seratus tujuh puluh kaki. Haay ngos-ngosan. Ia merunduk, menyekam lutut. Keringat yang sempat kering melancur lagi.

Soegiarto sedari tadi bersandar di tiang bench, beranjak menjemputnya ke tengah lapangan. Berjalan santai menggiring si kulit bundar itu – mendekati Haay. Ia menepuk-nepuk punggung Haay. Sedikit meringis, bermuatan salut dan maklum. Ia salut dengan kerja keras Haay yang melakukannya. Ia juga maklum dengan Haay yang masih muda, masih belum memiliki jangkauan yang menggenapi.

Soegiarto menendang mak klutik si kulit bundar ke arah lorong masuk.

“Bola itu tidak marah ketika ratusan kali kamu tendang tanpa arah yang jelas. Ia tidak protes, tidak menentang kakimu. Ia pasrah, bola itu yakin, kemanapun ia dilempar, ditendang, itu adalah takdir tujuannya. Dan kamu wahai anak muda, yang membuatmu muda lelah adalah karena kamu menendang pakai kaki dan bukan pakai hati. aku masih menyuruhmu 170 kali, belum 4444 kali. Tendanglah bola itu dengan hati, sebagaimana ia yang sepenuh hati dikoyak kesana kemari.”

“Lantas, anak muda, apa yang kau tangisi dari gawang yang hilang kalau kau tahu…, gol sejati dari sepak bola adalah ketika kau mampu menautkan kehendak Tuhan, hatimu dan keikhlasan bola yang sedang menyepi di pojokan itu?” lanjutnya.

Haay semakin tenggelam pada ketidakpahaman. Soegiarto memahami ketidakpahaman Haay atas kata-katanya. Ia meminta Haay memungut si kulit bundar sekali lagi dan memintanya menceploskan si kulit bundar ke gawang.

“Hah? Gawang? Bapak bercanda?!”

“Toleh belakangmu.”

Haay lagi-lagi dan lagi dipaksa tersentak. Gawang yang hilang itu menancap gagah di tempatnya, persis sebelum tadi sore ia menerima umpan membelah lautan dari Aryn Williams. Haay bertanya-tanya, mendedas siapa sebenarnya Soegiarto. Soegiarto tegas mendedas Haay segera menendang si kulit bundar itu ke gawang. Haay melaksanakan tugasnya dengan baik. Si kulit bundar bersarang di gawang yang menggemparkan Indonesia.

“Saya Soegiarto. Pemain Persebaya yang gugur saat pertempuran 10 November 1945.”

Haay menyengap. Soegiarto mengusap muka Haay sebelum ia lenyap. Wajah Haay pucat pasi. Gelora Bung Tomo berimbuh sepi.

 

Penulis Min Turobil Aqdam, Tadabbur Cinta & Gadis Pattani Dalam Hati, bagian dari Cak & Ning Surabaya 2018, Bondo Nekat. Bisa disapa di @rifihadju