Kolom Jamaah

GOLPUT

book-1421097_1920

Oleh : Hafid Maulana

Iqra adalah membaca, atau bisalah juga sebagai, ‘bacalah’; dan yang paling penting dari itu adalah apa yang bisa dibaca kanjeng Nabi Muhammad, sebab Tuhanmu yang Maha Berkehendak sudah juga menghendaki: dialah Nabimu yang umi. Maka bacalah dengan menyebut nama Alloh yang Maha Berkuasa, wahai Muhammad. Lalu, apa itu yang lebih bisa mengingatkanmu pada kekuasaan Tuhanmu selain apa-apa yang tampak pada setiap kedipan matamu! Kalau begitu, bagaimana jika, bacalah Tuhanmu dengan apa yang menyesaki semua pagi dan petang-petang itu; bahwa, Muhammad, masyarakat perlu kau ingatkan lagi!

Jadi, mari kita mulai dari pagi yang dilimpahi sinar matahari di tanah kita ini. Bersyukur tentu adalah maklum dan wajar diberikan kepada Alloh pencipta segala ciptaan, dan yang ada di atas nilai itu kita katakan sebagai jangan berkeluh kesah, toh kita ternyata masih bisa membuka mata setelah tidur yang begitu-begitu saja. Ada pekerjaan, atau sekolah, atau menata dan mengurus rumah tangga, maka hadapi dengan tidak menerka-nerka; mungkin itulah yang dapat kita sebut sebagai menolak untuk mengelus dada. Jadi kita akan menegakkan kepala, biarkan Alloh bangga sebab tahu manusianya berani memulai usaha.

Maka, wahai bapak yang tampan, minum kopi gilingan tak bermerk itu, tarik rokok yang kau beli dari warung pracangan tetangga sebelah itu; sebut saja itu warung Mak Yah, atau apapun sesuka hatimu, asal jangan sekali-kali kau relakan uangmu bagi Mart-Mart itu. Dengan kau membeli dari tetanggamu maka kau telah mendidik istrimu menjadi lumrah pada kasih sayang antar sesama, juga itu akan membiasakannya pandai dan cinta menawar harga di pasar-pasar. Tapi bagaimana dengan pekerja-pekerja Mart itu; ahh, biarkan mereka dipecat, mungkin mereka akan susah sebentar tapi kemudian akan ada ide-ide Tuhan untuk mereka dengan terpaksa atau riang hati memulai usahanya sendiri: Dialah Sang Maha Merawat.

Bayangkan jika itu terjadi setiap hari; bravo, bangkrutlah daokeh-daokeh itu! Jika rakyat melarat hanya bisa berjuang dengan kemarahan maka biarkan kemarahan itu sekalian menggerogoti gudang-gudang para juragan, toh, gudang-gudang itu berdiri di tanah-tanah mereka sendiri. Lalu, wahai bapak, antarkan anak laki-lakimu yang sebelumnya sarapan nasi goreng krupuk ke sekolah, jangan biarkan dirimu membelikan dia sepeda motor sebelum dia masuk umur pengurusan SIM, atau kau tumbuhkan dia dengan manja dan merasa kau sekedar tak punya waktu lalu percaya pada efisiensi antar jemput sekolah. Jangan! Jangan biarkan institusi di luar dirimu mempunyai kesempatan menjaga atau menilang anakmu!

Kau harus tahu malu! Hingga bekerjalah dengan bangga pada kemampuan dan harga dirimu. Tak perlu kau mengatok pada atasanmu, sebab kawan senasib dalam pekerjaan adalah keluargamu sampai sore nanti. Dan jika ada peluang itu terbuka pada peningkatan rejeki, maka lihat dan ukur peluang itu sebagai kesempatan bersama sesama pekerja. Karena takdirnya, pekerja hanya bisa menjadi raksasa saat bersama-sama! Melarat yang berpegangan tangan dan meneriakkan acungan adalah pesan pada juragan untuk tidak semena-mena meski juragan punya anjing-anjing penjaga, tendang saja! Nah, lalu pulanglah dengan hati-hati, wahai bapak, tak perlu terburu-buru. Istri yang cantik sudah siap dengan sayur lodeh kesukaanmu, pindang dan tempenya sudah pula ditemani sambal terasi lombok tujuh.

O, wahai ibu yang ayu menik-menik wangi melati, anak-anak sudah sadar pula dari mimpi indah mereka malam tadi. Cium satu-satu mereka agar tak lupa kau pada bau darahmu dan keringat suami tercinta. Tentu rumahmu sudah kau sapu, subuh tak mungkin kau lewatkan, semua orang tahu itu. Memang suami terkadang bebal banyak alasan saat kau minta menjadi imam; cukup jilat saja telinganya, dan pasti doakan dia, doakan dia, doakan dia. Sebab doamu adalah yang selalu disetujui Alloh Sang Maha Lembut. Dan tak apalah nasi goreng saja sebab lauk malam tadi sudah lenyap dicuri tikus; asal kau tersenyum, seisi rumahmu akan kenyang dan semoga berkah: O, ibu, bukankah masih ada kerupuk.

Lalu biarkan si kakak mandi sendiri, cukup siapkan seragam senin ini biar dipakainya nanti: hari ini dia akan upacara, luruskan topinya. Juga si adik jangan sudi kau lepas ke apa itu pendidikan anak usia dini. Engkaulah, wahai ibu yang cantik, satu-satunya yang berhak mendidik anak-anak belahan jantung hatimu itu; engkaulah lidah pertama yang harus mereka dengar membaca Al-Quran; engkaulah tangan pertama yang mereka takuti dengan jeweran sehat saat mereka malas membaca, menghitung, menghafal; engkaulah gambaran pertama bagi mata kosong mereka tentang apa itu kasih sayang, kesederhanaan, kelembutan, ketegasan, tahu malu, cinta dan mencintai; engkaulah kaki pertama yang harus menuntun mereka untuk tak menjadi penakut, tak menjadi pelit, tak menjadi cengeng, tak menjadi bodoh; engkaulah guru itu, dari mereka dini sampai mereka dikubur nanti: Alloh menghadiahimu dengan surga yang bisa kau injak-injak, wahai ibu yang pandai mengolah-pas kan  uang belanja bapak.

