Kolom Jamaah

Dosaku Doaku dan Kembali Menjadi Bayi

Aku memberanikan diriku menulis beberapa sikap yang akan terlihat lucu, naif, dan bodoh setelah sejak awal Pebruari hingga pertengahan Maret, perasaan dan pikiran diaduk-aduk oleh Daur. Membaca “Doaku Dosaku” tak cukup sekali. Berulang kali aku membacanya, merasakan hina dinanya diriku, menghadirkan kembali file pengalaman saat aku mematung di depan pemohon Doa Mohon Kutukan di jalan Kawi Gedung Olah Raga Malang duapuluh tahun lalu, sampai saat aku terbata-bata menulis semua ini.

Seperti struktur bangunan yang ideal ia selalu membutuhkan pondasi yang kokoh. Pondasi yang mengakar, menghujam, mencengkeram tanah. “Doaku Dosaku” serupa pondasi itu. Bagi para pelaku jalan sunyi kesanggupan utama adalah: “Di setiap awal langkah, apapun dalam kehidupan ini, yang kutuding dan kucari kesalahannya adalah diriku sendiri. Nanti pelan-pelan kurenungi Doa Mohon Kutukan itu. Tetapi dasar sikapku adalah bersiap mengakui bahwa doaku adalah dosaku.”

Memang demikianlah kenyataannya: pencarian diri yang berorientasi keluar tidak pernah menyelesaikan masalah. Daya hidup seorang pejalan sunyi ditemukan dengan gerak ke dalam (safari internal). “Doaku Dosaku” merefleksikan safari internal menyadari hina dina diriku. Struktur Daur dari cn kepada anak-cucu dan jm dibangun tidak dengan menyodorkan gelegar kehebatan. “Doaku Dosaku” menyeretku ke ruang sepi hampa. Di ruang ini aku menemukan diriku tergeletak ditimbun dosa-dosa. Dikepung gelap pekat kedhaliman yang aku bangun sendiri. Di puncak gelap paling gelap, aku memanggil Nama-Nya. Dosaku doaku.

Maka, di setiap edisi tulisan Daur, pertama kali pihak yang aku awasi, aku tuding, aku perhinakan adalah diriku sendiri. Aku menemukan lubang-lubang diriku di setiap edisi Daur.

Momentum demi momentum hadir. Diantaranya, “Tidaklah bisa dipercaya oleh manusia bangsa-bangsa masa kini bahwa ada seseorang di antara mereka mau meniadakan dirinya sendiri, membuang eksistensinya sendiri, mempuasai karier dan kemungkinan kejayaannya sendiri — untuk disedekahkan kepada syarat rukun yang diperlukan untuk sembuhnya sakit mental, akal dan hati bangsanya dan terutama para pemimpinnya.” (Daur 02)

Momentum itu di sini dan sekarang. Kalimat yang aku cuplik dari Daur 02 relevan dengan momentum kedaulatan di-sini-ku dan sekarang-ku. Apakah engkau juga merasakannya, sahabat, di koordinat kedaulatanmu masing-masing? Aku yang sudah tidak berdaya makin tidak berdaya. Aku yang sudah hina makin merasa hina. Begitu sayang Allah padaku, padamu, pada kita semua – di tengah kegelapan Allah berkenan mengirim bahan bakar untuk menyalakan cahaya di dalam diriku.

Di tengah silang sengkarut persoalan yang lenyap pijakan nalarnya, hadir momentum diri merasa asing sebagai orang yang tercampakkan. Per individu tidak harus sama persis. Namun substansi keasingan itu menyergap jiwa siapapun yang rela menjadikan dirinya tumbal bagi totalitas pengabdian. Hidup dan matinya diserahkan sepenuhnya pada Allah. Resikonya, aku, engkau, kita semua terlempar ke dalam keunikan yang sulit dipahami dan terpisah dari lingkungannya. “Inilah saat perpisahan antara aku dan engkau.” (Q.S. Al-Kahfi: 78).

Siapa engkau ini? Adalah apapun atau siapapun yang mengurung, membatasi, menyerimpung, menggelapkan. “Suasana kemanusiaan, suasana politik, kebudayaan, bahkan yang kelihatannya sudah dilandasi dengan iman dan taqwa kepada Tuhan, yang lebih hina dan rendah dibanding segala kehinaan dan kerendahan yang pernah engkau gambar di alam pikiran dan pembelajaran hidupmu.” (Daur 07)

Aku berdiri di titik beda, meskipun tidak harus mengungsi ke belantara yang lain.Sebagai pejalan yang dijalankan aku, engkau, kita semua tidak harus melewati lorong yang sama untuk sampai ke rumah diri-Nya yang agung. “Jangan sekali-kali engkau berpindah dari makrifatmu sendiri ke dalam makrifat orang lain, karena itu hak Allah, bukan hakmu untuk melakukannya,” pesan Arif Billah Muhammad ibn Abdul Jabbar al-Nifari.

Pesan al-Nifari mengukuhkan bahwa siapapun berdaulat dengan sikap makrifat dirinya. Justru karena itu ia terlempar dalam kesendirian yang tak tertanggungkan. Jalan sunyi.

Kalangan sufi menyebutnya fana’ fii iraadatillaah. Sikap hidup profetik yang bersandar pada tawakal. Situasi transedensi dimana aku-insaniah telah mati. Yang nampak adalah wujud jasadi yang sepenuhnya digerakkan oleh iradah-ilahiah.

Yang naik ke atas akan turun kembali. Mr. VVVVVIP, Muhammad SAW menggambarkannya dengan gamblang. “Untuk sampai ke langit berapapun kamu tidak harus pergi ke mana-mana, cukup masuk ke dalam dirimu sendiri. Karena seluruh jagat raya adalah bagian dari dirimu.”

Aku menyaksikan gerak melingkar: jiwa tergeletak hina di hadapan-Nya, bergerak naik, lalu turun kembali. Menjadi bayi.

Jagalan, 15-03-16
Achmad Saifullah Syahid