Jingklong Ketaton*
Oleh : Rio NS
Assalamu’alaikum, Aksana…
Surat ini kutulis di pinggiran ladang tempat kami sandarkan harapan akan putaran laju roda kehidupan. Bukan ladang kami memang. Tanah ini milik kerabat dekat yang kerelaannya berbagi sungguh satu bentuk rezeki yang tidak pernah terduga sebelumnya. Tentang ini akan banyak catatan tersendiri yang berharap bisa kutuliskan di surat-suratku berikutnya.
Dari tempatku duduk ini, terlihat jelas tekstur dua gunung yang berdampingan dengan sifat yang sungguh berbeda. Satu gunung yang bentuknya kecil tak beraturan adalah ia yang punya catatan panjang tentang letusan hebatnya. Disebabkan oleh letusannya itu pula maka morfologi kekiniannya tak lagi beraturan. Muatan lava dan bebatuan yang pernah dimuntahkannya membuat banyak patahan dan cekungan sehingga menghilangkan bentuk asli yang semula kerucut murni selayak bentuk tumpeng yang kita kenal. Gunung ini pernah menjadi perebutan dua daerah tingkat II untuk menjadi pengelola kekayaan sumber daya di dalamnya. Hasil akhir dari sengketa ini tak kuketahui secara pasti, karena bagi kami apalah bedanya.
Gunung di sebelahnya terlihat memanjang dari timur ke barat. Bila kita amati, bentuknya seperti seorang putri yang berbaring tenang di peraduan. Di salah satu lerengnya, terdapat pusat kegiatan ribuan orang yang hampir sepanjang tahun mendatanginya untuk memperbaiki nasib. Absurd memang, bagaimana perbaikan taraf hidup diupayakan melalui ritual tertentu yang tak jelas dari mana asal muasalnya. Dalam kebudayaan marginal kita, seperti kau tahu juga, banyak percabangan seperti ini yang tetap terjaga hingga kini. Menjadi kaya, awet muda, enteng jodoh, dan mendapat pekerjaan layak memang seringkali membuat kita memilih jalan yang relatif lebih mudah serta tentu saja, murah.
Bagaimana kabarmu, Aksana? Ketika kau ceritakan bahwa dua anakmu, Risa dan Sula, harus menjalani rawat inap, aku sungguh prihatin. Betapa sibuknya dirimu dan Tifa mengatur agenda sehari-hari. Saat mana ibu mertuamu masih memerlukan pendampingan pasca sakit panjangnya, keharusan Tifa membuat dan mengantarkan pesanan kue-kue dan kau sendiri kudengar semakin banyak order cetakan yang mesti kau layani. Satu sisi ini, pesanan kue dan order barang-barang cetakan patut kita syukuri. Cerita hidup tak jarang menghadirkan dua hal berbeda, saling berdampingan dan sesekali bertolak belakang.
Tentang sakit ini, di daerahku sedang terjadi epidemi demam berdarah. Tingkat keparahannya cukup tinggi meski belum ditetapkan sebagai kejadian luar biasa. Sudah ada korban nyawa. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak usia sekolah dasar. Namun secara umum, virus ini menjangkiti hampir semua usia. Wajar saja karena Aedes Aegypti pastilah tidak bisa membedakan mana mangsa cukup umur, muda usia, atau lansia.
Sebagai tropical disease, wabah demam berdarah selalu terulang di setiap tahun. Musim hujan sering kali menjadi masa-masa puncaknya. Alasan logis dari ini adalah karena perkembangbiakan nyamuk dengan warna hitam-putih ini meningkat di saat curah hujan meningkat dan jentik calon penerus keturunan mereka menyukai genangan air, seberapapun luas dan volumenya. Yang mengejutkan, jentik-jentik ini bukan hanya marak di kawasan pemukiman dan perkotaan yang karena sanitasi dan kebersihan lingkungannya buruk. Mereka juga menempati cekungan di bilah-bilah daun nanas, pisang, dan talas. Sehingga sangat wajar bila serangannya bukan hanya untuk warga urban namun juga bagi mereka yang tinggal di pedesaan.
Empat hari lalu, aku bertemu dengan seorang dokter kepala puskesmas di sebuah kecamatan. Darinya baru kutahu bahwa aksi pengasapan (fogging) adalah murni kewenangan dari Dinas Kesehatan setempat dan tidak bisa dilakukan atas usul atau permintaan masyarakat. Fogging dilakukan bila ada laporan yang diterima bahwa terdapat pasien DB di daerah tertentu. Pelaksanaannya dijalankan setelah petugas menemukan jentik-jentik Aedes Aegypti di radius tertentu di sekitar rumah pasien. Kalaupun ada pengasapan yang dilakukan atas permintaan warga, ini bersifat swadaya. Beberapa lingkungan mengadakan sendiri dengan dana patungan, beberapa kawasan lain cukup beruntung karena menerima program pegasapan dari calon-calon anggota dewan legislatif.
Informasi lain yang kudapat dari dokter muda usia lulusan FK sebuah perguruan tinggi di Jakarta ini adalah bahwa serbuan vector atau pembawa virus dengue ini memiliki siklus lima tahunan. Pada putaran 2019, insiden dan jumlah pasien terjangkitnya meningkat tajam. Pikiran isengku langsung mengarah pada perhelatan nasional terkait pemilihan presiden dan wakilnya, serta ribuan wakil rakyat yang akan menduduki kursi mereka hingga lima tahunan. Hipotesa gentho yang mengemuka adalah nyamuk-nyamuk itu menyerbu membabi buta karena kekesalan mereka. Kepada para calon atas tidak tahu diri dan orientasi kelompok serta egosentris mereka kepada rakyat yang masih saja pelupa dan tidak pernah belajar dari pengalaman kecele massalnya. Semuanya menjadi repetisi dari masa ke masa.
Aksana, kucukupkan sekian suratku. Berharap Tuhan menyegerakan diangkatnya sakit dari kedua buah kasihmu…
Penulis adalah, penggiat BangbangWetan yang menemukan keseimbangan diri pada musik rock dan sastra. Bisa disapa melalui akun Facebook: N Prio Sanyoto.
*Jingklong = nyamuk
Dari idiom “Banteng Ketaton” yang menggambarkan tindakan mengamuk, menerjang seekor banteng karena terluka