Kolom Jamaah

Dari Pedagang Asongan Ke Magister Pendidikan

Dari Pedagang Asongan

Ke Magister Pendidikan

Seperti dituturkan kepada Rio NS

 

Bagi teman-teman BangBang Wetan, Padhang mBulan, dan tentu saja Paseban Majapahit, sosok Bapak ini cukup dikenal. Keramahan, senyum dan inisiatifnya untuk menyapa siapa saja menjadikan namanya lekat di benak banyak orang.

 

Terlahir dengan nama pemberian orang tua Samsul Huda, ia lebih sering disapa dengan Mbah Samsul. Di akta kelahirannya tercatat 7 April 1964 sebagai hari dimana ia dilahirkan. Terpaut jauh memang dari rekan-rekan di ketiga simpul yang telah disebutkan di atas. Keberadaan tiga orang anak menambah kuat posisinya sebagai seseorang yang “tak lagi muda”.

 

Mbah Samsul saat mengikuti Workshop Penulisan

 

Jenjang persekolahan dari TK hingga SMU ia selesaikan di jalur Madrasah. Dimulai dari sebuah madrasah di desa tempatnya dilahirkan, yaitu di TK Muslimat NU “Nurul Wardah” Keduk, Kedungwangi, Sambeng, Lamongan. Kemudian melanjutkan di MI “Nurul Islam” Dusun Keduk dan lulus tahun1977. Mulai tahun 1977 hijrah ke sebuah pesantren di daerah Kemlagi Mojokerto, yaitu Pesantren “Roudlotun Nasyiin” Beratkulon Kemlagi Mojokerto dibawah asuhan KH. Arief Hasan Al-Beratkuloni.

 

Di pesantren ini, ia terpaksa mengulang pendidikan ibdtiyahnya di kelas V MI “Roudlotun Nasyiin” dan lulus tahun 1979. Kemudian melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah di pesantren yang sama. Lulus MTs tahun 1982 dan lulus MA tahun 1985. Kemudian ketika lulus Aliyah, diputuskannya boyong dari pesantren karena harus melanjutkan kuliah di Fakultas Ilmu Pendidikan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan/ IKIP Negeri Malang (kini Universitas Negeri Malang) jurusan Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Jenjang strata 1 ini diselesaikannya tahun 1992.

 

Tenggat waktu 26 tahun tak menyurutkan hasratnya untuk terus menimba ilmu. Hal yang dibuktikannya dengan mendaftarkan diri pada program Magister Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah di Institut Pesantren KH Abdul Chalim Mojokerto di tahun 2018. Seolah bermaksud menegaskan diri dan memberi teladan kepada tiga putera-puterinya, Mbah Samsul berhasil lulus dan mendapatkan gelar M.Pd di tahun 2020.

 

Namun semua yang diraih Mbah Samsul tak semulus jalan tol Malang-Surabaya. Lika-likunya cukup beragam. Kalau kondisi jalan hendak dijadikan metafora, ceritanya lebih tepat digambarkan sebagai ruas jalan di persawahan Kutorejo, tempat pertama kali saya bertemu dengan sosok kita ini dua belas tahun lalu.

 

Disebabkan keterbatasan ekonomi orang tua, ia harus membiayai sendiri semua kebutuhan keuangan selama kuliah di IKIP Negeri Malang. Beberapa jenis pekerjaan pernah dilakoninya. Di tahun 1985, ketika mulai menginjakkan kaki di Malang, ia tempuh irama jalanan sebagai kernet bemo (angkutan kota roda 3). Saat itu, ia tinggal di Jalan Sumpil Gg 3, sebuah kawasan di daerah utara kota Malang. Cukup jauh dari kampus IKIP yang berada di Jalan Surabaya.

 

Ia juga pernah merasakan menjadi pedagang asongan kue onde-onde keliling di terminal Arjosari. Kepada penumpang bus-bus jurusan Malang-Surabaya dijajakannya kue bulat bertabur wijen dengan ramuan kacang hijau di dalamnya. Mbah Samsul ngekos bersama para pedagang asongan di sebuah kamar sangat sederhana yang disediakan oleh juragan pemilik bisnis onde-onde. “Karir” di dunia peronde-ondean dipuncaki dengan memproduksi sendiri komoditas jajanan itu dari sebuah rumah kost di Jalan Sumbersari, dekat dengan kampus UIN Maliki.

 

Untuk menyambung hidup, pada kisaran tahun 1987-1989 Mbah Samsul mengikuti pameran antar kota (Lumajang, Jember, Probolinggo, Surabaya, Sidoarjo, Sumenep, Mojokerto, Jombang, Magetan dan Malang). Alih-alih pameran, mungkin lebih tepat disebut sebagai berjualan  kerajinan ukir kaligrafi dan hiasan dinding dari pengrajin Jepara yang ada di Malang dan pernik-pernik kerajinan dari Malioboro Jogja. Kemudian tahun 1989-1993 ia kembali menjadi pedagang asongan dengan berjualan kerajinan mainan anak-anak kepada para turis asing di kawasan Legian-Kuta, Bali.

 

Sebagai seorang yang mengabdi di dunia pendidikan, Mbah Samsul telah banyak makan asam garam. Sejak tahun 1984 hingga 1985, namanya telah teracatat sebagai Guru MI di Pondok Pesantren “Roudlotun Nasyi’in’’ Beratkulon Kemlagi Mojokerto dengan bisyarah Rp. 17.500/bulan (kurs 1 dollar AS waktu itu = Rp1.200). Tahun 1994 hingga 2000, juga mengajar di MTs pondok pesantren yang sama. Bahkan tahun 1994 hingga sekarang, ia masih aktif sebagai guru Madrasah Aliyah dan Diniyah di Pondok Pesantren itu.

