Kolom Jamaah

KATA-KATA yang Merin(duka)nmu

( Renungan Oleh : Hendra Tulungagung / Jamaah Maiyah BangbangWetan )

Kata-kata adalah hati yang tereja

   Merindukan mereka yang mengertinya

       Menduka mereka yang melupanya

 

Akulah kata-kata,

    sendiri tanpa kau baca

         sesepi tanpa kau rasa

           yang muncul dari semesta indra

              hanya kau berlalu melupa makna 

Apakah hanya kemilau cahaya yang kita lihat, dari kecantikan sebentuk permata?, apakah hanya kegagahan yang kita lihat dari sebatang pepohonan?, apakah hanya sebening air yang kita lihat, dari kejernihan alirannya?, apakah hanya belaian angin yang kita rasa dari sejuk tiupnya? Dan apakah hanya duri-duri mawar yang kita lihat dari ranum senyumnya?.  Hendakkah kita mencoba lebih merasuk, menambah kepekaan indrawi bahwa mereka semua sedang membawa pesan, ingin men-transfer kata-kata kepada penglihatan, kepada pendengaran yang dirindukan.

Kehidupan ini luas, tak bisa kita simpulkan langsung makna yang kita lihat, seolah-olah yang kita dengar pertama kali adalah sebuah kebenaran hakiki, kebenaran mutlak, dan ketinggihatian zaman dengan gincunya ini membawa kita ketlingsut pada kesempitan kesadaran membaca tanda-tanda, kata-kata yang muncul dari apa yang kita indra, hingga pesan kata-kata ke-sejati-an terbata-bata duka tak lagi tersapa.

 

Membaca dan Mendengar

Kita sadari bahwa perkembangan IT membuat manusia semakin terbantu, semakin memudahkan pencapaian pemenuhan hajat hidupnya, tapi apakah kita pun juga merasakan bahwa semakin menjauh dari yang dinamakan kesadaran membaca dan mendengar yang benar-benar kemurnian hati. Aktivitas sehari-hari sangat menyibukkan kita dalam menumpuk kematerian jasad kita, lipatan kecanggihan media sosial menimang-nimang kita hingga tak dapat menyisakan waktu kita untuk sejenak merenung (berkonteplasi), membaca keadaan-keadaan alam, atau apapun disekitar kita.

Padahal kita diingatkan pada penurunan surat pertama surat cinta Allah, untuk “Bacalah”. Apakah hanya tulisan yang tampak yang pasti kita baca? Atau ada unsur-unsur lain yang memiliki potensi untuk kita bacai, untuk kita renungi, untuk kita dengari?. Disini saya terpantik untuk merasakan kedalam membaca, bahwa membaca merupakan aktivitas yang tidak hanya melibatkan proses hubungan penglihatan yang mengetahui sebuah simbol-simbol yang tertangkap, tapi juga terdapat hubungan batin, kerendahan hati, kesediaan diri untuk mau dan mempersilahkan dirinya mendapatkan informasi dari apa yang dia lihat, dia dengar dan dia rasakan.

Memang banyak macam-macam cara membaca. Tapi ditulisan ini saya fokus mengulas tentang perasaan dan kesadaraan manusia sebelum memulai proses membaca. Dalam keterampilan berbahasa, membaca dan mendengar/menyimak merupakan proses reseptif (menerima) berbeda dengan menulis, dan berbicara yang berposisi sebagai proses produktif (menghasilkan). Proses membaca dan mendengar sangat memerlukan kesediaan waktunya, matanya (maaf bagi yang tidak tuna netra), telinganya bahkan juga menyediakan daya pikir otak dan daya rasa perasaan hatinya untuk ikut serta mengolah simbol-simbol, barisan saf-saf kata dan bebunyian yang muncul dari objek tertentu pun tak hanya dari apa-apa yang dapat terbaca terdengar dengan mata terbuka, tapi jauh lebih dalam dan luaslah pesan-pesan yang muncul dari sesuatu yang tak bisa kita pandang. Hal-hal yang diluar kemampuan indrawi kita. Sesuatu yang mungkin hanya orang-orang tertentu yang bisa menjamahnya, membacanya, mendengarnya.

 

Pembaca dan Pendengar yang lalai

Bisa kita ketahui bahwa sumber bacaan, sumber pendengaran sebagai berikut: sumber dari hal yang dapat kita lihat dengan mata jasad dan sumber bunyi yang dapat kita lihat dengan telinga jasad. Ada di sekitar kita orang-orang yang sangat mempercayai kata-kata yang baru pertama didengar, pesan-pesan itu dikaitkan dari orang-orang yang berpenampilan meyakinkan seperti berpakaian seakan seperti tokoh masyarakat, seakan-akan yang ber-jas-an, yang berkopyah, berdasi, berpendidikan tinggi, berpangkat, bergelar njlentrek itu pasti benar kata-katanya, padahal nabi mengingatkan pada sebuah riwayat ……(dengarlah isinya jangan liat siapa yang bilang).

