Sonya Ramadlan

KESADARAN AKAN LIMITASI

” Manusia puasa tahu kapan waktu ia pergi melaut dan libur melaut, ia tahu kapan menebang pohon dan sadar untuk menanam kembali, ia tahu ada kalanya ia butuh bicara dan berhenti untuk bicara, manusia puasa mengerti batas dan kapasitas dirinya. ” 

Dewasa ini, manusia modern begitu menjunjung tinggi kata kebebasan, sebuah kata yang lahir karena manusia mengira dirinya punya hak di dunia. Tidak masalah jika kebebasan dihubungkan dengan hak, yang menjadi masalah adalah ketika hak itu tidak didasari dengan kesadaran melakukan kewajiban. Hak merupakan produk dari kewajiban. Seorang ekonom berkewajiban memahami dan mengerti tentang ilmu ekonomi secara kualitatif dan komperehensif, maka ia berhak berbicara mengenai bidang ekonomi. Hak untuk memberikan pendapat mengenai masalah ekonomi dalam sebuah negara, hak untuk mendapatkan pengakuan atas pernyataan-pernyataannya, karena konten yang dibicarakan berada di dalam limitasi pengetahuannya. Tetapi bukan berarti ketika kita sudah melakukan kewajiban lantas menuntut hak kita untuk dipenuhi. Hal itu memang sah-sah saja dilakukan, tetapi tidak etis jika dilihat dari kacamata akhlaq. Kesadaran untuk mengaitkan hak dengan kewajiban ini yang hampir tidak dimiliki di dalam konstelasi cara berpikir manusia modern saat ini. Kemunduran kepribadian pada manusia dan semakin berkembangnya teknologi, ketidakseimbangan hubungan antara manusia sebagai pembuat sekaligus pemakai dan teknologi sebagai alat, yang terjadi adalah bukan manusia mengendalikan alat, justru sebaliknya, hal ini yang menimbulkan banyak masalah baru dalam kehidupan bermasyarakat.

 

Perkembangan teknologi memiliki dampak yang sangat besar terhadap sejarah peradaban manusia, gedung-gedung tinggi, mesin-mesin, alat dan perangkat komunikasi, serta banyak lagi lainnya merupakan hasil dari perkembangan teknologi, betapa kita sangat dimudahkan olehnya, dengan media sosial online misalnya, kita bisa mengirim pesan kepada saudara kita yang jauh diseberang pulau hanya dengan benda sebesar genggaman tangan, membuat sebuah tulisan dan memublikasikannya semau kita, dan berbagai aktivitas yang bahkan dahulu hampir mustahil dilakukan oleh manusia pada jamannya sekarang dapat dilakukan dengan mudah. Tentu selain dampak positif media sosial online terdapat juga dampak negatifnya. Tidak jarang media sosial online dijadikan sebagai sarana adu jotos pendapat, menyebarkan isu-isu yang kebenarannya tidak bisa dipertanggungjawabkan, atau bahkan sebagai alat untuk mencari dukungan politik dan pencitraan diri. Semua itu merupakan beberapa akibat dari sebuah sebab kesalahpahaman manusia terhadap kata kebebasan, hak, dan kewajiban, serta ketidaktahuan manusia akan batas dan kapasitas dirinya.

 

Bulan Ramadhan, merupakan waktu yang diwajibkan untuk menjalankan ibadah puasa bagi orang Islam, ibadah yang sangat intens kepada diri, jika dibandingkan dengan ibadah-ibadah agama Islam yang lain. Tidak begitu banyak syarat yang Allah tetapkan seperti shalat yang harus wudhu terlebih dahulu, zakat dengan benda yang dizakatkan, dan haji beserta ubo rampe-nya. Puasa hanya cukup diri, kesediaan, dan kerelaaan untuk menahan diri dari kebiasaan makan dan minum sesuai dengan waktu yang ditetapkan secara fiqih.

 

Fakta yang terjadi kita jumpai di dalam masyarakat terutama di Indonesia, bulan puasa justru menjadi bulan yang gegap gempita, perayaan-perayaan dan pesta makanan, terbukti tingkat konsumsi masyarakat akan pangan meningkat, dan berlanjut dengan naiknya bahan pokok, belum lagi gaduhnya media online yang masih tetap saja memperdebatkan masalah toleransi yang bertemakan puasa, rasanya hal semacam itu sudah begitu wajar terjadi setiap tahun, karena sudah menjadi kebiasaan di dalam masyarakat. Maka, dimana esensi dari puasa itu? Apa yang dapat kita ambil dari puasa? Atau hanya mendapatkan lapar dan dahaga?

 

Puasa merupakan ibadah yang hening, sunyi, dan sangat privat. Puasa dalam esensinya, seyogyanya mengantarkan manusia menuju ke-diri-an manusia masing-masing, sehingga ia mengerti batas-batas dan kepekaan sosial, serta manajemen diri, agar manusia tetap berada pada garis presisi seperti tujuan penciptaanya sebagai khalifah di dunia. Manusia puasa tahu kapan waktu ia pergi melaut dan libur melaut, ia tahu kapan menebang pohon dan sadar untuk menanam kembali, ia tahu ada kalanya ia butuh bicara dan berhenti untuk bicara, manusia puasa mengerti batas dan kapasitas dirinya.

 

 Oleh : Fajar Akmal R. 

Lelaki kelahiran jombang, bisa dihubungi di : fajarakmal165@gmail.com