KERUKUNAN SEBAGAI BEKAL BERMASYARAKAT

Oleh: Imroah
Sinau bareng yang diselenggarakan di lapangan Kompleks Rumah Dinas TNI AL, Wonosari, Surabaya (21/8) berlangsung dengan cukup hikmat. Acara yang telah direncanakan panitia, baik dari prajurit TNI AL beserta segenap warga Wonosari, sejak enam bulan lalu menjadi pengobat rindu bagi Jamaah Maiyah Surabaya yang sejak pandemi tidak pernah berjumpa dengan Mbah Nun dan KiaiKanjeng. Meski angin laut sedikit menusuk, namun antusias Jamaah Maiyah untuk bercengkerama dengan teman maupun saudara tidak menyurutkan semangat dan kerinduan untuk ber-Sinau Bareng. Bahkan, sejak pukul 18.00, Jamaah Maiyah sudah memadati shaf depan lapangan kompleks Rumah Dinas TNI AL.
Pada kesempatan Sinau Bareng ini, panitia mengambil tema besar yakni “Dedikasi Paripurna Prajurit Samudra terhadap NKRI”. Tema ini menjadi tonggak awal Jamaah Maiyah untuk sinau bareng mengenai kerukunan sebagai bekal bermasyarakat. Tema yang sangat relevan di zaman ini. Terlebih masyarakat sering mempertentangkan sesuatu yang belum diketahuinya secara utuh, mudah tersinggung, mudah marah, bahkan hanya menilai dari sudut pandang like dan dislike terhadap sesuatu hal. Maksudnya bukan tentang apa yang disampaikan, namun tentang siapa yang menyampaikan.
Acara sinau bareng diawali dengan pembacaan ayat suci Al-Quran yang dibaca oleh Prajurit TNI AL, dilanjut dengan sambutan ketua panitia yang kemudian disusul kedatangan rombongan Mbah Nun dan KiaiKanjeng, rombongan TNI AL, serta tamu undangan. Mbah Nun dan KiaiKanjeng memandu semua yang hadir untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Mars Jalasveva Jayamahe sebagai lagu wajib malam hari itu. Jamaah Maiyah pun berdiri dan bersemangat menyanyikan lagu tersebut.
Diskusi malam itu dipandu oleh Pak Suko Widodo dan seperti biasa Mbah Nun telah mempersiapkan pertanyaan untuk bekal sinau bareng dengan memangil empat jamaah untuk maju ke atas panggung. Masing-masing jamaah diberi pertanyaan yakni: Pertama, dalam kondisi Indonesia seperti ini, sebagai masyarakat apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan? Kedua, sebagai angkatan laut, apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan? Ketiga, sebagai presiden dan jajarannya, apa yang harus dilakukan apa yang tidak boleh dilakukan? Keempat, sebagai umat Islam, apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan?
Sembari menunggu jamaah untuk menyampaikan gagasannya, Mbah Nun memberikan beberapa permisalan toleransi untuk menjaga kerukunan antar umat beragama yang dilakukan oleh KiaiKanjeng ketika pentas di gereja. KiaiKanjeng menyanyikan beberapa lagu yang “dianggap” lagu gereja seperti Malam Kudus dan Gloria. Masyarakat banyak yang mempertentangkan hal tersebut, namun menurut Mbah Nun muatan yang disampaikan adalah bentuk toleransi dan kerukunan antar agama. Pemikiran tentang notasi A hanya boleh dinyanyikan umat A dan notasi B hanya boleh dinyanyikan oleh umat B itu kurang tepat. Termasuk juga Mbah Nun mencontohkan beberapa lagu di Indonesia yang diadopsi dari notasi Bangsa Yahudi dan sebagainya. Ketidaktahuan masyarakat ini yang ingin dibuka oleh Mbah Nun agar masyarakat tidak mudah marah dan tersingung dalam banyak hal.
