Istiqomah Berperan, Rendah Hati dalam Berlaku.
Di tengah derasnya aliran ide, curahan rasa, pengalaman dan harapan melaui rubrik Metaforatma, team bangbangwetan.org sedikit memberi sisipan.
Insert ini adalah hasil wawancara reporter Buletin Maiyah Jawa Timur dengan Cak Anang Ansharullah (Cak Nang) dan Cak Ahmad Syakurun Muzakki (Cak Zakki) yang dimuat di BMJ edisi September 2015. Framingnya adalah kesan dan ekpektasi beliau berdua terhadap Bangbang Wetan yang kala itu mensyukuri sembilan tahun usianya. Tulisan yang tetap aktual secara marwah maupun muatan.
Kami merasa perlu kembali mengangkat tulisan ini karena dua alasan: pertama, agar setiap dari kita menyadari besarnya dukungan lahir maupun batin dari para tetua. Yang tak mengenal terminologi stagnan sejak masa persiapan, deklarasi hingga kini Bangbang Wetan menapaki tahun keduabelas perjalanannya. Kedua, bagi sebuah harapan besar akan tetap terjaganya jernih–tegaknya kesejarahan kita bersama. Sejarah yang pada gilirannya berperan merawat arah perjalanan kita sebagai satu organisme masa depan.
Sembilan tahun pelaksanaan Bangbang Wetan (BBW) diperingati pada bulan ini, September 2015. Menapaki perjalanan singkat yang lumayan panjang tentu tidak bisa dilepaskan pada dua dari sekian banyak pemahat eksistensi awal Forum Pencerahan ini. Keterlibatan Cak Nang dan Cak Zakky, dalam dan terhadap BBW dimulai jauh sebelum ada ide tentang forum kita ini diverbalkan oleh Cak Nun. Kedekatan dalam darah dan keseharian sejak di Petangpuluhan adalah semangat awal dari kualitas nyala mereka bagi kobar tercetusnya BBW.
Menyimak apa yang beliau berdua sampaikan untuk ulang tahun Bangbang Wetan, sekaligus menjadi catatan penting bahwa tidak ada perjuangan yang berakhir oleh hitungan waktu. Kerja keras dan kerendah-hatian menjadi salah satu kunci untuk tetap terarah dan tidak mudah merasa paling atas yang lain.
Mengenai bagaimana pendapat dari Cak Nang tentang Bangbang Wetan, beliau menuturkan betapa egaliter dan penuh dinamikanya interaksi yang terjadi sepanjang tahun berjalan.
Egaliter dan Dinamis. Dua hal tidak lazim disatukan dalam satu kalimat, namun serasa langsung terkonfirmasi dalam diri masing-masing Kami sebagai pegiat yang masih mencoba memahami betul bagaimana anomalinya. Sementara dilihat dari sisi yang lain, Cak Nang menambahkan bahwa saat ini Bangbang Wetan insyaAllah lebih siap berorganisasi. Tidak mudah tersinggungan, kata Beliau.
“Ketika terjadi gempa di Jogja, teman-teman Maiyah Jatim lah yang paling giat untuk menjadi relawan di sana. Hormat untuk Agung Tril, Solichin, Kang Kaji Haris, dan semuanya.”
Ada aroma nostalgia yang harum ketika redaksi meminta diajak dolan ke kenangan Beliau. Jadi ingat anak-anak Cacak dewe, ujarnya. Bagi Cak Nang, Maiyah itu berperan dalam perjuangan kehidupan. Seperti apa yang dikatakan Almarhumah Mbak Ninuk, istri Beliau, selalu meletakkan diri sebagai Pelayan Ummat. Melayani apa saja, menemani siapa saja. Karena Maiyah adalah Islam itu sendiri, menemukan intisari di dalamnya.
“Hidup menjadi sederhana dengan menemukan maqomnya masing-masing. Tidak ada berebut peran. Yang ada hanya berebut melayani.”
Sedang bagi Cak Zakky, makna Bangbang Wetan bisa sangat fleksibel tafsirnya karena masih harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Beliau lebih menggaris bahwahi pentingnya kerendah hatian. Bahwa tidak harus merasa bahwa timur adalah yang paling timur dan barat adalah yang paling barat. Kebangkitan bisa dimulai dari manapun, bukan berarti attribut ‘bangkit dari timur’ itu harus dilekatkan dengan Bangbang Wetan saja.
“Jamaah Maiyah BBW adalah anak-anak muda yang semangat Surabaya-nya menggelegak. Tahun ini BBW harus bersyukur karena punya Rektor yang bervisi yakni Sabrang MDP. Kalau teman-teman istiqomah, Saya yakin, kedepan, semen yang dilepo oleh Mas Rektor akan menguatkan masa depan anak-anak muda BBW.”
Menemukan kembali apa yang sempat terserak sepanjang perjalanan memang menjadi sesuatu yang melegakan. Seperti halnya ketika sinambung silaturahim dengan Beliau berdua. Di awal mungkin Kami hanya berharap untuk di-replay kisah naratif saja, namun ternyata ada nilai-nilai yang jauh lebih dalam. Disangoni. Sehingga nanti di fase perjalanan berikutnya ada bekal dan sandal yang baru bagi Kami pribadi dan (semoga) pula bagi keluarga besar Forum Pencerahan Bangbang Wetan Surabaya.
Redaksi bangbangwetan.org