KESAHAJAAN SEORANG MURSYID
Pada 28 April 2017, Buletin Maiyah Jatim (BMJ) mendelegasikan dua orang reporter untuk bersilaturahmi langsung ke kediaman salah seorang Marja’ Maiyah di Kampung Dukuh, DKI Jakarta.
Kesempatan langka yang telah diberikan ini tentunya tak boleh disia-siakan begitu saja. Berjam-jam kedua reporter itu menggali sebanyak mungkin keilmuan beliau terutama tentang tasawuf, kedekatannya dengan Mbah Nun dan Jamaah Maiyah, serta hal-hal tak terduga yang belum banyak dibahas sebelumnya.
Dari pertemuan itu, lahirlah tulisan yang telah BMJ terbitkan pada rubrik Alter Ego dan Nukleus pada edisi Mei dan Juni 2017.
Beliaulah Syekh Muhammad Nursamad Kamba. Marja’ Maiyah yang telah pergi secara raga, namun siraman ilmu dan kenangannya kekal abadi di dada kita semua.
Sebagai salah satu penghormatan kami pada beliau, berikut kami unggah ulang salah satu tulisan hasil liputan langsung reporter BMJ dengan Syekh Kamba.
(FW/Red.)
KESAHAJAAN SEORANG MURSYID
Dalam khasanah Maiyah, kita mengenal 3 sosok yang sering disebut sebagai Marja’ (rujukan) Maiyah. Para Marja’ tersebut ibarat sumur yang tak habis-habis ilmunya walau kita terus-menerus mengambil dari kedalamannya. Apapun pertanyaan dari benak kita akan mereka jawab dalam koridor (ilmu) ke-Maiyah-an. Sebagai Jannatul Maiyah (JM), sudah selayaknya kita tulisan lebih mengenal sosok mereka bertiga. Ketiga Marja’ Maiyah tersebut adalah Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Ahmad Fuad Effendy (Cak Fuad), dan Syekh Muhammad Nursamad Kamba.
Dalam edisi Mei 2017 kali ini, reporter BMJ sangat beruntung bisa sowan langsung ke kediaman salah satu Marja’ Maiyah: Syekh Muhammad Nursamad Kamba. Lelaki yang menampilkan ketenangan dengan rambut putih serta kebersahajaan ini menerima kami di bilangan Kampung Dukuh, Kramat Jati, Jakarta Timur, DKI Jakarta.
Berikut merupakan nukilan singkat wawancara dengan beliau yang mungkin lebih sebagai fragmen dari sekian panjang perjalanan hidupnya.
Syekh M Nursamad Kamba ketika menghadiri Maiyah BangbangWetan
Muhammad Nursamad Kamba, atau yang akrab disapa dengan Syekh Kamba, Buya, atau cukup Pak Nur (selanjutnya Syekh Kamba), dilahirkan dari keluarga beragama dengan ayah seorang guru ngaji di Pinrang, Sulawesi Selatan. Walau begitu Syekh Kamba lah yang paling nakal dibanding kedelapan saudara sekandungnya. Saking nakalnya, saat tsanawiyah Syekh Kamba dimasukkan ke pondok pesantren karena keluarga merasa tidak enak terhadap tetangga sekitar.
Kenakalan Syekh Kamba kecil justru makin menjadi saat di pesantren. Mulai dari memanjangkan rambut, merokok, hingga meloncati pagar pesantren untuk menonton film di bioskop. Hukuman dari kenakalan tersebut adalah dipecat dari pesantren. Bukan hanya sekali, namun berkali-kali hukuman tersebut Syekh Kamba kecil dapatkan.
“Pulang bisa sampai satu bulan di rumah”, begitu kenang Syekh Kamba saat beliau dipecat dari pesantren.
Saat Syekh Kamba mengakui kesalahannya dan bertobat untuk tak mengulangi, biasanya ayah beliaulah yang mengantarkan kembali tuk menghadap Pak Kyai di pesantren. Menurut Pak Kyai saat itu, asal sudah bertobat maka silakan kembali ke pesantren, karena yang tak disuka adalah perilakunya, bukan orangnya.
Walau paling nakal dan tidak fokus belajar di pesantren, beliau paling pintar dalam hal bahasa Arab dan nahwu shorof. Kenakalan tersebut tetap berlanjut hingga setamat ‘aliyah di pesantren yang sama. Karena dahulu ada pendidikan keterampilan, Syekh Kamba ditugasi oleh Pak Kyai untuk menjalankan usaha percetakan. Dari tabungan hasil upah menjalankan percetakan inilah Syekh Kamba mulai menabung sedikit demi sedikit untuk merajut asa berkuliah di Al-Azhar, Kairo, Mesir.
Tahun 1981, berbekal tabungannya berangkatlah Syekh Kamba ke Kairo. Tentu bukan suatu usaha yang mudah mengingat pada saat itu sekedar mengurus paspor. saja merupakan hal yang sulit dan prosesnya bisa berbulan-bulan. Bisa dibilang saat berkuliah di Al-Azhar itulah titik balik kehidupan Syekh Kamba dimulai. Dari anak yang nakal menjadi siswa yang fokus dan rajin kuliah. Setamat S1, Syekh Kamba melanjutkan studi di universitas yang sama dengan mengambil jurusan Aqidah Filsafat.
