Kolom Jamaah

In Memoriam Drs. KH. Syihabul Irfan Arif. M. Pd,

Kemlagen #6

 

In Memoriam
Drs. KH. Syihabul Irfan Arif. M. Pd,
Yang Mencontohkan Bagaimana Menjadi Orang Yang Benar, Baik dan indah

Oleh: Samsul Huda

Yamaha “YB”, itulah sepeda motor pertama miliknya. Ganteng, cerdas, energik, dan komunikatif. Sangat menghargai lawan bicara. Kitab ‘Idhotun Nasyi’in karya As Syaikh Al-Mushthofa Al-Ghulayainy adalah salah satu buku yang tekun diamalkannya. Berolahraga badminton dan lari pagi menjadi rutinitas dalam menjaga kesehatannya. Main catur merupakan hobi dan kegemaran utamanya. Universitas Negeri Malang jurusan Bahasa Inggris almamaternya. Dunia pendidikan adalah fokus utama urusan dan medan juangnya. Kemajuan pendidikan formal di pondok pesantren adalah prioritas. Santri bisa diterima di perguruan tinggi negeri adalah perhatian utamanya. Menjadi guru dan pendidik adalah pilihan hidupnya. Sampai wafatnya masih terjadwal mengajar dan mengaji kitab kuning di pondok pesantrennya.

Tahun 1983 saya masuk sekolah MA “Roudlotun Nasyiin” Beratkulon, Kemlagi, Mojokerto. Beliau guru bahasa Inggris sekaligus kepala sekolahnya. Masih bujang, belum menikah. Sangat dekat dan dicintai murid-muridnya. Kalau mengajar sangat menyenangkan. Suasana belajar menjadi hidup. Penjelasannya mudah dipahami. Imajinasi kami terbawa melayang ke Inggris dan Amerika yang menjadi kiblat bahasa Inggris dunia. Hal ini menjadikan kami para muridnya sangat suka dan gemar belajar bahasa Inggris. Sampai-sampai teman-teman saya seangkatan yang jumlahnya hanya 35 anak, ada dua siswa yang melanjutkan kuliah mengambil jurusan bahasa Inggris. Sekarang mengajar mapel bahasa Inggris di MAN Mojosari dan SMAN Kota Mojokerto. Kakak kelas saya persis menjadi dosen bahasa Inggris di UNISMA Malang. Kisaran tahun 1989-1994 saya berinteraksi aktif dengan turis asing di Kuta, Bali dengan modal  bahasa Inggris yang saya dapat dari pengajaran beliau di MA.

Beliau sangat dermawan, loman. Sebelum menikah dan mengontrak rumah di Mojokerto kota,  saya sering ditimbali. Terkadang disuruh mencuci pakaiannya, di waktu lain, motor Yamaha “YB”nya. Tidak jarang saya dikasih uang saku. Pada tahun ajaran sekolah 1984/1985, dalam perjalanan pulang sekolah Aliyah sekitar jam 17.00 seperti biasa kami semua para santri melewati depan Ndalem Romo Kyai. Saya tidak tahu apakah kebetulan atau sengaja, beliau berdiri di balai rumah ndalem.  Menyaksikan para santriwan santriwati pulang sekolah dari gedung MTs dan MA. Begitu melihat saya, beliau memanggil,. “Besok pagi kamu mulai mengajar di Madrasah Ibtidaiyah.  Kamu resmi menjadi guru tetap MI”. Begitu perintahnya. Waktu itu saya masih duduk di kelas tiga MA dan memperoleh bisyaroh Rp 17.500 per bulan. Sudah cukup bahkan lebih untuk kebutuhan biaya hidup sebulan.

Tahun 1993 saya menikah. Kemudian kami hidup di Kuta, Bali sekitar lima bulan dengan kost di satu kamar. Namun, rupanya istri tidak kerasan. Kami pun pulang ke rumah mertua Mojokerto. Sampai anak pertama lahir, pekerjaan saya tetap di Bali. Maka setiap dua minggu sekali harus mondar mandir Bali-Mojokerto. Sangat tidak enak rasanya tidak setiap hari bisa ketemu anak dan istri. Akhirnya, saya sholat istikharah dan berunding dengan istri.

فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ

“Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.

Akhirnya, kami putuskan untuk pisah rumah dengan mertua dan pindah kontrak rumah di pondok pesantren Roudlotun Nasyi’in, Beratkulon. untuk mengabdi sebagai guru di pondok pesantren tersebut. Kebetulan kami berdua sepondok dan sealmamater di pesantren ini. Tahun 1995 saya menemui beliau, di rumah kontrakannya, kota Mojokerto. Saya sampaikan niat saya kalau mau boyong ke pondok Beratkulon. Apa jawab beliau. “Sudah lama kamu saya tunggu untuk bisa mengabdi di pondok. Mulai besok kamu sudah boleh mulai mengajar di MA. Temui saya di kantor MA”. Setelah itu saya segera mencari rumah kontrakan di dekat Pondok. Alhamdulillah, saya mendapat rumah kontrakan yang jaraknya hanya 50 meter dari pondok. Mulailah istri saya mengajar di MI dan Madrasah Diniyah sedangkan saya mengajar di MTs, MA dan Madrasah Diniyah.

Sekitar tahun 1997 saat mulai ramai orang-orang berombongan naik bus untuk berziarah Wali Sanga, saya diajak teman mendampingi mereka ziarah wali. Gratis, bahkan dapat uang saku. Saya meminta izin beliau untuk tidak mengajar satu minggu karena saya akan berziarah selama enam hari. Apa jawab beliau? “Kalau kamu ziarah meninggalkan anak-anak seminggu, yang mendapat manfaat darimu hanya satu atau dua bus tetapi yang rugi 600 anak (12 kelas X 50 anak), tetapi kalau kamu tidak ikut ziarah wali sanga, yang untung 600 anak ,yang “rugi” hanya satu atau dua bus rombongan. Terserah. Berangkat? Silakan. Tidak jadi berangkat, ya tidak apa-apa. Pertimbangkan sendiri” begitulah respons beliau. Akhirnya saya pun memutuskan tidak menerima tawaran ziarah dan memilih tetap mengajar anak-anak.

Sejak tahun 2000 saya pindah rumah dari rumah kontrakan.  Membersamai nenek yang semakin menua di Dsn. Rejoso Ds. Payungrejo kec Kutorejo. Jaraknya sekitar 35 km dari pesantren tempat saya mengabdi. Empat hari dalam seminggu saya terjadwal mengajar di pondok. Hampir bisa dipastikan kalau jam 07.00 saya belum sampai di kantor madrasah, saya akan ditelepon langsung. Kalau “tidak berhasil” menelepon saya, beliau akan menelepon istri saya dan menanyakan keadaan dan keberadaan saya. Inilah sebabnya kalau saya terlambat berangkat ngajar ke pondok, saya “dimarahi” istri tercinta.

Tentu saja masih banyak kenangan indah dan manis selama berinteraksi bersama beliau yang bisa menjadi pelajaran hidup bagi saya. Beliau sering menukil kitab ‘Idhotun Nasyiin karya Asy Syaikh Mushthofa Al-Ghulayainy

إن في يدكم أمر الأمة وفي أقدامكم حياتها فأقدموا إقدام الأسد الباسل

“Wahai pemuda! Di tangan kalian urusan bangsa. Di kaki kalian tegak hidup suatu bangsa maka bergeraklah maju. Kalian seperti gerak majunya seekor singa yang  gagah perkasa”.

Engkau adalah bapak yang menyayangiku, ayah yang menjagaku, guru yang mendidikku. Kiai teladanku. Engkau tidak hanya benar dan baik namun juga indah. Lebih dari meneladankan kebenaran dan kebaikan, engkau meneladankan keindahan hidup.

 

—oOo—

Penulis adalah santri di PP Roudlotun Nasyi’in, Beratkulon-Kemlagi dan PP Amanatul Ummah Pacet. Keduanya di Mojokerto. Mengaku sebagai salah seorang santri di Padhang mBulan, penulis bisa ditemui di kediamannya di dusun Rejoso-Payungrejo, kecamatan Kutorejo, Kab. Mojokerto