Cadar
Oleh : Prayogi R Saputra
Suatu sore, Doktor Panut mengajak istrinya, Kenyung, Cempluk dan Thole makan bakso di Waroeng Bakso Jozzz, Wirosari. Dalam rombongan kecil itu, Janda ikut-ikutan nimbrung di jok belakang. Sekedar numpang mengisi perut yang sejak pagi belum diisi. Bakso Jozzz membangun warung semi permanen di pojok perempatan kecil di lokasi yang jarang diakses publik. Di bawah pohon beringin yang telah berusia ratusan tahun, Bakso Jozzz seperti ingin menegaskan dirinya sebagai bakso yang lejen di seluruh wilayah Wirosari.
Penjual bakso di Wirosari terkenal mager untuk melayani pembeli. Indikasinya adalah nyaris semua penjual bakso selalu mempersilakan pembeli mengambil sendiri bakso sesuai dengan seleranya. Mau bakso berapa, tahu berapa, mi berapa, gorengan berapa, tidak perlu ribet pesan, langsung ambil sendiri. Begitu juga dengan sore itu, Mbak Wik, istri Doktor Panut, mengambil sendiri menu bakso yang diinginkan, sekaligus mengambilkan ketiga anaknya. Lha, mendadak gorengan yang dia ambil dengan penjepit terjatuh ke tanah. Mbak Wik merelakan dan mengambil yang baru sebagai gantinya.
Tapi apa yang terjadi, seorang perempuan bercadar mengambil gorengan bakso yang sudah jatuh ke tanah tadi, memasukkan ke dalam mangkuknya, dan mengambil alih resiko yang semestinya menjadi tanggungjawab Mbak Wik. Usai acara makan bakso, Mbak Wik menceritakan kejadian itu kepada Doktor Panut. Doktor Panut, yang kadang-kadang berlagak sebagai pengamat sosial merasa bangunan pemahaman yang diayakini selama ini menjadi sedikit berantakan.
Doktor Panut terkejut mendengarnya.
“Padahal, selama ini aku menilai orang bercadar itu agak nggemesin, lho Mbak,” kata Janda.
“Nggemesin gimana, Mas?” tanya Mbak Wik.
“Ya nggemesin gitu, loh! Masak dengan bermodal pakai cadar seolah-olah kita semua jadi ahli neraka,” jawab Janda sekenanya.
“Masak sih, Mas?” kata Mbak Wik.
“Iya, Mbak. Bener.”
“Ya, nggak semua lah Janda,” sahut Doktor Panut.
“ Aku ada cerita soal itu. Suatu kali, mahasiswikuyang awalnya mengenakan hijab seperti umumnya mulai menambahi dengan selalu mengenakan masker wajah. Padahal, dia tidak sedang pilek atau batuk. Beberapa waktu kemudian, ternyata gadis itu berubah. Dia mengenakan cadar. Aku ya tolah-toleh, thilang-thileng karena mendadak ada orang asing bercadar yang masuk ke kelasku. Usut punya usut, ternyata dia salah satu mahasiswiku. Aku menjadi sadar bahwa sebenarnya ketika gadis itu mengenakan masker wajah, itu sebagai sebuah proses transisi untuk pada akhirnya mengenakan cadar.”
Janda menyimak dari jok belakang sambil memangku Cempluk.
“Karena melihat perubahan itu, Aku bertanya beberapa hal yang kira-kira tidak menyinggung perasaannya. Dan kesimpulannya: dia terpapar doktrin tanpa memiliki filter atau argumen pembanding sebagai second opinion. Tidak ada argumentasi yang dia kemukakan kecuali satu perspektif. Tak ada kajian historis, sosial, kultural, pendekatan kekuasaan, atau fiqih perbandingan, dll.”
“Nah, betul kan, Mbak!” tukas Janda.
“Tapi, mungkin ada juga yang dia belajar banyak hal tentang mengenakan cadar sebelum mengambil keputusan untuk mengenakannya. Jadi, nggak bisa generalisasi, Nda.”
Janda menyimak sambil tetap memangku Cempluk. Kenyung bermain hotwheel. Sementara Thole mulai mengantuk di pangkuan Mbak Wik.
“Tapi sebenarnya ada yang lebih mendasar dari soal itu, Nda,” sambung Doktor Panut, ”bahwa kita semua dalam beragama terpapar oleh cara berpikir yang ultra-matematis. Matematis bukan hanya soal angka lho Nda, tapi soal kepastian-kepastian, atau soal hitug-hitugan, kalkulasi.”
