Sonya Ramadlan

Inikah Puasa!? Inikah Hari Raya!?

 

Semoga kita semua termasuk golongan yang lulus dari madrasah Ramadhan tahun ini sehingga bisa mengaplikasikan hakikat puasa kita pada kehidupan sehari-hari dalam banyak bidang dan tidak terbatas pada saat Ramadhan saja. 

Ramadhan tak lama lagi berganti Syawal. Tanpa merujuk pada almanak, pertandanya kian mudah dilihat. Jamaah tarawih semakin sedikit, mall dan pusat pertokoan semakin ramai, televisi mulai menayangkan informasi arus mudik, kesedihan basa basi tentang akan berakhirnya bulan Ramadhan, hingga broadcast copy-paste ucapan selamat Idul Fitri di HP masing-masing.

Saat masih kecil, Idul Fitri merupakan salah satu momen yang paling saya tunggu. Suasana yang sangat berbeda dibanding bulan lainnya, mudik ke rumah kakek-nenek, bayangan akan baju dan sarung baru, hingga segepok uang pemberian dari sanak famili dan para tetangga. Semua itu mampu meninggalkan kesan mendalam tentang suasana hari raya di hati saya. Semakin beranjak dewasa, saya perlahan mulai menemukan sisi lain, sisi yang lebih melankolis. Tidak masalah kalau ada yang tak sependapat atau tak merasakan hal yang sama. Karena semua manusia memang diciptakan berbeda.

 

***

 

Setiap berkumpul dengan keluarga besar, hal yang paling menyebalkan adalah ketika ditodong dengan pertanyaan “kapan nikah?”. Sebuah pertanyaan yang hanya mampu saya jawab dengan diam. Ditambah dengan semakin banyaknya keponakan bahkan cucu-cucu dari kakak sepupu yang secara adat Jawa juga memanggilku dengan panggilan mbah. Mereka yang berlarian ke sana kemari semakin menambah sisi melankolis saya di saat orang lain tampak bahagia dalam suasana Syawal.

Itu tadi dari internal keluarga. Sedangkan secara eksternal, tetangga sekitar lingkunganku yang–Na’udzubillahi min dzalik, tidak bermaksud ngerasani, namun ini adalah realita–datang berkunjung. Bersilaturahmi dari rumah ke rumah, dengan pakaian putri raja dan perhiasan seperti toko emas berjalan, kampungku serasa menjadi catwalk dadakan selepas sholat ‘ied. Terkadang ditambah berkunjung menggunakan mobil, padahal secara jarak masih wajar ditempuh bahkan dengan berjalan kaki. Ujung-ujungnya justru menyusahkan si tuan rumah untuk mencarikan tempat parkir.

Katanya Idul Fitri adalah hari kemenangan. Menang dari siapa dan atas apa? Untuk saya yang belum bisa menjawab pertanyaan klise nan klasik di atas, apa bisa saya termasuk golongan orang yang menang? Lalu apakah saling pamer kemewahan tadi dibolehkan dalam rangka euforia kemenangan?

Katanya Idul Fitri adalah hari dimana kita kembali bersih. Benarkah? Yakinkah bahwa kita memang benar-benar telah bersih? Kok rasanya ada rasa ge-er kalau saya memandang apalagi menempelkan kalimat tersebut terutama pada diriku.

Bagi sebagian orang, mungkin pernyataan dan pertanyaan saya di atas terdengar basi. Tapi toh pada kenyataannya, hal tersebut tetap sejalan dengan realita yang terjadi tahun demi tahun.

Duh, inikah yang dimaksud dengan hari raya!?

 

***

 

Tinggalkan curhatanku di atas. Kita refleksi sejenak tentang Ramadhan kita satu bulan kebelakang. Kacamata syariat adalah hal termudah untuk mengevaluasinya. Bolong berapa pada tahun ini? Bertambah atau menurunkah apabila dibandingkan dengan tahun lalu? Berapa persen tingkat kehadiran kita tuk tarawih di surau? Sudah dapat berapa juz tadarus kita? Atau pertanyaan lain yang intinya sebagai bahan instropeksi dari dan untuk kita sendiri.

Bergeser secara hakikat, bulan Ramadhan merupakan madrasah tempat kita belajar dan dididik agar kita siap tuk perjuangan sebenarnya. Belajar ngerem di tengah budaya ngegas. Perjuangan yang akan dimulai selepas Ramadhan hingga bertemu Ramadhan kembali tahun depan. Indikator keberhasilannya jelas, yaitu perubahan yang terjadi antara sebelum dan setelah Ramadhan.

Kalau puasa kita tahun ini masih saja berkutat pada tidak makan dan minum tanpa menahan diri dalam hal keduniawian lain, tumbuhan dan hewan justru lebih handal dalam hal itu. Lalu bagaimana jadinya selepas Ramadhan esok?

Dalam buku Mbah Nun berjudul “Tuhan Pun Berpuasa”, kita disuguhkan bahwa puasa itu sungguh sangat luas maknanya, cakupan aplikasi, waktu, pelaku, dsb. Bahkan, Allah pun berpuasa dengan caraNya sendiri. Sempatkanlah membacanya!

Bagi saya yang secara syariat saja sudah bolong-bolong, apakah bisa mengaplikasikan secara hakikat? Sulit mungkin ‘ya’, namun itu bukan suatu hal mustahil. Akan saya coba dan terus mencoba.

 

***

 

Terlepas dari semua igauan saya di atas, minggu esok, Idul Fitri 1438 H menjelang. Mohon maaf atas semua keluputan yang telah saya lakukan atau mungkin ada yang tersinggung dengan apa yang pernah saya tuliskan. Terutama untuk para Jannatul Maiyah yang–mungkin–mengenal saya secara langsung.

Setelah 1 Syawal, kita kembali ke titik koordinat 0 (nol). Mari men-default diri. Serta mari bersama-sama belajar dan saling mengingatkan sebagai sesama Jannatul Maiyah agar setelah ini langkah kita semoga milik Allah dan syukur-syukur kalau itu merupakan langkah Allah sendiri.

Semoga kita semua termasuk golongan yang lulus dari madrasah Ramadhan tahun ini sehingga bisa mengaplikasikan hakikat puasa kita pada kehidupan sehari-hari dalam banyak bidang dan tidak terbatas pada saat Ramadhan saja. Amin.

 

“Sesungguhnya berpuasa tak menunggu Ramadhan, berhari raya tak menunggu Idul Fitri. Selamat meneguhkan istiqomah peradaban inti di keluarga masing-masing.

 Selamat menikmati kemenangan Idul Fitri, yang bisa berupa kegembiraan, kerukunan, rizqi, dan harapan; tapi bisa juga berupa keprihatinan, kesedihan, ujian, pengabdian, atau peningkatan kesabaran.”

(Emha Ainun Nadjib)

 

 

Oleh : Wahyoko Fajar 

*) Bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Bisa disapa melalui akun twitter @wahyokofajar