KEDAULATAN MANUSIA MAIYAH
Edaran Maiyah 2015 – ditulis kembali sebagai pembelajaran
SATU,
Maiyah adalah cara belajar kehidupan yang unik.
DUA,
Keunikan tersebut terlihat pada beberapa ciri yang melekat pada Maiyah, di antaranya:
‘Tidak bersifat otoritatif’,
‘Motif berkumpulnya yang menegasikan motif-motif yang ada selama ini’, dan
‘dibangunnya semangat mencari apa yang benar, bukan siapa yang benar.’
TIGA,
Yang dimaksud ‘Tidak bersifat otoritatif’ adalah di dalam Maiyah siapa saja bisa dan boleh berbicara. Berbeda pada komunitas atau organisasi lainnya, yang lazimnya orang disodori ‘ini lho yang benar’, di Maiyah semua teori dilontarkan. Masing-masing orang yang akan mengujinya di dalam pengalaman hidup. Teori-teori, pengetahuan, dan pandangan yang dilontarkan sebagai diskursus untuk mencari kebenaran masing-masing.
EMPAT,
Dalam proses pembelajaran yang unik itu, maiyah cenderung menempatkan kasus perkasus hanya sebagai contoh, sehingga tidak terjeseret dalam wilayah pro-kontra, mendukung-menolak, memihak-memusuhi, setuju-tidak setuju.
LIMA,
Yang dimaksud ‘Motif berkumpulnya menegasikan motif-motif yang ada’ adalah jamaah tidak berkumpul di dalam Maiyah dengan motif yang ada pada lazimnya orang berkumpul, misalnya untuk mencari surga, mencari kekuasaan, mencari keuntungan ekonomi, atau kesamaan nasib, sebab Maiyah tidak menjanjikan semua itu. Pada faktanya, setiap jamaah memiliki motifnya masing-masing (bisa termasuk motif-motif tersebut di atas), tetapi yang mengikat mereka adalah ‘kebersamaan.’ Di dalam kebersamaan itu yang berlangsung adalah pengayaan wacana dan ilmu. Pengalaman masing-masing menentukan apa yang diperoleh. Dan karena itu, mereka tidak memperdebatkan ilmu, karena mereka menikmati kekayaan ilmu, sehingga yang tumbuh di dalam diri mereka adalah kelapangan jiwa dan toleransi, dan mampu menampung semuanya.
ENAM,
Di dalam Maiyah, jamaah dinalurikan untuk ‘tidak mencari siapa yang benar tapi apa yang benar’. Lazimnya, ketika menerima informasi, orang akan memiliki reaksi ‘benar’ atau ‘salah’ dan kemudian ‘percaya’ atau ‘tidak percaya’. Dalam hal ini, Maiyah mendorong agar setiap individu mengolahnya (dengan metodologi yang mengandung prinsip ‘tidak mencari siapa yang benar tapi apa yang benar’) sedemikian rupa secara berdaulat sehingga ketika ia sampai pada suatu kesimpulan, itu tetap berdasarkan kedaulatan dan kemandiriannya. Di sini, siapapun bisa menjadi guru dan teori apapun diterima sebagai wacana untuk masing-masing individu menemukan kebenaran. Pemahaman dan pengalaman hidup yang akan menguji kebenaran itu. Demikianlah, Maiyah memberi jarak antara wacana dan kepercayaan akan kebenaran, sehingga masing-masing individu memiliki ruang untuk mengolah semua informasi yang diperoleh untuk menjadi kebenaran yang diyakininya.
TUJUH,
Output dari semua proses di atas adalah kedaulatan manusia Maiyah. Yaitu manusia yang berkebersamaan. Di dalam kebersamaan itu, mereka membangun naluri-naluri dasar. Mereka mengidentifikasi, lalu memiliki kesimpulan, yang boleh jadi sama. Kebersamaan di dalam Maiyah tersebut membantu memperkaya view yang akan menumbuhkan dan meneguhkan kedaulatan individu tersebut.
DELAPAN,
Di dalam maiyah tidak ada kewajiban untuk patuh terhadap figur. Jika pun masing-masing jamaah Maiyah merasakan dan menemukan keharusan untuk patuh terhadap figur semata didasarkan dan merupakan hasil dari proses kedaulatan individu.
SEMBILAN,
Aktifitas ber-Maiyah berangkat dari keseharian masing-masing individu. Sehingga sikap bermasyarakat orang-orang maiyah tidak berbasis isu tapi berakar pada permasalahan hidup yang dihadapi sehari-hari di lingkungannya.