Setelah beberapa waktu menunggu, Jamaah Maiyah yang diberi pertanyaan dipersilakan untuk naik ke panggung dan menyampaikan pendapatnya. Pertama, Wahyu Pratama dari Tuban menyampaikan sebagai rakyat Indonesia yang harus dilakukan adalah menjaga kerukunan. Sedangkan yang tidak boleh dilakukan adalah korupsi, ikut arus globalisasi, ikut permainan judi online, dan menganut paham radikalisme. Mbah Nun menanggapi jawaban dari Wahyu bahwa judi online berpengaruh terhadap kehidupan sehingga membuat manusia menganggap biasa hal yang instan dan tidak menghargai proses. Namun selain judi online, Mbah Nun juga menyampaikan perihal narkoba yang juga merusak mental generasi muda. Narkoba bukan bentuk kekerasan, namun pembodohan. Selain itu Mbah Nun juga menanggapi perihal radikalisme. Bahwa radikal diperlukan, namun yang tidak diperbolehkan adalah memaksakan kehendak untuk mengikuti. Sebagai contoh, Mbah Nun mengibaratkan bahwa beliau radikal terhadap dirinya sendiri. Mbah Nun bisa saja menjadi pejabat, tetapi beliau memilih untuk tidak melakukannya, bisa menjadi presiden tetapi beliau tidak melakukannya, dan banyak lagi keputusan radikal yang Mbah Nun Ambil. Hal tersebut menjadi pencerahan untuk Wahyu dan Jamaah Maiyah lainnya.
Kedua oleh M. Ahsin dari Bojonegoro yang menyampaikan pandangannya tentang jika sebagai presiden atau jajarannya apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan? Menurutnya yang dilakukan adalah menjaga dan membangun ekonomi. Ahsin mencontohkan kenaikan harga BBM yang membuat masyarakat resah. Sedangkan yang tidak boleh dilakukan adalah terlibat politik aktif dan menjadi boneka politik. Mbah Nun merespons jawaban dari M. Ahsin terkait hal dasar yang membuat harga BBM naik dengan menyodorkan pertanyaan kepada Jamaah Maiyah, apakah kenaikan harga BBM merupakan kemauan pemerintah atau keterpaksaan? Jamaah Maiyah dengan kompak menjawab keterpaksaan. Ini juga menjadi jawaban bersama atas contoh yang dimisalkan oleh Ahsin. Kemudian Mbah Nun juga merespons perihal perbedaan pemerintah dan negara dengan contoh negara seperti Malaysia, Inggris, Spanyol, dan Jerman yang mempunyai kepala pemerintahan dan kepala negara yang berbeda sehingga jelas apa tugas negara dan apa tugas pemerintah.
Ketiga, Firmansyah dari Sidoarjo. Sebagai orang Islam yang harus dilakukan adalah melakukan Rukun Islam dan yang tidak boleh dilakukan adalah perbuatan tidak baik seperti judi. Mbah Nun merespons jawaban dari Firmansyah benar namun kurang pener. Mbah Nun menyampaikan bahwa sebagai orang Islam mengamalkan Rukun Islam adalah benar namun dalam konteks ini belum tepat. Melengkapi jawaban perihal perbuatan yang tidak baik adalah “molimo”.
Keempat, Sony dari Surabaya menyampaikan hal yang harus dilakukan oleh TNI AL adalah menjaga wilayah laut dan yang tidak boleh dilakukan adalah “molimo” seperti yang disampaikan Mbah Nun. Mbah Nun merespon bahwa Nusantara 2/3-nya adalah laut sehingga Angkatan Laut atau maritim menjadi gagasan yang perlu dipertimbangkan.
Terakhir sebagai penutup Pak Suko meminta Mbah Nun untuk merespons tema besar yang digagas panitia. Mbah Nun merespons dengan pandangan bahwa prajurit TNI adalah prinsip dan bukan merupakan pangkat. Sehingga meskipun sudah purnatugas sebagai TNI, jiwa prajurit harus tetap berkobar, cinta negara tidak boleh luntur, terus menjaga negara dan menjaga kerukunan bersama.
Sekilas tentang penulis : Lahir di kediri, bekerja sebagai buruh pendidikan di taman kanak-kanak.