Kolom Jamaah

JAROT MAIYAHAN

bbw feb 16 1

 Oleh : Khalifatul Rahmat ( Jamaah Maiyah JAMBI )

Ternyata Jarot teringat dengan kalimat bijak seorang Guru Bangsa “Apa gunanya ilmu jikalau tidak memperluas jiwa seseorang, sehingga ia berlaku seperti samudera yang menampung sampah-sampah”#CakNun.

Kalimat itu terlihat biasa saja mungkin menurut beberapa manusia mainstream saat ini. Akan tetapi jauh lebih dari itu, sebenarnya terkandung nilai-nilai ilmu kehidupan. Dimana masa, zaman serta saat ini pendidikan sekolah belum mampu membawa anak didiknya untuk memperluas diri sendiri.

Oh, wajar saja anak didik memang tak dipersiapkan untuk itu, tapi untuk disiapkan menjadi pekerja nantinya. Dengan diberikan sebuah lembaran kertas yang diberi label ijazah, kemudian bisa dipergunakan untuk melamar kesana-kemari. Tapi bukan maksud Jarot membenci, menghina, merendahkan atau mengejek sekolahan. Itu hanya sebagai pendapat, komentar mungkin bisa dikatakan saran untuk kurikulum pendidikan disekolah. Ya, kalau saran, komentar, pendapat kan boleh diterima, ditolak atau dipertimbangkan untuk kemajuan pendidikan di Negera Amnesia tempat ia tinggal.

Tapi apa urusan dia mengurusi itu semua.? Pejabat bukan, guru apalagi, dikatakan kepala sekolah juga tidak atau Presiden, menteri, gubernur, Anggota DPR, LSM pendidikan juga bukan. Mungkin karena rasa cintanya kepada Negeri tersebut, ia hanya bisa memberikan sebuah sedekah atau sumbangsih pemikiran terhadap pendidikan Negeri ini.

Waduh, ternyata Jarot memiliki perhatian juga terhadap pendidikan di negeri tempat ia tinggal. Padahal pendidikan untuk dirinya sendiri saja belum bisa dikategorikan Lulus apalagi sukses atau bagus. Bagaimana bisa mengurusi pendidikan Negeri ini.?

Akhirnya, karena kebingungan terhadap pendidikan di negeri tepat dimana ia bermukim. Dia memilih untuk mengembara kemana-mana dalam keterasingan dikerumuni dengan hiruk pikuk ramainya dunia mainstream.

Namun dikala ia merasa terasing, sebagaimana yang dirasakan oleh para jomblo, dimana dirinya selalu merasa kesendirian dalam keramaian. Ia menemukan “Maiyah” sebuah keluarga, atau komunitas atau organisasi atau mungkin seperti wadah, teman, sahabat menurutnya.

Ternyata Maiyah itu sendiri bukanlah sebuah komunitas, organisasi, lembaga apalagi sekolah. Akan tetapi lebih dari pada itu yakni “Maiyah sebagai Kata Kerja (Silahkan Baca Artikelnya di CakNun.com)”.

Sebenarnya bukan maksud Jarot untuk mengajak atau menghimbau teman-teman, saudara, para pembaca untuk mengikuti jalannya. Karena setiap kali ia jalan jejaknya pasti akan dihapus, kalau tidak dikasih jalan lain, atau dikasih police Line agar tak ada satu pun yang mengikutinya. Namun ia berinisiatif untuk sama-sama berenang, belajar, mendalami, menyelami, merasakan, mensyukuri, menikmati keindahan dalam ber-Maiyah.

Dan maiyah itu sendiri mengutip kalimat Guru Bangsa “adalah dimana saja kita berada, ditempat kerja, di rumah ibadah maupun dipasar, dijalan dan dimanapun saja selalu kita bersama Allah dan Rasulullah. Kapan saja kita sadar maupun tidur, di pagi hari, siang, sore atau malam hari selalu bersama Allah dan Rasullulah”#CakNun.

Justru karena ber-Maiyah, saya bisa menulis, membaca, mengomentari, menceritakan, berbicara apapun di manapun dan kapanpun saat ini maupun akan datang. Ayo ber-Maiyah.! (sebagai kata kerja). Sahut Jarot dengan ketawa dan senyam-senyum, sembari mengangkat tangannya, walaupun sebenarnya itu belum tentu mungkin orang akan mengikutinya. Karena dia saja belum jelas keberadaannya.

Penulis bisa ditemui di : Rahmat.ajaaaa@gmail.com ( artikel tersebut dimuat dalam buku karya beliau MAKUTIBA ( PERJALANAN SUNYI MENCARI JATI DIRI, DALAM NOVEL TUHAN ).

 

 

 

 

 

 

 

S