Literasi Atau Esensi (Mukaddimah BangbangWetan April 2015)
Dalam melakukan atau tidak melakukan hal apapun, kita selalu memiliki alasan. Alasan ini bisa bersifat sangat rasional, berdasarakan pengalaman, sekedar intuisi atau kita lakukan begitu saja tanpa dasar apapun kecuali keputusan kita untuk melakukannya. Biasanya ada dua argumen pokok yang mendasari; yaitu “literasi” atau “esensi”. Literasi secara sederhana bisa kita artikan sebagai panduan dari referensi yang sudah ada. Dia bisa berupa ajaran agama yang tertuang dalam kitab suci, teladan para Nabi, textbook maupun legenda dan mitos serta undang-undang dan tata aturan hukum dan yurisprudensi. Tentu saja terlibat di dalamnya adalah norma serta tata nilai yang ada di masyarakat.
Setiap keputusan yang kita ambil dengan pertimbangan Literasi pastilah memiliki kaidah yang harus kita patuhi, karena sebagai referensi, dia bersifat baku, mapan dan tekstual. Sekali kita jadikan dia bahan rujukan dalam bertindak, menjadi konskuensi logis untuk mematuhinya sampai tindakan tersebut paripurna.
Pada sisi yang berseberangan, Esensi merujuk pada kebutuhan mendasar dari tindakan itu. Dia menukik jauh ke dalam substansi permasalahan dan akibatnya adalah sangat kontekstual, terkait erat dengan dimensi tempat dan waktu serta temporer. Pendekatan esensial semacam ini melahirkan kesan subyektif dan benarnya sendiri. Banyak fenomena yang kita saksikan dalam kehidupan aktual hari-hari ini menunjukkan hal-hal esensial yang menjadi pijakan pemikiran. Yang masih harus didiskusikan adalah esensi benar- salah dan layak-tidak layaknya tindakan tersebut.
Pada sudut lain, almarhum Pak Ndut pernah mengatakan bahwa hidup sekedar mondar-mandirnya kenyataan antara “ketoke” dan “nyotone”. Apa yang kita lihat dan saksikan secara kasat mata tak jarang justru menyadarkan kita bahwa kenyataan sesungguhnya justru bertolak belakang dari penangkapan indera wadak.
“Misal sing ketoke Profesor, Doktor utowo Pejabat TOP tingkat Bupati, Wali Kota, Gubernur, nyatane gurung mesti luwih mulyo timbangane Jambret, Copet utowo Maling sepeda”.
Pak Ndut sering memberi contoh melintas batas literasi. Misal, ketika banyak orang sibuk mewajibkan diri menjawab salam, Pak Ndut justru mengharamkan diri uluk salam pada tempat umum. Pak Ndut menjaga benar esensi salam sebagai bentuk kesungguhan saling menyelamatkan. Bukan hanya bahasa lisan, manis dimulut, ‘apen-apen’.
Literasi atau Esensi akan selalu menjadi bayang-bayang setiap kali kita harus menentukan sebuah keputusan. “Onok Qur’an Teles karo Qur’an Garingan”, kata orang Jawa. Jebakan Literasi Saklek seringkali menjauhkan kita dari makna substansial yang sesungguhnya. Begitupun berlaku pada Literasi Paling Dasar di kehidupan, “Al-Qur’an”.
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ * فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ * لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (LauhMahfuudh), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” [QS. Al-Waaqi’ah : 77-79].
Ayat ini seringkali menjadi perdebatan panjang, di seputaran wudlu dan tidak wudlu sebelum membaca atau menyentuh Al-Qur’an.
Cak Nun pernah mengatakan;
“bah koen Atheis, bah koen Liberal, atau apapun, sing perlu kok sadari siji, bahwa sadarono luwih akeh sing koen gak ngerti timbang sing koen ngerti. Mulo ojok atos-atos nemen pikiranmu, sak bener-benermu durung karuan iku luwih bener kanggo wong liyo”.
Sedalam, sehebat dan sepintar apapun dalam memaknai Al-qur’an, itu tetaplah tafsir atau sudut pandang subyektif. Kebenaran sesungguhnya belum tentu berlaku demikian.
Tagline PadhangmBulan “Menata Hati Menjernihkan Pikiran”, bila tentu berhubungan dengan Al-Waaqi’ah 77-79. Kalau Ber-wudlu (bersuci), berhenti pada tindakan “bermain air”, Mandi junub, “bermain debu”, tentu belum jernih pikiran. Kalau sholat, berhenti pada gerak tubuh dalam tentuan 5 waktu tanpa impact sosial, tentu belum tertatalah hati.
Segitiga Cinta Maiyah tak pernah putus antara Hamba – Muhammad – Allah. Hamba dengan Muhammad sejajar dihubungkan satu garis pemahaman Literasi dasar. Hamba dengan Allah dan Muhammad dengan Allah juga dihubungkan dengan garis lain tanpa antara. Semuanya berhubungan dengan segitiga yang tidak saling meninggalkan.
Literasi garis spokesman untuk menggapai Esensi, sementara Esensi pencapaian kesungguhan dalam menggunakan literasi.
Esensi adalah pondasi untuk melangkah dengan keyakinan literasi.
Esensi adalah mata hati dari setiap berjuta-juta pilihan tindakan berdasar literasi.
Esensi adalah jiwa yang seharusnya mengisi jasad yang bernama literasi.
Isim BbW
(red. Nugroho Prio Sanyoto)
mantep…gae bahan sinau…
izin share
memberikan pencerahan yang mampu mencerakan bukan malah menjerumuskan pada kebodohan dan kegelapan merupakan kewajiban kita semua sebagai warga maiyah