Kolom Jamaah

(Bukan) Bajing Loncat – Amul Huzni (5)

Kemlagen #17

Oleh: Samsul Huda

Jarak Surabaya – Beratkulon pp terasa begitu dekat. Itulah rute perjalanan sekaligus bagian dari hidup dan kehidupan saya sebagai santri di tahun 80-an. Kenapa? Ya, karena saking seringnya saya ke Surabaya. Ketika tidak ada lagi uang di tangan, saya ijin Kyai untuk kerja di Surabaya.

Perihal izin ini, Kyai tidak selalu memberikannya. Pasalnya, jadwal bisa nyambi kerja hanya bisa dilakukan hari Jum’at sesuai dengan libur mingguan kami. Berangkat hari Kamis sore sehabis sekolah (sekolah masuk jam 12.30 – 17.00). Kembali dari Surabaya Minggu pagi. Artinya, saya mengajukan izin tidak masuk sekolah di hari Sabtu.

Untuk biaya transportasi, baik pergi maupun pulang, hampir selalu saya tidak pernah mengeluarkan uang dari kantong. Saya gunakan jalur dan metode nunut, mencari tumpangan. Etape pertama adalah rute dari Beratkulon menuju Kedungsari, Betro, Gobah atau Gedek. Tergantung dari tujuan mereka yang berbaik hati menyediakan tumpangan. Nama-nama daerah tersebut menjadi tujuan pertama karena banyak truk yang memuat pasir hasil tambangan sungai Brantas  untuk dikirim ke Surabaya.

Sesampainya di salah satu tempat di atas, saya minta izin sopir truk untuk bisa numpang. Hampir semua truk pasir mengarah ke Surabaya. Turunnya di Surabaya menyesuaikan daerah yang dituju. Turun dari truk, saya berganti moda. Naik angkot atau berjalan kaki menuju tempat kerja. Tergantung jauh dekatnya jarak dari penghentian truk ke tempat kerja.

Begitu juga saat kembali pulang ke pondok di Beratkulon. Saya cari gandolan truk yang menuju ke Mojokerto. Nggandol truk berarti naik truk bak terbuka dengan tanpa izin sopirnya.

Lokasi terbaik untuk bisa mendapatkan gandolan adalah perempatan “bangjo” stasiun Wonokromo yang mengarah ke kota Malang atau Sidoarjo. Kalau ternyata truk yang digandoli tidak menuju ke Mojokerto maka saya turun di perempatan Waru. Dari sini, saya cari gandolan lain yang mengarah ke barat.

Tak jarang, truk arah Mojokerto tak kunjung datang. Di situasi ini, saya cari gandolan seadanya atau naik angkot jurusan Malang kemudian turun di perempatan Waru. Sama seperti langkah sebelumnya,  dari sini saya cari gandolan truk ke arah barat / Mojokerto.

Karena sering nggandol, saya sampai punya semacam feeling atau intuisi. Hal ini penting karena ada truk yang lewat dalam kota Mojokerto atau langsung ke Gedek. Mendapatkan truk jurusan Gedek adalah satu keberuntungan karena jaraknya  ke Pondok hanya 2 km. Dengan demikian, saya cukup berjalan kaki. Tidak perlu cari nunutan lagi untuk sampai Pondok

Suatu ketika, saya mengalami ketidakberuntungan. Sesampainya di Mojokerto, pada setiap perempatan lampu lalu lintas yang dilalui truk saya lampunya menyala hijau. Akibatnya, truk tidak berhenti, hanya mengurangi kecepatan dan saya tidak bisa turun.

Saya mengetuk-ngetuk ruangan supir dengan tangan namun dia tidak mau memberhentikan truknya. Supir terus menjalankan truk hingga perempatan Mojoagung Jombang, daerah yang sudah “di luar jangkauan”. Di sana, lagi-lagi, supir hanya memperlambat lajunya saja. Saya ketuk-ketuk kembali namun truk tetap berjalan kencang. Sejak dari Surabaya, sopir ini memang ngebut seperti harus segera kejar setoran.

