Sonya Ramadlan

Euforia Ramadhan

“Tidak ada saat yang lebih dinanti kecuali datangnya bulan mulia ini, Bulan Suci Ramadhan yang penuh berkah dan ampunan.”

Barangkali itulah salah satu pesan yang masuk ke dalam beberapa grup WhatsApp dan berbagai media sosial lain sejak beberapa hari yang lalu. Gema Ramadhan seakan menyihir masyarakat media sosial untuk eksis mengirimkan ucapan kepada sanak saudara dan handai taulan. Mungkin editorialnya berbeda, namun yang jelas hampir semua broadcast yang muncul di gawai adalah kebahagiaan yang terasa menggebu-gebu menjelang Ramadhan.

***

Merentang waktu ke belakang, tahun 90an adalah masa-masa yang membahagiakan kala itu. Menjelang datangnya bulan Ramadhan, anak-anak desa sibuk membuat blanggor. Benda ini adalah meriam yang dibuat dari selongsong bambu berukuran 1,5 meter dengan ketebalan antara 2-4 cm. Ruas-ruas bambu di bagian moncongnya dihilangkan dengan menggunakan linggis, hingga menyisakan ruas terakhir di bagian pangkal. Satu lubang kecil dibuat di dekat ruas pangkal yang nantinya digunakan untuk mengisi amunisi berupa pecahan karbit sebiji jeruk.

Volume ledakan yang dihasilkan dari blanggor inilah yang dijadikan pertandingan antar kelompok anak-anak kala itu. Tanpa adanya aturan baku, pertandingan blanggor dimulai ketika ada satu ledakan yang kemudian disusul ledakan lain. Suatu kebanggaan tersendiri bila ledakannya mampu membuat ayam dan bebek tetangga gagal bertelur. Cerita ini kemudian menyebar menjadi satu titik popularitas tertentu bagi anak-anak di masa itu. Tak terkecuali saya.

Apa hubungan blanggor dengan Ramadhan? Saya berpikir berkali-kali menghubungkan kedua hal ini yang belum saya temukan jawabannya.

Kalau dirunut ke belakang, Puasa Ramadhan adalah ibadah yang sangat berat bagi saya ketika kecil. Membayangkan menahan lapar dan dahaga satu hari penuh. Segala yang halal diharamkan untuk dimakan, harus bangun pagi buta untuk sekedar makan sahur. Sungguh suatu penyiksaan bagi saya. Satu-satunya kebahagiaan yang ada ketika itu adalah euforia Ramadhan yang sama sekali tak ada hubungannya secara langsung. Salah satunya dihadirkan oleh kompetisi blanggor.

***

Kini, euforia Ramadhan seolah membabi-buta. Semua media memberitakan kehadiran Ramadhan dengan ucapan selamat datang yang beraneka ragam. Pujaan kepada Ramadhan seolah lupa bahwa puasa adalah ibadah yang paling sunyi. “Puasa hamba-Ku itu untuk (milik)-Ku, dan Aku sendiri yang akan memberinya apresiasi, karena hambaku meninggalkan hawa nafsu, makan dan minumnya karena-Ku.” Lalu, apa lagi namanya kalau bukan ibadah yang paling sunyi?

Ramadhan yang kini hadir dalam masyarakat modern dimaknai sebagai ajang untuk saling pamer eksistensi. Bisa dilihat dari esensi puasa sendiri yang jauh dari kesunyian. Mulai dari festival takjil, car free day sore, buka bersama, makanan pembuka dan makanan penutup, dan lain sebagainya. Semuanya tak lepas dari tradisi hedonisme dan kapitalis. Hal ini bisa dirasakan dari pengeluaran ketika Ramadhan yang lebih besar dibandingkan hari-hari biasa. Bahkan tadarus dan tarawih pun mungkin tak lepas dari tradisi ini. Semoga saja saya salah.

Dari refleksi masa kecil tersebut, bisa saya simpulkan bahwa kebahagiaan Ramadhan bagi saya dan masyarakat modern kini bukan terletak pada puasanya, namun pada euforianya. Semoga kita terus-menerus mencari kebahagiaan ‘puasa’ yang sesungguhnya.

 

 

Penulis : Danang Y Riyadi