Ayo, contohi mereka berdoa sebelum sarapan itu! Dan ingatkan suami untuk merokok di luar. Dan jangan lupa kau bungkuskan makan siang tempe tahu pada bekal si kakak. Adakah itu uang saku? Tentu, beri secukupnya. Paksa si kakak jika dia meminta tambahan; boleh juga katakan, nanti bapakmu marah lho! Apakah mereka akan trauma, apakah masa depan mereka akan suram jika kau menerapkan paksaan, jeweran, argumen-argumen praktis pada pertanyaan mereka yang terkadang terlalu cepat tumbuhnya ketimbang umur yang seharusnya sebab gelontoran media omong-kosong hari sekarang? Tidak, nonsense itu! Orang-orang pintar itu mencoba menerapkan mimpi kebarat-baratan, yang bahkan orang barat belum tentu sudah tidak bosan sendiri dengan mimpi-mimpi itu. Berkeluarga di bumi mana saja itu sama.

Ibu selalu melarang dengan paksaan cubitan manis yang berbunyi, “Ndak boleh itu, Le! Jangan begitu, Nduk! Itu ndak baik, Le! Itu salah, Nduk!” Dan semua itu adalah tentang nada. Nada, semua ibu dan bapak punya nada, semua orang tua harus peka nada, dan satu-satunya nada itu adalah kemesraan, atau lemah lembut, atau manis, yang memeluk manja dari bibirmu ibu yang mulai keriput, tapi, manis. Maka bohong para orang pintar itu! Mereka tidak mau belajar dari buku-buku tua, tidak mau mendengar lagu-lagu nasehat purba, bahkan orang pintar jaman sekarang tidaklah bersangu buku melainkan alat elektronik dengan layar yang bisa diketik, dan mereka terlalu berat sebelah; dan demi Tuhan Yang Maha Kasih, buku-buku itu lebih baik sebab ia punya bau, dan setiap bau adalah pertanda tentang apa yang harusnya kita lakukan: bau kotoran akan kau siram, bau wangi akan menenangkan kekasih.

Sedang alat elektronik itu hanya berbau besi dan listrik, dan plastik, yaitu pertanda tentang segala ketergesaan, kegunaan, efisiensi, kepenuhan, atau kesegalaan; dan manusia yang bercita-cita menjadi segalanya, ahh, omong-kosonglah mereka itu! Tapi tenanglah, wahai ibu yang selalu bersisir rapi, instingmu selalu tahu apa yang akan terjadi; semua tegas dan manjamu akan membawa anak-anak berani berdiri sendiri. Dan selama Dhuhur dan Asharmu kau jaga baik-baik, maka uang belanja suami yang gagah itu akan selalu cukup. Bukankah menawar pindang adalah hobi muliamu. Itu yang akan menyeimbangkan harga pasar. Lombok akan selalu berada pada batas keuntungan manusiawi jika para sejuta ibu kuat menawar.

Tidak diperlukan lagi susu-susu dalam kaleng dikarenakan para ibu menolak mentah-mentah susu formula yang penuh gizi pabrikan itu; coba, mana ada manfaat yang lebih nyata dibandingkan susumu sendiri yang kau bumbui lagu bisikan rindu selalu pada tawa dan manisnya pipi sehat si buah hati! Maka gurihkan sayur lodehmu dengan gula garam saja, wahai ibu yang bijak. Sambal terasi, pindang dan tempe adalah segalanya dalam balutan cinta dan rumah yang sudah bersih di sorenya.

Lihat! Ingat! Cerna dan serap, wahai anak-anak yang tentu mungkin akan dewasa dan berkaki kuat; bahwa akan panjang perjuangan kalian menjadi manusia, tak akan mudah mewujud cinta dan kemanfaatan pada dunia. Tapi bukankah kalian sudah diajari sembahyang, mengaji, membaca, bertahan, dan tahu diri di hadapan Tuhan: maka doakan bapak ibumu. Dan hauslah untuk belajar. Kalian akan kenal model kehidupan yang sia-sia, mungkin kalian akan melebur di dalamnya, mungkin kalian terlena, atau kalian bahkan menyukainya. Tapi pulanglah dan tatap lekat gurat keriput bapak ibumu. Jika di situ ada kalian temui bahwa dijewer guru di sekolah itu tak perlu mengadu, bahwa teman yang suka menghina atau memukul itu akan membuatmu tahan banting; atau kenapa juga tak kau balas, sekedar dengan tendangan ringan!

Dan bahwa teknologi internet itu akan semakin membuatmu malas dan ketergantungan pada yang mudah-mudah, sama dengan televisi yang akan membawa kalian tak peduli sekitar dan hanya tahu, ‘Ayo, beli! Ayo, beli! Ayo, beli!’ Persetan, semua itu sekedar rayuan gombal! Dan bahwa sekolah hanya agar lulus dan mendapat pekerjaan adalah mempermalukan cita-cita bapak kalian yaitu yang agar kalian cerdas, dan berilmu, dan bermanfaat. Maka di situlah Alloh akan meringkas kesadaran kalian, lalu kalian pulang dan selamat. Dan golput!

———————————————————————————————————-

Penulis bisa ditemui di : hafidhabitues@gmail.com / Padepokan Warkop Klopo