Putus asa dan menyerah, saya ikuti saja kemana truknya berhenti. Saya tidak punya pilihan. Mau melompat, tidak punya nyali. Akhirnya, sekitar jam 19.00, truk  sampai di tujuan akhir. Saya turun namun lupa bagaimana proses turun dan percakapan dengan sopir serta awak truk. Saya tidak tahu sedang berada di daerah mana dan mau numpang tidur dimana. Yang pasti, daerahnya cukup sepi, kawasan pedesaan. Tidak terlihat angkutan penumpang di jalan.

Belakangan saya sadari bahwa tempat itu masuk wilayah Kecamatan Wates Kabupaten Kediri. Daerah yang dikenal dengan nanasnya. Sekian tahun kemudian, jalan menuju Wates menjadi rute kesukaan istri saya setiap kali menjenguk ketiga anak kami di pondok pesantren Al Falah Ploso dan MMQ Kodran Lirboyo Kediri. Kami melewati rute Mojoagung, Mojowarno, Ngoro, Kandangan, Pare, Kediri. Perjalanan yang juga saya jadikan momentum nostalgia romantika hidup di  41 tahun lalu, tahun 1984 dengan membonceng istri naik sepeda motor.

Ada lagi pengalaman nggandol yang lebih “apes”. Waktu pulang dari pondok, karena tidak punya uang akhirnya cari tumpangan. Dari pondok ke rumah di Lamongan butuh setidaknya  tiga kali nunutan. Dari pondok ke Kemlagi, Kemlagi ke Mantup, Mantup ke rumah di Keduk-Sambeng, Lamongan. Jaraknya sekitar 30 km.

Ceritanya, saat sampai di Mantup menjelang waktu Maghrib, cuaca mendung, nampaknya hujan akan segera turun. Lewatlah satu mobil pick up dan mau memberi tumpangan. Sesampai di desa saya, suasana sudah gelap dan hujan rintik-rintik. Saat itu PLN belum masuk desa. Jalan raya juga rusak berat.

Ketika sampai di pertigaan Loji, sekitar 200 m dari rumah, saya turun dari mobil yang berjalan pelan tanpa memberitahu sang sopir. Saya terjatuh dalam posisi terlentang, nggeblak. Kepala bagian belakang bocor. Untungnya tidak parah. Kemudian saya berjalan pulang. Sesampai di rumah, pintu tertutup. Saya ketuk pintu sambil uluk salam. Emak–panggilan untuk Ibu saya–menjawab dan membukakan  pintu. Kami berdua berpelukan. Tangan kanan Emak saya gapai dan saya taruh di kepala bagian belakang. Beliau merasakan basah di kepala saya melihat darah di telapak tangannya. Seketika Emak menangis dan memeluk saya semakin erat.

Kemudian saya ceritakan peristiwanya.

Kenapa saya bisa nggeblak? Padahal mobil berjalan sangat pelan dan baknya juga rendah. Ternyata cara saya turun salah. Saya duduk di pintu bak mobil dengan membelakangi mobilnya kemudian turun pelan-pelan dengan kedua kaki secara bersamaan. Mestinya, saya harus melompat dengan satu kaki kiri sambil membelakanginya kemudian kaki kanan menyusul turun untuk menjaga keseimbangan.

Satu kenangan dan pengalaman pahit yang akhirnya menjadi pelajaran hidup sangat indah.

Surat Al-Ankabut (29) Ayat 69

وَٱلَّذِينَ جَـٰهَدُوا۟ فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلْمُحْسِنِينَ

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.

—oOo—

Penulis adalah santri di PP Roudlotun Nasyi’in, Beratkulon-Kemlagi dan PP Amanatul Ummah Pacet. Keduanya di Mojokerto. Mengaku sebagai salah seorang santri di Padhang mBulan, penulis bisa ditemui di kediamannya di dusun Rejoso-Payungrejo, kecamatan Kutorejo, Kab. Mojokerto

2 thoughts on “(Bukan) Bajing Loncat – Amul Huzni (5)

  1. Semoga istiqomah bermanfaat dan barokah untuk anak cucu dan anak-anak idiologis saya

  2. Sugguh terharu melihat perjuagan para santi” yang tak pernah lelah untuk mencari ilmu …
    *Dan di pimpin sama ustad. samsul huda yang begitu tegas terhadap murit /santri” begitu rindunya degan suwasana pesantren ….
    Semoga untuk para ulama yai semua di beri panjag umur sehat
    Di jauhkan dari hal” yang tak wajar…amin):

Leave a Reply

Your email address will not be published.