Sonya Ramadlan

Kronik Kebencian #2 – Anak Muda Gentleman

Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(QS. Al Baqarah: 216)

Awalnya Mocopat Syafaat berjalan seperti biasanya: gayeng, gembira, penuh ilmu dan gerrrrrr. Tapi mendadak di tengah-tengah acara, suasana gembira ini menjadi tegang. Gegara seorang anak muda, entah dari mana, entah anak siapa, tetiba nyeletuk seenaknya. Waktu itu Saridin tidak mendengar jelas apa isi celetukannya. Tapi, sedetik kemudian, Cak Nun menghentikan guyonan gayeng dan segera meminta semua untuk duduk dengan baik dan menghadapkan hati dan pikiran hanya kepada Allah. Cak Nun sendiri, seperti biasa, langsung mengambil duduk siaga, memejamkan mata, lantas mengucapkan kalimat-kalimat dalam bahasa Arab.

Tentu saja, Saridin tidak paham apa yang sedang didaraskan oleh Cak Nun. Dia tahunya hanya mantra-mantra penakluk gadis-gadis yang diperoleh dari teman-teman sekostnya. Malangnya, segala mantra itu tidak pernah manjur. Heheh. Loh!  Kok jadi ngomongin mantra sih. Okay, kembali ke Mocopat.

Setelah sekian belas menit mendaraskan kalimat-kalimat, mungkin munajat atau belakangan Saridin menduga itu hizb nasr, Cak Nun berhenti dan berbicara kepada Jamaah yang hadir.

“Siapa tadi yang ngomong? Saya kasih waktu. Silakan naik ke panggung dan minta maaf kepada semua yang ada di sini. Atau ini akan saya teruskan………”

Jeda.

Kemudian, menghamburlah seorang anak muda ke atas panggung sambil menangis sesenggukan. Dia meringkuk di depan Cak Nun, sambil mengatakan entah apa. Sambil terus sesenggukan, anak muda entah anak siapa itu meminta maaf kepada Cak Nun dan semua Jamaah Maiyah yang hadir. Dia juga mengatakan menyesal. Entah apa lagi yang dia ucapkan. Toh itu juga nggak penting-penting amat diceritakan disini.

Lantas, Cak Nun menepuk pundaknya, mempersilakan anak muda itu duduk di samping Cak Nun. Cak Nun menenangkan anak muda itu beberapa saat. Kemudian, beliau mengatakan beberapa hal kepada Jamaah Maiyah. Semua yang hadir tidak ada yang bereaksi sepanjang momen tadi: sejak Cak Nun mengajak semua jamaah menghadapkan hati dan pikiran kepada Allah, hingga ketika Cak Nun bicara kepada jamaah setelah anak muda tadi agak tenang, semua jamaah seperti terpaku. Tidak ada yang cemuit sama sekali.

Anak muda itu, bagaimana pun dia harus diakui gentle. Dia  datang ke Mocopat Syafaat, menunjukkan wajahnya, -mungkin- mengutarakan kalimat yang tidak pantas yang menyakiti hati Maiyah. Lantas, kendati mungkin karena ketakutan-mengakui bahwa dia salah dan langsung meminta maaf.

Tapi, itu terjadi di zaman old gaes, ketika Youtube dan media sosial lainnya belum lahir. Di zaman now, anak-anak muda yang mengatakan hal-hal yang menyakiti hati Maiyah tidak pernah bertemu Cak Nun, tidak pernah hadir di Maiyahan apalagi memperlihatkan wajahnya. Bahkan, mungkin dia tidak punya wajah karena memang hanya manusia fiktif ciptaan para buzzer-buzzer politik untuk mempengaruhi cuaca pikiran Jamaah Maiyah.

Maka, ketika di akhir April hingga awal Mei Jamaah Maiyah bersama-sama bermunajat Tahlukah dan Hizb Nasr, mungkin itu hanya pengulangan masa lalu. Tahlukah dan Hizb Nasr untuk menyerahkan segala keputusan kepada Allah. Seperti statement Allah sendiri,” “Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(QS. Al Baqarah: 216)*

Prayogi R. Saputra   

Penulis buku Spiritual Journey  Emha Ainun Nadjib. Tinggal di Malang, aktif di Majelis Masyarakat Maiyah Relegi.