“Misalnya, kalau Baginda Nabi menyarankan kamu belajar berkuda maka belajarlah berkuda. Itu pasti. Meskipun orang lain bisa mempertanyakan apakah yang dimaksud Baginda Nabi itu “Kuda” sebagai “kuda”, atau “Kuda” sebagai “alat transportasi”. Atau ketika Baginda Nabi memerintahkanmu belajar memanah, itu soal benar-benar “memanah” atau soal “fokus, konsentrasi, ketangkasan, kekuatan dan raga yang sehat”.
“Aku menemukan sebagian kecil di antara mereka bisa beramah-tamah, tapi sebagian yang lain sangat tidak peduli dengan orang lain, kalau bukan bagian dari kelompoknya. Bahkan biarpun dia tetangga rumah denganmu, jangan pernah berharap akan ada hubungan bertetangga yang hangat. Itu pertimbangan yang sangat matematis. Kalau kamu berada di himpunan bilangan sana, berati kamu bukan bagian dari himpunan bilangan-ku. Dan kita berpisah. Tak ada hubungan. Tak perlu saling sapa. Kira-kira begitulah, Nda, cara berpikir matematis itu.”
“Tapi sebenarnya, cara berpikir matematis atau oleh Ki Ageng Martin Heidegger disebut sebagai cara berpikir kalkulatif itu menguasai peradaban manusia yang juga melahirkan modernitas. Cara berpikir itu digunakan hampir di setiap bidang kehidupan kita. Mulai dari ekonomi, sains, penelitian ilmiah, dst. Lihat saja penelitian yang berkembang sekarang dan dominan untuk bidang-bidang tersebut adalah kuantitatif. Bahkan, dalam berhubungan dengan Allah pun, kita menggunakan cara berpikir matematis.”
“Sebagai contoh, ada banyak orang Islam yang menyedekahkan sebagian hartanya dengan harapan akan mendapat kebaikan dengan kelipatan hingga 700 kali. Atau ada tetanggamu yang mati-matian ingin mendapatkan malamlailatul qadr untuk memperoleh kelipatan pahala yang sangat berlimpah. Atau ada kawanmu yang melakukan ibadah mahdhoh dengan harapan akan mendapatkan imbalan surga. Itu kan cara berpikir operasi matematika sederhana: tambah-tambahan, lantas sama dengan, ada hasil yang diharapkan.”
“Bahkan, saat ini, manusia menyerahkan pikirannya kepada mesin pencari: misalnya google. Atau kepada perangkat artificial intelligence (AI). Sehingga kemudian, yang terjadi bukan hanya mager, akan tetapi juga makir (males mikir). Maka, menurut Ki Ageng Martin Heidegger, sebenarnya kita tidak sedang berpikir, tapi sedang mengadaptasi mekanisme berpikir perangkat yang manusia buat sendiri. Begini deh, kalau kita pegang gawai, kemudian merespon sesuatu, itu sebenarnya yang merespons cara berpikir kita atau cara berpikir teknologi itu? Apakah kita hanyut dalam narasi yang dibangun buzzer atau tidak? Apakah kita tertindas oleh tirani netizen atau tidak? dst. Itu adalah output dari cara berpikir matematis atau kalkulatif, Nda.”
“Maka, ketika menemukan kejadian perempuan bercadar “dengan akhlaqnya” mengambil makanan “milik orang lain” yang sudah jatuh ke tanah dan dia memakannya, mengambil alih resiko atas makanan itu, apa mekanisme yang sedang terjadi, Nda? Apakah kalimat qur’an atau hadits Baginda Nabi yang dipahami secara leterlek, apa adanya? Atau justru cara berpikir yang sama sekali bukan matematis yang oleh Ki Ageng Martin Heidegger disebut “Berpikir Meditatif”.”
“Tapi, ini obrolan kita kok jadi berat ya, Nda?”
Janda memandang keluar jendela mobil. Di luar, mobil-mobil lalu-lalang. Orang-orang timbul-tenggelam. Pohon-pohon lari ke belakang.
Janda hanya manggut-manggut sambil mengumpat dalam hati,”Jancok!!! Ngomong opo ae Mas Panut iki!”
Prayogi R. Saputra : adalah penulis buku “Spiritual Journey” yang berdomisili di Malang. Lulus dari jurusan Hubungan Internasional namun lebih akrab dengan perbincangan mengenai sastra dan filsafat. Bisa disapa melalui akun facebook Prayogi R Saputra