Kolom Jamaah

Ironi Iradat

oleh: Zixk

Membaca ironi yang terjadi pada zaman ini, tulisan ini bermaksud menyinggung sisi “kuantitas” yang terjadi pada keseluruhan hidup kita. Bentuk kuantitas adalah banyaknya manusia yang berlomba dalam hal mendominasi, sehingga mengabaikan sisi “kualitas”. Ironi ini seakan abadi, setidaknya dalam dua aspek, yakni pendidikan (baca: sekolahan) dan politik. Keduanya terlihat sangat bersandar pada kuantitas atau angka-angka.

Salah satu ironinya yang akan terjadi di masa mendatang adalah pada dunia kerja yang menampung “produk” dari sekolahan. Manusia yang pernah bangga dengan ketelitian sebagai bentuk kualitas kerjanya, lambat laun akan mulai tergantikan oleh beberapa teknologi, salah satunya adalah pemanfaatan robot sebagai bentuk otomatisasi dan mekanisasi. Ironi dari kuantitas ini bak mata uang bermata dua, alih-alih menambah ketentraman dalam hidup malah bisa menambah beban tanggungan manusia yang dituntut untuk memikirkan inovasi-inovasi agar tidak terkalahkan dengan teknologi.

Sedangkan dalam aspek politik, kuantitas seperti hal yang utama. Terlebih lagi dalam meraih supremasi yang direpresentasikan oleh kekuasaan. Untuk mencapai supremasi ini, berbagai aktor dan institusi politik berlomba-lomba dalam hal tipu daya, kelicikan, persengkongkolan gelap maupun terselubung untuk menahbiskan diri sebagai sang pemenang. Nilai-nilai yang besifat mendasar maupun ideologi bisa saja kemudian tersingkirkan sebagai harga yang harus dibayar dari praktek tipu-daya tersebut.

Pada praktek sedemikian, rakyat kebanyakan kemudian hanya menjadi objek penderita. Yang sedemikian menderitanya hingga tak jarang berbalik arah untuk ikut memuja dan mengabdi pada sang pemenang. Yen ra edan ra keduman.

Emma Goldman, dalam Anarkisme, menampilkan apa yang disampaikan Dr Stockman perihal musuh berbahaya bagi kebenaran dan keadilan di tengah kita adalah “mayoritas yang kompak, mayoritas yang kompak yang terkutuk”. Yang jumud dan membabi buta sehingga kemudian begitu ketakutan akan munculnya inovasi yang dianggap mengancam status quo.

Kejumudan semacam ini hanya bisa diurai oleh timbulnya kesadaran dan kehendak akan pentingnya sisi “kualitas”, tidak hanya melulu sisi “kuantitas”. Tidak hanya semata-mata kesadaran dan kehendak instingtif semata, melainkan kehendak yang berasal dari Sang Maha Berkehendak, Iradat. Membangunkan dan mengasah kesadaran dan kehendak ilahiah sebagai Nusantara, adalah yang mungkin saya harapkan ketika beberapa hari menghadiri pementasan WaliRaja RajaWali. []

Leave a Reply

Your email address will not be published.