Gemuruh Suara Kompor Bros – Hari-hari di Sumbersari (1)
Kemlagen #32

Oleh: Samsul Huda
Kawasan Sumbersari dikenal sebagai daerah kost-kostan. Banyak mahasiswa IKIP Malang (Universitas Negeri Malang), IAIN (UIN MALIKI), UNMUH (UMM), ITN, dan UNIBRAW yang kost dan ngontrak rumah di sana. Letaknya memang memungkinkan bagi pendatang yang menimba ilmu di keempat perguruan tinggi itu. Bisa dibilang, jumlah mahasiswa yang menempati area itu lebih banyak daripada jumlah penduduk aslinya.
Termasuk saya. Mengontrak rumah di gang tiga. Selain mahasiswa, banyak warga asli yang saya kenal. Kedekatan itu bisa dibaca dari dua hal: bisa memiliki KTP dan nyaris berjodoh dengan seorang kodew sinam (bahasa prokem Malang yang berarti gadis manis) Sumbersari. Bagaimana ceritanya? Karena sering bertemu ibunya yang istiqomah sholat berjama’ah di musalla. Selain ikut jama’ah, tak jarang saya diminta menjadi imam sholat.
Secara alamiah, ada semacam pemetaan di kawasan yang kini kian padat itu. Di sebelah utara Jl. Bendungan Sigura-gura terdapat gang 1–4 yang dipenuhi mahasiswa IAIN, ITN, dan UNIBRAW. Sebaliknya, gang 5–7 di sisi selatan berisikan mahasiswa UNMUH, dan IKIP serta sebagian kecil mahasiswa ITN.
Jarak dari rumah kontrakan di gang 3 lumayan jauh ke gedung Fakultas Ilmu Pendidikan, IKIP Malang, yang berada di sudut tenggara ujung Jalan Surabaya. Butuh waktu sekitar 20 menit dengan berjalan kaki. Namun kalau jalannya santai bisa sampai setengah jam. Sebenarnya ada bemo namun karena rute yang harus dilalui berputar ke sana ke mari, maka berjalan kaki lebih cepat sampai.
Di rumah Wak Jan, saya bertahan sekitar enam bulan. Saya harus pindah karena tuntutan keadaan. Kewajiban yang dibebankan kampus menjadikan proses pembuatan dan penjualan onde-onde tidak bisa saya lakukan sendirian. Mencari pembantu dan rumah yang agak layak adalah keharusan. Setelah mencari-cari informasi, akhirnya, saya dapatkan tempat yang representatif, lengkap, dan murah. Sebuah rumah kost yang bisa saya sewa dua kamar sekaligus. Satu kamar khusus untuk tidur dan satu ruangan yang lebih besar bekas warung. Rumah itu milik Mbak Muna, istri Pak Ismail, seorang perangkat desa di Kelurahan Sumbersari. Sebelumnya, Mbak Muna berjualan nasi, namun karena sesuatu hal mereka menutup warung itu dan menawarkan untuk saya tempati. Ketika warungnya masih buka, mereka adalah salah satu pelanggan saya.
Setiap pagi saya menitipkan onde-onde dan beberapa kali makan di sana. Dari sinilah terjalin keakraban di antara kami seperti layaknya saudara.
Rumah itu berada di pertengahan Sumbersari gang tiga. Dekat simpang tiga dan mushalla. Di tempat itu, karena usaha onde-onde semakin membesar, maka ada tuntutan mencari “pembantu”. Ahirnya di dekat rumah itu Tuhan mempertemukan saya dengan seorang janda yang sudah berumur yang ditinggal wafat sang suami dengan tiga anak usia sekolah. Saya memanggilnya Mak Mi, sebuah panggilan yang menjadikan hubungan seperti ibu dan anak. Panggilan yang saya ucapkan juga kepada ibu di Lamongan: Emak.
Dalam hubungannya dengan panggilan ini, ibu mertua di Kutorejo (Mojokerto) juga dipanggil Emak oleh semua anak-anaknya. Tahun ini beliau berusia 75 tahun dan masih rajin sholat berjama’ah di mushalla, aktif di rutinan diba’an dan tahlilan. Sedangkan Emak saya sendiri di Lamongan sudah bersemayam di pertamanan surga sejak dua puluh tahun lalu. Cinta dan do’a saya selalu untuk mereka berdua.
Di rumah kost baru milik Mbak Muna itu, interaksi dengan warga asli semakin meningkat. Hampir semua warung di Sumbersari saya titipin onde-onde. Hal lain, untuk menggoreng onde-onde dibutuhkan kompor semawar berbahan bakar minyak tanah. Jenis kompor yang sampai sekarang masih digunakan oleh hampir semua penjual nasi goreng itu selain menghasilkan api yang panas dan besar juga membawa efek samping suara yang bergemuruh. Kompor bros ini adalah salah satu properti yang saya usung ke rumah kost di gang tiga.
Gemuruh suara kompor bros saya itu sangat kencang dan pasti mengganggu tetangga. Namun karena mereka orang-orang baik dengan kadar tepa selira yang tinggi, maka permakluman-lah yang saya terima. Hal ini pula yang membuat saya kerasan dan betah tinggal di Sumbersari. Tetangga di kanan kiri serta depan dan belakang rumah kost sangat baik, sehingga saya merasa tinggal di kampung dengan saudara-saudara sendiri. Sampai hari ini, hubungan batin kami masih terjaga. Rasa rindu dan kenangan bersama mereka melekat kuat seolah tak mau sirna.
Sabda Nabi Muhammad saw.

“Barangsiapa yang sepanjang hidupnya mengimani Allah dan hari akhir (hari pembalasan semua perbuatan manusia) maka hendaklah dia terus menerus sepanjang hidupnya berbuat Ihsan (berbuat lebih baik dari yang seharusnya) kepada para tetangganya.
Barangsiapa yang sepanjang hidupnya mengimani Allah dan hari akhir maka hendaklah dia sepanjang hidupnya memuliakan tamunya. Dan barangsiapa yang sepanjang hidupnya mengimani Allah dan hari akhir maka hendaklah dia sepanjang hidupnya selalu berkata dan bertutur kata dengan baik”. (HR. Bukhari Muslim, Kitab Mukhtarul Ahadits Al-nabawiyah; hal. 173).
—-oOo—
Penulis adalah santri di PP Roudlotun Nasyi’in, Beratkulon-Kemlagi dan PP Amanatul Ummah Pacet. Keduanya di Mojokerto. Mengaku sebagai salah seorang santri di Padhang mBulan, penulis bisa ditemui di kediamannya di dusun Rejoso-Payungrejo, kecamatan Kutorejo, Kab. Mojokerto