Merdeka

Gerbong Kamardikan

” Bagi arek Suroboyo dan sekitarnya, pernahkah mendengar tentang Laskar Kereta Api Depo Sidotopo? Sekelompok pemuda yang tak bisa disepelekan perjuangannya sejak era sebelum merdeka hingga meletusnya perang akbar 10 Nopember 1945. ——-” 

 

Saat seorang kawan memintaku tuk menulis apa saja tentang merdeka, jujur saja saya bingung harus menulis apa dan merdeka yang bagaimana. Merdeka bisa sangat beragam maknanya tergantung siapa yang memaknai dan bagaimana kata tersebut berjalan seiring bersama kehidupannya. Jangan tanyakan apa itu merdeka pada 10 orang pemuda, bukan karena dunia akan terguncang olehnya, namun karena kalian akan bingung dengan ragam jawabannya.

 

Tiba-tiba saya teringat sebuah momen yang baru kemarin berlalu. Pada 10 Agustus 2017, dunia perkeretaapian kita tepat memperingati 150 tahun peresmian jalur kereta api pertama di Kota Semarang –walau hari kereta api Indonesia secara resmi ditetapkan pada 28 September 1945–. Sebuah bilangan tahun yang dua kali lipat lebih tua dibanding usia negara kita. Lebih bahkan.

 

Bagi saya yang sejak kecil gemar mengamati dunia perkeretaapian, hal tersebut bukan sekedar peristiwa biasa. Indonesia –pada saat itu masih bernama Hindia Belanda– merupakan negara kedua di Asia setelah India yang memiliki jalur perkeretaapian ketika jalur sepanjang +- 25 km antara stasiun Samarang [NIS] menuju stasiun Tanggung di pedalaman Kabupaten Grobogan diresmikan pada 10 Agustus 1867. Bukan kebetulan pula apabila 78 tahun setelahnya pada bulan yang sama, lahirlah Republik Indonesia.

 

Satu setengah abad sudah bentangan sabuk besi menghubungkan berbagai kota di Indonesia. Tentunya tak sedikit pula peran kereta api bagi terbentuknya, perjuangannya, dipertahankannya, dan perkembangan dalam membangun negara ini.

 

Sebelum membahas peran itu lebih lanjut, mari bersama-sama menyatukan persepsi atas arti kemerdekaan. Merdeka yang saya maksud dalam tulisan ini adalah bebas dari penjajahan atau tidak terikat dari negara lain. Sedangkan kemerdekaan adalah keadaan tidak terjajah. Berikut sedikit dari sekian banyak peran tersebut.

 

Saat negara ini baru seumur jagung, tentara NICA yang kembali masuk ke Indonesia memaksa Presiden Sukarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, serta beberapa kaum Republiken untuk hijrah –dan menghijrahkan ibukota negara– ke  Yogyakarta. Disinilah kereta api berperan besar pada 3 Januari 1946 saat sukses “menyelundupkan” mereka dari pengawasan ketat tentara sekutu yang mengepung Jakarta sehingga negara terhindar dari vacuum of power. Pemerintahan tetap berjalan dan selamatlah bayi bernama Indonesia.

 

Bagi rakyat Bondowoso, tentunya tak asing dengan istilah Gerbong Maut yang menggambarkan tak pernah surutnya perjuangan dalam mempertahankan Republik saat Agresi Militer I, walau resikonya yang harus dibayar adalah gugurnya puluhan pejuang dengan cara pelan-pelan dalam panas dan pengapnya gerbong kereta.

 

Bagi penyuka film –terutama yang berdasarkan kisah nyata–, sempatkanlah sejenak menonton ‘Kereta Terakhir’. Sebuah film rilisan tahun 1981 yang dibintangi oleh Gito Rollies, HIM Damsyik, dll, serta disutradarai oleh Mochtar Soemodimedjo. Sebuah kisah yang berlatar belakang gagalnya Perjanjian Linggarjati, sehingga markas besar tentara memutuskan untuk menarik semua kereta api yang ada ke Yogyakarta. Perjalanan kereta terakhir dari Purwokerto yang penuh hambatan lah yang menjadi pokok cerita. Seperti pengungsi yang memadati kereta, serangan-serangan Belanda, dll.

 

Bagi arek Suroboyo dan sekitarnya, pernahkah mendengar tentang Laskar Kereta Api Depo Sidotopo? Sekelompok pemuda yang tak bisa disepelekan perjuangannya sejak era sebelum merdeka hingga meletusnya perang akbar 10 Nopember 1945. Merebut kemudian mendistribusikan senjata, memobilisasi para pejuang, sebagai garis depan pertahanan, penembus garis blokade sekutu, hingga mengungsikan penduduk keluar area perang adalah sedikit dari banyak sekali peran laskar tersebut. Yang tentunya hal itu dilakukan dengan kereta api.

 

Contoh-contoh di atas belum termasuk peran lain seperti penyebaran pamflet propaganda, selebaran lain, dan media berjalan dengan coretan muralnya yang melegenda “Merdeka ataoe Mati”.

 

Saya bukanlah pakar perkeretaapian, apalagi pakar sejarah. Jikalau ingin mengetahui tentang detail atau yang lebih akurat dan valid dari hal yang saya tulis di atas, saya yakin itu bukan hal sulit di jaman gadget seperti sekarang.

 

***

 

Sekarang memang bukan lagi era perang fisik seperti tahun 40-an. Namun, bukan berarti stasiun tujuan kita sudah dekat. Selayaknya rangkaian kereta, perjuangan masih sangat panjang. Perjuangan bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, syukur-syukur negara.

 

Dalam perjalanan, kita bisa berangkat dari tempat berbeda untuk menuju tujuan yang sama. Atau sebaliknya. Berhenti sejenak di stasiun hanya untuk segera bergegas ke stasiun berikutnya. Sudah benarkah kereta yang kita naiki? Jangan sampai kita baru sadar telah salah kereta ketika perjalanan sudah sedemikian jauh.

 

Bergeser ke hal kenegaraan, tahun ini 72 tahun sudah Indonesia resmi diproklamirkan oleh Sang Founding Father. Retorikanya hampir sama. Sudah sejauh mana kereta bernama Indonesia ini melaju? Sudah dekatkah dengan stasiun tujuan? Atau justru anjlok di tengah jalan? Apakah rangkaian gerbongnya masih seerat dulu? Atau justru sang gerbong berpisah untuk mencari lokomotifnya masing-masing?

 

Ahh…nikmati saja perjalanan ini kawan. Semoga kita segera tiba di terminus yang kita rangkai bersama dalam setiap Maiyahan.

 

Aamiin….

 

 

Oleh: Wahyoko Fajar*

*) Bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Bisa disapa melalui akun twitter @wahyokofajar