MARHAMAH

Lebih Dari Endapan Cinta, Merekalah Magma

Sebagai bentuk koordinasi dan media komunikasi, mereka membuat satu ruang percakapan di aplikasi android yang diberi nama PRAMESWARI. Secara harfiah, kata ini berarti permaisuri. Namun bukan itu pula yang mereka ingin nyatakan. Karena kata ini adalah kependekan beberapa kata yang menggambarkan kasunyatan. Kepanjangan kata itu adalah: PeRkAuman MEreka yang Sering ditinggal WirA-wiRI…

Oleh : Rio NS

Pernahkah anda membayangkan bagaimana hidup keseharian seorang prajurit yang telah kenyang akan sweat, blood, and tears-nya romantika di medan laga? Tetapkah mereka bersikap pantang menyerah, libas halang rintang apa saja dan berprinsip “hidoep atau mati” sebagai pilihan satu-satunya?

Muka garang nyaris tanpa ekspresi, seragam yang generik, tak berhati, harga mati pada komando atau instruksi dan seruan-seruan geram dalam bingkai “menang atau pulang tinggal nama” adalah standard operational procedure yang selalu dipatuhi.

Permisalan yang saya pilih dan gambarkan di atas sangat hiperbolis nampaknya. Karena yang hendak saya ulas di sini adalah kawan-kawan yang ada di barisan penggiat simpul dan lingkaran. Setidaknya yang saya tahu ada di Bangbang Wetan. Atau secara geografis merujuk pada kawasan Surabaya dan sekitarnya.

Namun, sik bukan mereka pula yang jadi target tulisan ini. Dengan tetap dalam sikap angkat topi, biarlah mereka tersimpan di rahasia takdir dan jalannya sendiri.

Saya memokuskan perhatian dan bahasan pada sepasukan yang lebih tersembunyi. Satu armada yang bersifat support system, lebih tak terlihat, tak terceritakan atau jadi pembicaraan. Kecuali dalam ujaran-ujaran spontan dalam bincang keakraban.

Mereka adalah para pendamping yang setia menjaga kedamaian rumah dan terpeliharanya peradaban inti. Mereka yang selalu memastikan para penggiat tak kan pernah kehilangan rasa rindu untuk pulang ke rumah sendiri. Mereka yang secara budaya dan dengan pernyataan cinta disebut sebagai istri.

Sekumpulan ibu-ibu ini jauh dari pilhan untuk menjadi sosialita. Arisan hura-hura, uji rasa kuliner sana-sini, wisata swafoto, pengikut tren busana atau berburu film terbaru di sinema sama sekali bukan identitas mereka. Bahwa ada sesekali keinginan mereka untuk kadang datang di forum bulanan atau acara Sinau Bareng CNKK, adalah hal sangat wajar atas dasar kerinduan yang sama kepada Guru kita bersama.

Sebagai bentuk koordinasi dan media komunikasi, mereka membuat satu ruang percakapan di aplikasi android yang diberi nama PRAMESWARI. Secara harfiah, kata ini berarti permaisuri. Namun bukan itu pula yang mereka ingin nyatakan. Karena kata ini adalah kependekan beberapa kata yang menggambarkan kasunyatan. Kepanjangan kata itu adalah: PeRkAuman MEreka yang Sering ditinggal WirA-wiRI.

Keberagaman kondisi dan latar belakang adalah niscaya dari kehidupan. Di antara mereka, ada yang masih dan terus menunggu hadirnya momongan. Sebagian lain, tengah menyaksikan bertumbuhya buah hati di lingkungan bermain dan persekolahan. Ada pula yang hari-harinya berjibaku dalam kesibukan domestik sambil melakukan aktifitas pengasuhan bagi anak yang usianya baru beberapa bulan.

Mereka relakan bertambahnya waktu-waktu dalam status sendiri dan “ditinggalkan” untuk berpuluh kerja di dalam lingkup keyakinan “hanya untuk menanam”. Kalau pada keluarga kebanyakan kepala rumah tangga pergi untuk keperluan nafkah yang secara finansial “menghasilkan”, PRAMESWARI mengikhlaskan penambahan dan perpanjangan waktu ini yang tak jarang melebihi hitungan “jam nafkah” atau bahkan urutan “hari penghasilan”.

Tak adil rasanya bila tak sedikitpun saya bahas mereka, para penggiat, yang masih dalam status pencarian pasangan hidup, tambatan hati atau “jomblo”, gadis maupun bujang. Teruntuk mereka, prameswari-nya adalah kesetiaan akan tekad untuk terus menemukan serta, jangan lupa, ibu bapak yang restu dan ridhanya memagari mereka untuk senantiasa dalam lajur keselamatan dan keberkahan.

Siapapun mereka, Tuhan menetapkan skenarionya bahwa kedudukan mereka bukan sekedar co-pilot, navigator atau garwa wingking yang menyiratkan kedudukan “nomor dua”. Oleh percikan cintaNya, mereka dijadikan magma bagi terjaganya nyala juang dan gerak serba berkelanjutan. Secara masif, energi sumeleh dan do’a yang selalu mereka panjatkan adalah tenaga bagi para penggiat untuk terus memberi pelayanan kepada banyak orang. Selalu dan selamanya dalam bingkai “nandur, shodaqoh, pasa” bagi semesta alam.

 

Penulis adalah pegiat BangbangWetan yang menemukan keseimbangan diri pada musik rock dan sastra. Bisa disapa melalui akun Facebook: N Prio Sanyoto.