Kami Adalah Kamu: Muda, Beda dan Berbahaya..* (cie, cie..)
Pengantar Minum Kopi
“Kami Adalah Kamu: Muda, Beda dan Berbahaya..* (cie, cie..)”
Oleh: Rio NS
“…Peradaban penumpukan tak bisa dipertahankan.
Lihatlah: kemacetan, polusi dan erosi!
Apa artinya tumpukan kekuasan
bila hidupmu penuh curiga
dan takut diburu dendam?
Sedangkan peradaban peredaran tak bisa dibina
tanpa berlakunya hak asasi.
Apa artinya kekayaan alam
tanpa keunggulan daya manusia?
Bagaimana bisa digalang daya manusia
tanpa dibangkitkan kesadarannya
akan kedaulatan pribadi
terhadap alam
dan terhadap sesamanya?…”
[Sajak Tahun Baru, WS Rendra]
DI SINI, seperti biasa, bersama beberapa nama, saya tuang tipis-tipis kopi relatif pahit ke piring kecil bermotif kembang, sambil sesekali hembuskan asap tembakau yang sejenak kemudian terkembang dan hilang. Kami bisa bicarakan apa saja. Dari ulah isteri atau pacar yang menggelikan dan terkadang membuat geram, permintaan anak-anak yang sangat tergoda oleh iklan-iklan di televise, Koran atau oleh satu-dua obyek yang dibawa teman. Atau kadang kami bahas juga dengan data standard dari sumber utama pemberitaan terkait perilaku, peristiwa atau tindakan dan kata-kata para pesohor: penyanyi, bintang film, bintang kagetan gubernur dan menteri serta pastilah presiden dan wakilnya—definitif maupun bayangan.
Ups, jangan salah. Ihwal “pergerakan”, kemaiyahan, tokoh-tokoh dan debutan serta arah gerak Sang Guru yang cenderung melempar puzzling juga kami perbincangkan. BUkan itu saja, rasa kesal, takjub dan kekecewaan atas laju bahtera negeri sebelah bernama Indonesia terkadang menjadi topik yang menarik. Selanjutnya, kami juga menghitung apa itu Rebo Wekasan, makna di balik gerhana matahari atau bulan hingga tata cara dan uba rampe Nyadran pernah jadi “kurikulum” yang selalu putus di tengah jalan.
Peserta sidang “isbat kopi-iyah” ini sangat cair. Dia bisa saja seorang pekerja kantoran yang mencuri waktu makan siang, beberapa entrepreneur yang mampir saat mencari lubang-lubang baru bagi pengembangan usaha atau sebelum adakan pertemuan dengan mitra kerja dalam urusan utang-piutang. Tapi kebanyakan adalah kami yang tidak jelas benar status dan posisinya. Nggak bisa dibilang kerja tapi rokok selalu dari merk ternama. Dibilang nganggur terasa tidak pantas karena hari-harinya selalu penuh jadwal dan agenda.
Dari sudut pandang congenital, sebenarnya, kami tidak pernah peduli. Meski hampir selalu kelompok maskulin yang datang, entitas femininpun pernah ikut nimbrung sesekali. Bahwa mereka datang tanpa membawa identitas kelompoknya, mmhhh… belum pernah saya telisik kekerapannya. Meski demikian, hampir pasti, tidak ada perlakuan khusus bagi satu kelompok genital. Pertanyaan atau kekhawatiran akan jalan pulang yang sepi usai perbincangan dianggap selalu aman karena, dari pertemuan dua pekan silam dinyatakan bahwa si fulan yang datang adalah dia yang maskulin meski secara fisik sangatlah feminin.
O ya, nama, kalau memang diperlukan, forum yang menjadi media pertemuan kami itu bisa bermacam-macam. Agenda resmi “perkoempoelan” semisal sholawatan di malam tanggal dua belas candra Qomariah, pertemuan malam Sabtu di kediaman beberapa teman, diskusi (sejatinya, acaranya belum pernah sekeren namanya) Arus Bawah di sebuah warung kopi atau sebelum dan sesudah pertemuan besar bulanan di Menturo serta pelataran gedung-gedung instansi pemerintah di kota Pahlawan.
Di sini, seperti biasa, bersama banyak nama, saya tuang tipis-tipis kopi relatif pahit ke piring kecil bermotif kembang, sambil sesekali hembuskan asap tembakau yang sejenak kemudian terkembang dan hilang. Perjalanan hidup mengajarkan untuk mensikapi apa saja dengan sak madya, kewajaran yang seperlunya. Fenomena yang bagaimanapun coba kami tanggapi dingin karena gejolak panasnya sudah mendidih dalam penyatuan mimpi, semangat, gerak dan tindakan yang menyala-nyala. Oh, bukan, bukan itu maksud saya.
Kami bukanlah minoritas yang frigid atas kejadian-kejadian dan gejala. Kami hanya sedang mencoba untuk tidak menjadi mereka yang reaksioner, menegdepankan teriakan namun berujung di eksistensi diri dan selfi-selfian. Kami hanya sedang serius meyakini beberapa nilai yang kakek nenek wariskan bahwa seiring terus beredarnya matahari semua murka dan angkara akan lebur dening pangastuti.**
Selamat mengganti kalender dan penanggalan. Selamat menentukan resolusi-resolusi yang menjelma nyata dan tidak menipu diri sendiri. Selamat melanjutkan perjuangan yang penuh suka cita dan kegembiraan. Tidak kalah penting, selamat menambah satu-dua gelas kopi lagi…
–ooo0ooo—
*= Penggalan lirik lagu “Jika Kami Bersama” dari Superman Is Dead
**= Pepatah Jawa “Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti” (segala kekuasaan, kekuatan akan dikalahkan oleh kelemahlembutan dan budi pekerti)