Lahir Batin yang Gagap Gempita
Oleh: Dalliyanayya Ratuviha
Bagaimana kalau ternyata kita ini sebelumnya bukan penduduk Bumi? Bertahun-tahun kita dipaksa betah di planet yang tak karuan macam-macamnya. Entitas berupa nyawa kita disinggahkan pada jasad dengan rupa dan raga untuk bertahan hidup selama durasi yang telah disepakati. Dilahirkan dalam kondisi punya perbekalan adaptif, namun dengan kesadaran yang telah di-factory reset; sehingga mengharuskan diri belajar memahami lingkungan setiap berganti situasi. Tak punya pilihan lain kita, selain menikmati jarak dan ruang membatas, serta waktu yang berjalan di luar kuasa.

Bagaimana kalau kampung halaman kita sebenarnya adalah sebuah tempat yang tubuh penduduknya bercahaya? Berhari-hari dihabiskan untuk menanam kebaikan dengan membahagiakan sesamanya. Sungkan menjadi beban bagi yang lain, sehingga tiap kata yang keluar dari mulutnya seringkali menenangkan dan tak membosankan, sebab ia seperti mata air yang sebelumnya melalui filtrasi berulang kali. Dan berbagai macam keindahan-keindahan interaksi makhluk hidup di sana, seperti dongeng suatu negeri yang toto tentrem kerto raharjo.
Seperti apa tepatnya gambaran tentang manusia pendatang di Bumi saat ini? Manusia pendatang bercahaya yang semakin langka jumlahnya. Turis tersasar? Atau Homo sapiens yang terbuang dalam belantara di mana segala sesuatu tidak bercakap sama dengan bahasa intelektualnya. Makhluk terdekat adalah saudara jauh, primata bertubuh mirip namun tak sampai bisa diajak menikmati indahnya cercah hikmah. Terbayang bukan? Betapa kesepian hari-hari yang dilewati, soliter seumur hidup, dihabiskan waktu dengan tanpa serupanya.
Ah. Tapi itu semua cuma pengandaian saja. Toh saat ini kita masih hidup di tengah-tengah spesies yang sama. Bercakap-cakap pun tak lagi perlu tatap muka, on-line selama layar gawai menyala dan punya pulsa. ***
Tak pernah ada keharusan bagi manusia untuk menjelas-jelaskan setiap perilakunya kepada manusia lain. Komunikasi yang terbangun didasarkan pada saling pengertian. Kemudian melalui pembahasaan tertentu, antar individu membangun interaksi sosialnya. Dari sanalah bahasa menjadi alat komunikasi turun temurun, menyimpan informasi dan pengetahuan dalam sistem kompleks verbal maupun visual. Oh! Tulisan ini sendiri tidak sedang mengupas detil tentang komunikasi atau bab-bab linguistik. Hanya esai bebas yang singgah dari kegelisahan: Betapa sering kita tak betul-betul memahami, namun bersegera mengambil kesimpulan.
Serba segera. Prinsip wajib era teknologi informasi saat ini. Bukan lagi barang murah, koneksitas telah punya tempat di tengah masyarakat Indonesia. Begitu dekat sehingga bisa jadi, meski ada dalam satu rumah, orang tua mengingatkan anaknya untuk mengunci pintu depan bisa langsung dilakukan melalui chat WhatsApp. Dan sang anak membalasnya dengan mengirim foto pintu yang telah terkunci. Tidak ada tatap muka, tidak ada suara dan dialektika responnya.
Teknologi informasi menawarkan fleksibilitas komunikasi di berbagai level.
Mulai dari obrolan hingga diskusi akademik, bahkan sampai propaganda revolusi sebuah Negara. Tahun ini sendiri Indonesia masih menjadi buah bibir di tengah “penjual” sarana informasi dan komunikasi. Sebagai Negara dengan populasi penduduk ke-empat terbesar di dunia, Indonesia punya perkembangan demand atas Informasi yang semakin menjanjikan. Negara yang 72 juta penduduknya mencatatkan diri terkoneksi di Facebook. Pula lebih dari 50 juta bergabung di jejaring sosial Twitter, sehingga Jakarta – Ibukota yang saat ini menjadi kota tersibuk meramaikan Tweet dibanding kota-kota lain di seluruh dunia. Data-data yang sudah bukan lagi rahasia, karena toh 92% penduduk kita telah literer, dan pengguna telepon seluler semakin optimal menggunakan gawai-nya sebagai indera ke-sekian. Menjadikannya sebagai organ artifisial menggantikan banyak fungsi komunikasi yang sebelumnya terbatas oleh sempitnya ruang dan lambatnya waktu.
Di luar gemuruh data statistik, percepatan arus komunikasi dan keberlimpahannya bisa memperluas gap antara realitas dan imaji. Entah sejak kapan kita terbiasa menatap dunia dari kejauhan, menata kesimpulan berdasarkan potongan-potongan frame kecil yang dikompilasi bersama datagrafik cacahan sana-sini. Hingga dari level komunikasi dengan teman-teman terdekat saja kita seringkali salah persepsi. Kemudian menjadi menyenangkan berada dalam posisi seolah paling paham sementara yang lain tidak sama sekali. Bahkan terbiasa menikmati kebodohan orang lain dengan menyebarkannya pada banyak orang. Bukan lagi salah paham tentang individualitas dan berkehidupan sosial, kita seringkali gagap gempita atas relasi sosial secara lahir dan batin.
Kompleksitas lajur dan alur komunikasi saat ini malah membuat antar-manusia semakin rentan sekaligus berjarak. Merenggang sela antara dunia empirik dan awang-awang. Banyak yang gagal cerna hanya karena salah simpulan namun langsung membenturkan diri pada situasi aktual yang jauh berbeda. Dalam kesadaran lahir kita berproses untuk mendidik diri menampilkan laku dan tutur yang baik. Sehingga penataan fungsi diri di tengah kasunyatan benar-benar berjalan. Sementara di takaran batin yang sangat volatile pada diri sendiri, kita punya simpulan-simpulan yang sangat pribadi dan tidak bisa dipaksakan subyektivitasnya pada individu yang lain.
Keberlimpahan informasi dan pesatnya komunikasi sebenarnya bisa sebagai amplifikasi pengetahuan kita atas batas-batas. Dunia yang terbuka membuat kita lebih mudah mendidik diri sendiri untuk punya komparasi terhadap banyak hal. Sehingga atas segala sikap dan tindakan, kita paham bahwa ada tatanan yang mungkin terpengaruh secara positif atau negatif. Bukan sebaliknya.
Seperti tidak sadar, bersama segenap fasilitas buatan itu ternyata kita beramai-ramai meninggalkan kesadaran lahir dan batin. Melupakan dinamika sebab-akibat dan pola-pola kehidupan yang sedang berjalan. Semakin mudah bagi kita untuk menekan ego yang lain demi terakomodir kepuasan diri. Padahal sesungguhnya kita bukan sekedar turis yang melancong ke bumi. Tidak datang tanpa membawa tugas dan fungsi sebagai manusia pada tempatnya masing-masing.(*)