Ada hal yang menarik saat para senior Syekh Kamba sempat menyarankan agar tak usah melanjutkan studi S2 di Al-Azhar. “Kita saja susah”, kata para seniornya saat itu ditirukan oleh Syekh kamba. Namun hal itu tak menyurutkan langkah beliau. Dua belas materi kuliah dan 15 buku diktat dilahap dalam kurun masa 9 bulan. Syekh Kamba menjadi orang Indonesia ke-3 yang lulus S2 studi Aqidah Filsafat dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Sebuah hal yang akhirnya menjadi pelecut bagi mahasiswa lain, terutama para seniornya.
Saat di Al-Azhar itulah, Syekh Kamba berkawan dengan banyak orang dari berbagai negara, hingga akhirnya bertemu dengan senior yang juga seorang guru besar dan Profesor Tasawuf. Sosok yang menurut Syekh Kamba sangat pintar dan sangat disayang orang-orang Al-Azhar. “Saya bimbingan dan belajar sama dia soal filsafat Islam”, kenang Syekh Kamba. “Pertama bertemu Syekh suasananya beda. Ada kedamaian dalam pikiran dan jiwa. Memberikan ketenangan jiwa. Dia tidak mendiskusikan apapun, tetapi terasa masuk ke dalam jiwa kita. Sangat tenang saat bicara”, tambah Syekh Kamba tentang sosok yang nantinya menjadi Mursyid beliau itu.
Dari pergaulan tersebut mulailah Syekh Kamba mendalami Tasawuf, hingga kemudian muncul rencana disertasi S3 untuk mempelajari pemikiran Imam Junaid tentang teori Makrifatnya.
“Kamu tak akan bisa paham teks tasawuf itu kecuali belajar langsung dari orangnya”, kata Mursyid beliau.
“Tapi kan sudah tidak ada (penulisnya, red.)”, kata Syekh Kamba.
“Ya itu kan ada representatifnya. Begini saja, besok setelah selesai sholat Dhuhur di tempat kita (di sebuah masjid, red.) kamu bawa bukunya Imam Junaid itu dan kita baca bersama-sama”.
Sejak itulah Syekh Kamba resmi berguru kepada Sang Mursyid.
Esoknya mereka bertemu, serta diiringi pertemuan-pertemuan berikutnya. Seingat Syekh Kamba, hanya 3 kali dan hanya beberapa halaman mereka mengaji bersama sebelum Sang Mursyid memutuskan kepada Syekh Kamba untuk menbaca sendiri buku tersebut karena dirasa sudah menguasai. Menurut Syekh Kamba, itulah ijazah beliau.
Syekh Kamba meyakini bahwa yang namanya Mursyid itu dia tidak memberikan bimbingan secara kognitif, tidak melalui pemikiran dan pengetahuan, serta tidak dengan menceramahi. Dia menransfer itu secara spiritual. Menransfer ilmu kedalam jiwa. Itu yang menurut Syekh Kamba kualitas yang namanya Mursyid. Kalau belum mampu sampai kesitu (menransfer ilmu itu secara spiritual) tak usah jadi Mursyid.
Syekh Kamba mengaku sangat dekat dengan mursyidnya sampai dijadikan anak angkat dan asisten mengajarnya. Saat menulis disertasi, Syekh Kamba juga merasakan seolah-olah didikte oleh sang mursyid saat menulis bab per bab. Dari situ Syekh Kamba merefleksikan cara Rasulullah dalam mendidik sahabatnya. Sebagai teman, memberi pendampingan, serta menjadi pengayom.
Menurut Syekh Kamba, seorang Syekh seharusnya membimbing secara spiritual dan materiil. Saat itu (dulu) justru Syekh yang membiayai muridnya, tidak seperti sekarang. “Tidak boleh mengejar jabatan. Tapi juga tidak boleh menolak kalau ditawari”, merupakan salah satu pesan Sang Mursyid yang wafat pada tahun 2001 silam kepada Syekh Kamba.
Syekh Muhammad Nursamad Kamba
Sikap kesahajaan Syekh Kamba juga tampak dari keengganan beliau untuk dipanggil Syekh. Sembari menikmati santap malam dengan menu sayur bening dan ikan asin, Syek Kamba berkata,“Walau saya diberi ijazah oleh beliau (Sang Mursyid, red.), saya tidak mau dipanggil Syekh. Karena saya tidak percaya diri. Untuk diri saya sendiri saja tidak bisa, apalagi memberikan supervisi atau pembimbingan secara spiritual kepada seluruh murid”, tambah beliau.
Syekh Kamba yang pernah menjabat sebagai atase pendidikan dan kebudayaan KBRI di Kairo, Mesir serta atase haji Konjen RI di Jeddah, Arab Saudi, saat ini masih aktif sebagai anggota Badan Wakaf Indonesia. Serta masih sibuk menjadi pengampu di Jurusan Tasawuf Psikoterapi di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung. Sebuah jurusan yang beliau dirikan dengan sangat kreatif karena menggabungkan 2 ilmu yang seolah tampak bertolak belakang.
“Orang hidup yang penting berkecukupan dan selamat. Tidak perlu berlebihan” itulah salah satu pesan yang reporter BMJ dapatkan sejenak sebelum berpamitan untuk kembali mengarungi sibuknya lalu lintas ibukota.
Terimakasih banyak Syekh Kamba untuk segala ilmu dan waktunya.
(DYR/FW/Red.)