Kalibrasi Diri – Prolog BangbangWetan Januari 2022
Oleh: Tim Tema BangbangWetan
Bilangan tahun 2022 baru berjalan beberapa hari. Sejauh ini gejalanya masih tampak sama dengan tahun sebelumnya. Setidaknya di negara kita yang tercinta, ada dua kegaduhan yang masih saja mbulet muter di situ-situ saja. Debat kusir tentang tentang tetek-bengek COVID-19 –yang kali ini hadir dengan varian baru—mulai dari teori konspirasinya, vaksin, aturan karantina, dan hal inkonsisten lain yang bikin masyarakat garuk-garuk kepala. Juga, kegaduhan dari dua entitas yang kita kenal dengan Kampret dan Cebong yang masih saja gaduh–terutama di media sosial—yang kita semua juga tahu bahwa ujung-ujungnya ya apalagi kalau bukan untuk 2024.
Apakah mereka yang terlibat aktif dalam kegaduhan itu ada yang merasa salah!? Ah… rasanya tidak. Lalu, apakah mereka merasa benar!? Nah… kalau ini rasanya ya. Penulis jadi teringat pada dialog Seger pada Daur-I • 283.
“yang sekarang sedang gaduh dan ribut di luar sana pada permenungan dan sublimasi saya bukan dinamika mencari kebenaran. Memang mungkin semua merasa sedang memperjuangkan atau mempertahankan kebenaran. Itu pun kebenarannya masing-masing. Tetapi sekarang semua pihak sudah terperosok ke dalam situasi dan posisi menang atau kalah. Bukan benar atau salah lagi….” [Daur-I • 283: Kebenaran dalam Kemuliaan]
Dalam ilmu Maiyah, seperti yang sering kita dengar dari Mbah Nun, kebenaran itu hakikatnya ada 3: kebenaran diri sendiri, kebenaran orang banyak, dan kebenaran yang sejati. Kita dituntut untuk tak berhenti melangkah, “mengosongkan gelas”, terus belajar, dan mengoreksi diri untuk–semoga pada akhirnya— menemukan kebenaran yang sejati. Bukan malah pamer urat leher untuk saling berdebat dengan saudara sebangsa dan senegara sendiri untuk mempertahankan kebenaran yang masih merupakan kebenaran diri sendiri.
Lalu pertanyaan berikutnya adalah bagaimana cara kita mengukur bahwa kebenaran yang mana yang sekarang sedang kita pegang!? Memang tak ada alat ukur yang valid dan baku. Tetapi tak semua hal harus diukur dengan bahasa ilmiah. Itulah sebabnya mengapa manusia tak hanya dibekali dengan otak, namun juga dengan hati.
Dalam pengukuran, terdapat sebuah istilah yang dinamakan dengan kalibrasi. Kalibrasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk menentukan bahwa nilai yang ditunjukkan alat ukur itu benar dan terstandarisasi. Kalibrasi perlu dilakukan, mengingat hasil pengukuran yang tidak konsisten dapat berpengaruh pada kualitas produk.
Tujuan umum diadakannya kalibrasi adalah untuk mencapai kondisi layak pakai dan meningkatkan kadar ketelitian. Dengan tujuan tersebut, proses kalibrasi diharapkan bisa mendatangkan manfaat, yakni menjaga kondisi instrumen ukur dan bahan ukur agar tetap sesuai dengan spesifikasinya.
Begitu juga dengan akal pikiran kita. Secara berkala kita harus mengkalibrasi diri agar perkataan, perbuatan, dan segala tindak-tanduk kita tidak hanya menghasilkan kegaduhan belaka, namun juga bermanfaat bagi sesama. Juga, agar kondisi dan kualitas akal pikiran kita tetap dengan standar spesifikasi yang ditetapkan oleh Sang Maha Pencipta.
Di BangbangWetan Januari ini kita bisa saling belajar, sinau bareng dan saling berbagi tentang pengalaman mengkalibrasi diri agar skala kita setidaknya tak melenceng jauh-jauh dari patrap kita sebagai Abdullah. Atau kalaupun kita belum bisa mendekat dengan skala ideal Gusti Allah, minimal kita tidak ikut èkèr lan umêk usrêk dengan kegaduhan yang terjadi di luar sana.
“Itulah yang mau kita rumuskan bersama”, potong Sundusin, “mengukur jarak setepat-tepatnya antara pinter dengan baik, antara baik dengan mulia, kemudian antara pinter baik mulia dengan sholeh”. [Daur-I • 283: Kebenaran dalam Kemuliaan]