Kolom Jamaah

DUNIA SATU SISI DI SATU SISI DUNIA

 

Oleh : Choirul Umam

conflict-405744_1280

Tentunya sudah tak terhitung seberapa sering saya sekedar berbicang santai atau sampai bisa digolongkan dalam taraf berdebat tentang sesuatu hal dengan seseorang atau banyak orang dalam suatu waktu. Terkadang hal tersebut memang saya sengaja, walau umunya terjadi begitu saja alias ketidaksengajaan. Saya akui bahwa saya bukan termasuk orang yang supel, namun saya termasuk orang yang bisa menikmati saat berbincang dengan banyak macam orang, bahkan yang baru kenal sekalipun. Dasar pertamanya adalah untuk menambah teman baru, dan syukur-syukur kalau saya bisa mengambil pelajaran dari pengalaman orang tersebut.

Orang cerdas adalah orang bisa belajar dari pengalaman. Sedangkan orang jenius adalah orang yang bisa mengambil pelajaran dari pengalaman orang lain. Begitu kira-kira kata-kata Mas Sabrang MDP yang pernah saya dengar. Bukan berarti saya dengan GeeR-nya mengatakan bahwa saya orang yang jenius, tetapi apa salahnya belajar untuk menuju ke arah sana!?

Dari hasil berbincang-bincang dengan banyak macam orang tersebut, tetap saja ada tipe orang yang terkadang membuat saya jengah. Apabila bertemu orang semacam ini, saya biasanya segera mencari topik perbincangan lain, hanya mengiya-iyakan saja, sampai saya menguat-nguatkan diri agar tidak sampai menyudahi terlebih dahulu perbincangan tersebut. Orang-orang semacam itu biasa saya sebut sebagai “flat earther”.

Sebenarnya flat earther adalah istilah untuk para penganut teori bumi datar. Teori kuno yang kembali booming beberapa waktu yang lalu. Namun flat earther versi saya adalah istilah untuk orang-orang yang dengan keukeuh meyakini bahwa prinsip hidupnya adalah yang paling benar dan prinsip hidup orang lain yang tak sepaham dengan dia adalah salah. Saya menyebutnya demikian karena seolah-olah dunia ini hanya bisa dilihat dari sisinya saja, padahal ada sisi lain dari dunia ini.

Saya yakin, banyak juga diantara kalian yang pernah bertemu dan berbincang dengan orang yang sebentar-sebentar mengucapkan kata, “Salah kuwi…!”, “Ora iso ngono…!”, “Yo ora ngono…!”, “Ngene lho sing bener…!”, atau kata-kata lain yang intinya adalah apapun kata-kata, prinsip, tingkah laku kita yang tak sejalan dengan dia adalah salah dan kata-kata, prinsip, tingkah laku orang tersebutlah yang benar. Hhhhh…

Banyak sebutan lain untuk orang semacam ini. Teman saya ada yang menyebutnya “manusia kacamata kuda”. Ada yang dengan hiperbolik menyebutnya sebagai orang dengan pandangan yang sangat “luas”. Bahkan ada yang berani menyebutnya sebagai Ahmaq.

Lalu apa itu Ahmaq? Salah satu ciri Ahmaq yang mendasar adalah dia sudah mandeg, tidak bisa diajak berdialog, berpikir bersama, rembugan, sehingga banyak sekali hal yang dilekati harga mati. Padahal tidak ada yang harga mati dalam hidup ini kecuali Al-Qur’an. Nabi Isa ibn Maryam pernah menyatakan bahwa Ahmaq merupakan satu-satunya penyakit yang tidak mampu Beliau sembuhkan. Satu-satunya obat bagi penyakit Ahmaq adalah kematian, demikian Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata.

Dari Maiyahan saya mendapatkan idiom, carilah apa yang benar dan apa yang salah, bukan siapa yang benar dan siapa yang salah. Sebuah idiom yang menekankan pada obyek, bukan subyek. Belum pernah saya mendengar kata sebijak ini. Ahmaq tidak hanya terdapat pada diri orang lain tapi bisa juga pada diri kita sendiri. Kita harus terus belajar tuk menyadari hal ini supaya bisa menyempurnakan diri. Lalu mengapa tetap keukeuh sampai berurat-urat tuk menyalahkan orang lain!? Bukankah lebih indah kalau kita saling memahami, dan membuka pikiran terhadap hal yang paling berbeda dengan yang kita anut sekalipun.

Salah satu ilmu dari sekian banyak ilmu yang saya dapat dari Mbah Nun adalah bahwa benar itu ada 3 macam, yaitu benere dewe, benere wong akeh, dan bener kang sejaten. Lalu kebenaran yang manakah yang selama ini melekat pada kata-kata, prinsip, dan tingkah laku kita!? Apakah yang kita anut sudah merupakan kebenaran yang sejati!? Apakah sudah tidak ada lagi kebenaran selain dari yang kita anut!? Lalu atas dasar yang manakah hingga akhirnya sampai berani menyalah-nyalahkan orang lain!? Mari masing-masing dari kita berkaca hingga ke dalam diri. Bertanya ke dalam diri dan jangan lebih sibuk mempertanyakan hal-hal yang ada pada orang lain.

“Dadi arek Maiyah ra oleh Ahmaq. Awas kon yo nek Ahmaq!”, masih terngiang-ngiang di benak saya kata-kata Mbah Nun saat Bangbang Wetan beberapa tahun lalu.

Tuhan menciptakan manusia dengan kekhasannya masing-masing. Tak ada manusia yang sama, bahkan anak kembar identik sekalipun. Setiap pribadi punya ke-khas-annya masing-masing. Setiap pribadi punya bakat, minat, serta cara, jarak, dan sudut pandangnya sendiri terhadap dunia. Mari bersama saling memahami, bukan saling adu siapa yang lebih benar.

Duniapun begitu, walau saya belum pernah berkeliling dunia, saya yakin bahwa ada sisi yang berbeda dari sisi dunia yang kita tempati sekarang. Setidaknya ada tempat-tempat dengan 4 musim dan 2 musim, iklim kutub hingga tropis, tempat bergunung-gunung hingga kumpulan pulau-pulau kecil. Lalu mengapa masih saja berputar-putar saja di tempurung itu. Pecahkan tempurungnya, berkelanalah dan mari kita bersama-sama belajar dan melihat sisi lain dari dunia ini.

 

*Penulis adalah salah satu Jamaah Maiyah dan juga karyawan di salah satu perusahaan di kawasan SIER Rungkut Surabaya