Sebagian orang menganggap dunia hanya sewilayahnya, yang perlu dibaca dan didengar adalah hanya yang ia panuti atau cintai. Dia lalai bila sebenarnya “apa yang tidak diketahui itu lebih banyak dari pada apa yang diketahuinya”, atau mungkin kebenaran dapat muncul dari mereka yang dimusuinya, dari yang tidak disukainya, sehingga perlulah untuk tidak hanya memfilter, menganalisis, mengonceki, menyinaui, men-tadabur-i apa-apa yang diterima baik sengaja maupun yang tak disengaja. Itu pun masih dalam wilayah hubungan antara manusia dengan manusia, bagaimana dengan dialektika antara manusia dan makhluk lainnya? Misal pada hewan, tumbuhan, angin yang berhembus, air yang mengalir, suara seruling yang mendayu atau mereka-mereka yang tak kasat mata. Pastinya banyak kata-kata, simbol-simbol yang tersemburat muncrat ke arah onderdil kepancaindraan ini.

 

Pembaca dan Pendengar yang Bijak

pembaca dan pendengar ini lebih konservatif, lebih mengutamakan kerendahan hatinya untuk mau mendengar, melihat, membaca apapun yang masuk dalam dirinya tapi juga memaksimalkan kepekaan responsifnya, pemfilteran isi-isinya, mencari makna, mengobrak-abrik sumbernya darimana dan memperhitungkan besar kecil, pendek panjang, luas sempit ke-pengaruh-an yang diakibatkan bila pesan-pesan itu merasuk ke tubuh atau ke luar ke semesta. Manusia jenis ini merindukan isi-isi tentang kesejatian, sadar bahwa mungkin apa yang ditemukan sekarang itu bisa jadi belum kebenaran sesungguhnya, saraf nggoleki-nya tumbuh subur dipupuki oleh niatan suci yang tak akan ada kepentingan-kepentingan yang hanya menguntungkan diri sendiri dan golongan.

Apa yang diterima menjadi literasi yang memperkaya pengetahuan, akalnya, hatinya, imannya. Tidak alergi meski seringkali didapati kata-kata yang menyakiti hatinya, menggerus kepercayaannya, merendahkan golongannya, tapi itu semua dijadikan sebagai sarana komparasi (perbandingan) dan perbaikannya, tidak mengunggulkan emosi, amarahnya yang siap memakan, menyambel kata-kata dari siapa saja yang menurutnya tak benar. Malah tidak sungkan mengakui bahwa informasi awal yang diterimanya kurang benar, dan akan menginformasikan kebenaran yang dia dapatkan dari apa yang dia ketahui baik dari pengalaman pencariannya sendiri maupun dari pengalaman orang lain.

Kegiatan membaca yang memberi tambahan ilmu kita, tidak hanya menambah wawasan kita namun Allah mengingatkan kita dalam suat cinta-Nya yang artinya : “Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah maha mengetahui apa yang kamukerjakan. (Al Mujaadilah:11). Tapi apakah derajat itu yang kita tuju, menjadi tujuan akhir, menjadi yang dibangga-banggakan? Tentunya tidak, derajat adalah efek. Tujuannya tetap kepada arah-Nya.

 

Merindukan dan Dirindukan Kata-Kata

Sesungguhnya kata “kata-kata” disini hanyalah kiasan dari sesuatu yang muncul dari apapun yang dibaca, didengar, dilihat, dirasa oleh mata, telinga atau hati kita. Saya merasakan bila hati dan akal digunakan untuk mencari kebenaran sejati, maka akan ada sebuah kerinduan pada apapun tanda-tanda yang muncul, entah dari apaun, dimanapun, yang kasat mata atau tidak kasat, untuk diresapi dan diolah apa sebenarnya isi maknanya dan apa yang dapat diambil nilainya sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan nyata.

Berdasarkan pengalaman saya mengenai penerimaan hal-hal yang muncul tersebut, saya menemukan pesan-pesan darinya, maka karena sering perasaan dan indra ini terasah, dalam sudut pandang saya bahwa pesan, kata-kata yang sedang mendiami sumbernya itu mempunyai kerinduan juga terhadap kita sebagai perasa untuk dapat dimengerti, bahkan tulisan yang muncul mungkin tidak berupa huruf-huruf atau berbentuk bisikan, atau gelombang energi itu sangat meminta kita untuk disebarluaskan semampu kita dengan selimut kejujuran dan kelusan hati kita. Kata-kata, pesan-pesan itu menduka bila tak kita sapa, bila tak kita mendengarnya dari apa sebenarnya yang mau dia pesankan. Sehingga penerimaan rasa rindu itu membangkitkan gairah kita untuk semakin mencari dan memekakan potensi tubuh ini, jasmani rohani untuk lebih intim mendengar suara kesunyian di balik riuh gaduhnya zaman ini.

Hemat saya berpesan kepada diri saya sendiri, dan teman dulur-dulurku pembaca tulisan ini, bahwa lebih pekakanlah panca indra kita, luaskanlah kerendahhatian kita untuk merespon, menerima dan benar-benar mengolah apapun yang kita lihat, kita dengar, kita rasa berdasar hati yang jernih. Siapa tahu itu petunjuk-Nya. Tak perlu terlalu menyalahkan yang lain dan membenarkan dirinya, kelompoknya sendiri, atau bahkan sampai adanya kekejaman. Karena selama kita hidup di dunia adalah proses pencarian sampai akhirnya kita merebah ke dalam tanah. Karena siapa tahu, kita mendapat suatu nilai hidup yang kita kangeni selama ini dari mendengar kata-kata dikesyunyian itu, untuk bekal kedamaian hidup di ke-semesta-an fana ini dan hidup di alam setelahnya.

– Penulis bisa di temui di :sunuwahyum@gmail.com