 

Tak hanya mengabdikan diri di Roudlotun Nasyiin, Mbah Samsul juga berkhidmat sebagai Guru Diniyah/Muadalah MBI-AU (Madrasah Bertaraf Internasional Amanatul Ummah) Pacet Mojokerto, mulai tahun 2013 hingga sekarang. Di tempat ini, ia menjadi guru muadalah (diniah). Kemudian tahun 2014-2015 menjadi guru mabiter, yaitu ustadz terjadwal bermalam di pondok MBI-AU Pacet untuk membantu membangunkan para santri jam 02.30 wib agar bisa secara rutin melakukan shalat malam dan mendampingi mereka mengikuti pengajian rutin selepas shalat Subuh yang diasuh oleh Prof. Dr. KH. Asep Saifuddin Chalim, MA, pendiri dan pengasuh pondok pesantren Amanatul Ummah.

 

Sepertinya, energi Mbah Samsul ada pada level yang berlebih. Ia juga aktif di lembaga non formal dan organisasi sosial kemasyarakatan. Tahun 2000, didirikannya TPQ ‘‘AL-ABBASIYAH’’ di desa Payungrejo. Kemudian tahun 2002, ia kembali juga mendirikan sebuah Madrasah Diniyah ‘‘AL-ABBASIYAH’’ di tempat yang sama. Di Organisasi NU, ia tercatat sebagai pengurus Ranting NU Desa Payungrejo Tahun 2000 hingga sekarang dan pengurus LDNU Kecamatan Kuterejo Tahun 2005 hingga 2010. Mbah Samsul juga merupakan Anggota PERGUNU Kecamatan Kutorejo Mojokerto.

 

Mbah Samsul yang memiliki prinsip hidup “jadilah guru yang baik atau tidak sama sekali” ini juga pernah aktif di dunia politik. Ia pernah menjabat sebagai pengurus Ranting PKB Desa Payungrejo Tahun 2000 – 2010 dan Pengurus Anak Cabang PKB Kecamatan Kutorejo Tahun 2002 – 2012.

 

Pengalaman hidup Mbah Samsul memang tergolong unik. Tahun 1977 sesudah lulus MI “Nurul Islam” Kedungwangi Lamongan, ia berangkat ke Pondok Pesantren “Roudlotun Nasyiin” Kemlagi, Mojokerto dan mengulang sekolah di MI “Roudlotun Nasyiin” Kelas V. Kemudian tahun 1982 ketika lulus dari MTs Roudlotun Nasyiin, sang Ibu memaksanya pulang karena harus bergantian dengan adik-adiknya yang sudah waktunya menimba ilmu di pesantren. Meski demikian, Mbah Samsul tak patah arang, ia hanya meminta ibunya untuk  mengizini dan meridlai supaya tetap bisa melanjutkan jenjang Madrasah Aliyah di pondok yang sama. Kepada beliau ia tegaskan niatnya untuk man jadda wa jadda; siapa yang bersungguh-sungguh berupaya akan memetik hasilnya.

 

Janji ini dipenuhinya dengan mencari tambahan bekal hidup di pesantren. Ia rela mencucikan pakaian santri lain dengan imbalan sejumlah uang atau sekedar makan. Pada saat lain, ia juga rela menanak nasi (ngliwet) bagi  teman-temannya dengan imbalan bisa ikut makan. Di samping itu, ia kerap menjadi naibul ustadz (pengganti guru yang berhalangan hadir mengajar) di MI tempatnya mondok. Dengan ini ia berhak atas kiriman “rantangan” sarapan dari wali murid yang sudah terjadwal. Semua itu ia lakukan agar bisa tetap menimba ilmu di pesantren.

 

Jalan hidup Mbah Samsul sangat beragam. Ia pernah mbecak (jadi abang becak) di pasar Pucang Anom Surabaya. Menjadi manol (kuli angkat barang-barang) penumpang bus di terminal Joyoboyo, Surabaya. Bahkan berjualan kue keliling di daerah kos-kosan mahasiswa IAIN Sunan Ampel (sekarang UINSA).

 

Kehidupan rumah tangga yang diawali dengan pernikahan pada 8 Juli 1993 diwarnai dengan menempati sebuah rumah tinggal sederhana di samping pondok pesanntren “Roudlotun Nasyi’in” Kemlagi, Mojokerto. Di pondok itu ia  menjadi guru pembimbing pondok pesanntren serta guru BP di Masrasah Aliyah pondok yang sama. Bersama keluarga, pada tahun 2000, Mbah Samsul pindah dan tinggal bersama neneknya yang sudah tua di Dusun Rejoso Kecamatan Kutorejo sampai sekarang.

 

Mbah Samsul dan Mas Sabrang Mowo Damar Panuluh

 

Persiggungannya dengan Maiyah dimulai tahun 1996. Dahaganya akan ilmu dan sifat aktifnya dalam berhubungan dengan siapapun membuatnya terlibat aktif pada beberapa kegiatan. Mendatangi forum BangBang Wetan dan berinteraksi cukup intens dengan teman-teman dari Surabaya membuat Mbah Samsul menjadi seorang yang dikenal banyak orang. Setelah lahir simpul Paseban Majapahit, ia  menemukan media ekspresi dan pengabdian yang secara geografis lebih dekat.

 

Itulah Mbah Samsul, teman kita yang sebagian besar waktunya ditempuh di pondok pesantren dan ladang pembelajaran. Seorang magister pendidikan yang pernah berjibaku dalam gebalau hidup sebagai pedagang asongan.

 

—oOo—