Iri Atas Ketidakberdayaan
Oleh : Ungsaka
Asyik sebenarnya kehidupan yang dihamparkan Allah kepada Wijil. Allah selalu menyediakan ruang pengetahuan yang terkandung ilmu dan pengalaman. Seperti halnya pada suatu siang di tempat kerja Wijil, Allah menyediakan ruang pengalaman sikap, yang menurutnya, sangat berharga.
Suatu siang, di tempatnya bekerja, teman Wijil sambat ketika melihat bosnya datang dengan sepeda motor baru. “Wadah, mentang-mentang nganggo motor anyar, numpak e karo mecuca-mecucu“, kurang lebih begitulah ungkapan temannya.
Wijil sendiri santai-santai saja, karena dia sudah terdidik dengan pondasi dan cara berpikir yang tepat—sehingga teguh dan seimbang. Tapi, tetap berusaha menemukan mata nilai dari apa yang sudah terhampar di hadapannya.
Ungkapan perasaan temannya itu lahir dari rasa iri atas ketidakberdayaan dari suatu hal yang dia percayai sebagai tolok ukur pencapaian. Jadi, tolok ukur itu menjadi standar nilai untuk menilai pencapaian dirinya atas kehidupan. Hasilnya, ketika ada orang yang sudah mencapai sesuatu yang menurut temannya merupakan pencapaian, maka lahirlah rasa iri. Rasa iri semakin kuat menguasai diri karena merasa pencapaian itu tidak mampu dicapai.
Beda dengan Wijil, dia terdidik oleh lingkaran organisme mutahabina fillah yang punya standar nilai, cara pandang dan sikap sendiri atas dunia dan kehidupan. Sehingga, apapun yang terjadi pada dunia dan hidupnya—yang oleh orang banyak dikejar-kejar sebagai suatu pencapaian—malah berbanding terbalik oleh cara pandang Wijil dan sedulur lingkarnya yang selama ini bertapa dan terus belajar di Gua Kahfi peradaban.
Maka, ketika kompleksitas demi kompleksitas lahir sebagai hasil dari heterogen cara pandang dan sikap masyarakat di negaranya, Wijil dan seluruh sedulur lingkarnya sudah matang, tuah. Hawa dan awu-nya telah siap untuk menjawabnya. Salah satunya dengan memanusiakan manusia dan terus menelusuri serta menemukan kesadaran aliran sungai yang didorong oleh sumber mata air Tuhan.
Surabaya, 25 Desember 2019