“Bukan (sekedar) Cinta Tersurat Untuk Gambang Syafaat”
Waktu memang “berdarah dingin”. Dilibasnya apa saja tanpa sedesir apapun suara. Dilaluinya segenap fenomena dengan tak sepatahpun kata.
Ini juga yang kurasa ketika Desember sampai di bilangan dua puluh lima. Satu panca warsa sudah kujalani kembali hidup di kota yang pernah kulewatkan bersama Ultraman, kelereng, dan kawan-kawan lama. Namun tanggal ini sungguh tak bisa luput dari penuhnya muatan kepala.
Dua tahun pernah kulalui bersama mereka yang kategori kenalpun masuk dalam ranah “baru saja”. Meski demikian, kesamaan gelombang membuat kami seolah adalah saudara-saudara sedarah yang kembali dipertemukan oleh satu “ketidaksengajaan” yang sejatinya adalah keaengajaan yang diatur oleh Sang Maha Tunggal. Meski sedarah, kami datang dari kultur dan milleu yang jauh berbeda.
Perbedaan pertama yang kasat mata adalah gaya interaksi kami. Budaya Ujung Galuh yang terbuka, apa adanya dengan bumbu-bumbu ujaran bernada kasar bersua dengan tata krama pengendapan halus ala Ki Pandan Aran. Kecenderunganku untuk mengungkapkan segalanya tanpa proses pengolahan harus direduksi oleh pengungkapan yang serba sublim, penuh pertimbangan, dan diwarnai kiasan-kiasan.
Di kota yang banjir demikian akrab dengan sebagian besar warganya itu, banyak hal menetap di perbedaharaan sadar dan pikirku. Tentang tauhid, sebuah kata asing yang bertahun kupertanyakan maknanya, kini tercerna nyaris sempurna. Pengesaan Dia yang “paling genap diantara yang ganjil” serta cara terbaik menjadikannya manifes hidup adalah urutan pertama.
Berikutnya, dengan “terpaksa”, harus kuakui dan terus kupelajari tentang sebaneka karakter manusia. Bukan itu saja, aku juga mesti cermat mensikapi dan mengambil posisi di aneka warna kepriadian manusia.
Pada saat yang sama, aku mesti melanjutkan pengenalan akan karakter ini ke dalam tindakan aktif bernama kepengasuhan. Bab ini, sebelumnya, adalah pekerjaan yang mustahil kulakukan. Mengerti, memahami, dan berdamai dengan banyak orang untuk kemudian memberinya akomodasi yang wajar membuat Simpang Lima menjadi sebuah tempat yang namanya memberi makna, setidaknya bagi khasanah pemahamanku.
Meski mungkin ada kesan berlebihan, kata “abadi” juga masuk ke dalam kantong kesadaranku. Bagaimana energi–baik atau buruk–akan memberikan imbasnya adalah uraian sederhana tentangnya.
Gambang Syafa’at, di delapan belas tahun usiamu, hanya terima kasih yang kutitipkan lewat satu persatu tangga di Mesjid Baiturrahman. Setia dan tangguhmu bertahan di langkah-langkah menuju kepastian di seantero ketidaktentuan adalah tenaga yang menjadikan Ndok Warak dan Bajul ljo dengan asyik melanjutkan paseduluran.
ISIM BangbangWetan