Rahim

Makna Syukur di Hari Kurban

Oleh: Dea Rachmadany

“Allahu akbar… Allahu akbar… Allahu akbar… La ilaha illallahu Allahu akbar. Allahu akbar wa lillaahil hamd.” Sayup terdengar takbir bersautan pada Senin malam ‘tuk menyambut Idul Adha keesokan harinya. Saat bagi sapi dan kambing merelakan nyawa dan raganya untuk disembelih. Juga isak tangis dari para pemilik sapi dan kambing yang harus merelakan hewan kesayangan pergi selamanya.

Perayaan Idul Adha kali ini berbeda dengan tahun-tahun yang lalu. Biasanya pada malam takbir, kami melaksanakan takbir keliling sambil membawa obor. Kami berjalan dari gang ke gang. Namun, budaya tersebut tahun ini tak ada.

Pagi yang berembun dan air kamar mandi yang dingin, membuatku enggan ingin beranjak dari peraduan. Namun, musala di dekat rumah saya tetap mengadakan salat Idul Adha yang membuatku  tak mengabaikan rasa enggan untuk tetap berangkat ke musala. Tidak banyak orang yang mengikuti salat Idul Adha tahun ini. Mereka yang ikut pun tetap harus menjalankan protokol kesehatan. Meski ada yang bandel tak memakai masker dengan alasan susah bernapas.

Takbiratul ikhram sebanyak tujuh kali adalah ciri khas salat hari raya ini. Orang-orang dipertemukan dalam satu atap yang sama mendengarkan khutbah imam serta suara sapi dan kambing yang berisik di luar. Seusai salat, orang-orang berkumpul bersiap untuk menyembelih hewan kurban. Anak-anak kecil antusias melihat proses penyembelihan sapi dan kambing. Jagal pun telah bersiap melakukan tugasnya dengan pisau yang sangat tajam di tangan. Satu persatu hewan kurban telah disembelih.

Saya lebih memilih di rumah sambil menunggu daging dibagikan. Berinteraksi dengan salah satu teman saya lewat WhatsApp.

“Akhirnya makan daging juga”, ketiknya.

“Iya, dong. Makan daging setahun sekali wkwkwk…”, timpalku.

Saya jadi teringat kisah Nabi Ismail yang tidak jadi disembelih.

Teman saya yang suka bercanda mengajukan pertanyaan kepada saya, “Kowe weruh kenapa Nabi Ismail gak sido disembelih?

Saya berusaha menjawab dengan tepat, “Sak ngertiku, karena Allah menggantinya dengan domba sehingga Nabi Ismail gak jadi disembelih.”

Enam menit kemudian temanku membalas, “Jane asline kuwi. Enek malaikat seng bisiki Gusti Allah,daginge Ismail ra penak, rodo puwait. Awake kuru pisan. Jibril karo Izrail mangane akeh, Raqib & Atid gak kebagian, durung Israfil. Yo telas., Terus gusti Allah bilang ‘wes, ganti wedus wae’. Dan itu terjadi untuk menguji keimanan Nabi Ibrahim a.s.”

Saya tertawa membaca pesan temanku yang satu ini.

Ya Allah… kulo kale rencang kulo niki guyon lo”, batinku sambil tertawa.

Tiba-tiba saya mendapat notif dari teman saya yang rumahnya berjarak 100m dari rumah, “Mbak De, ayo ikut aku cari buah”.

Daripada saya libur di rumah saja, lebih baik ikut teman saya. Mungkin ada sesuatu yang menarik dalam perjalanan kami nanti.

Teman saya bersama motor putihnya menuju ke rumah. Sebelum berangkat, tak lupa kami pamit kepada ibu.

“Mau cari daging dulu”, celotehku dengan ekspresi bercanda yang didengar oleh ibu-ibu rumpi di depan rumahku.

Weh, tolek daging. Tolek ndek masjid-masjid yo, sing akeh”, saut dari salah satu ibu-ibu itu. Saya terkikik-kikik dan ibu-ibu itu pun tertawa lepas.

Saya dan teman saya melanjutkan perjalanan. Mencari buah yang jarang kutemui dan tak pernah ku makan. Pepaya california namanya. Buah-buah ini biasanya ada di Indomaret atau Alfamidi. Namun di swalayan dekat rumah saya kebetulan habis. Kami mencari di Indomaret yang cukup jauh dari rumah.

Langit biru dan awan putih yang cantik. Kami melaju menerjang siang yang tak begitu terik. Sampailah kami di Indomaret Basuki Rachmat. Buah-buah segar terpampang di sana, kami masuk dengan wajah lusuh. Tak sia-sia kami jauh-jauh ke sini. Buah itu kami dapatkan dengan harga murah dan dengan kondisi segar. Kami menuju ke kasir untuk membayar buah ditambah cemilan untuk mengganjal perut. Sesampai di tempat parkir, bapak jukir Indomaret itu menghampiri kami. Secara sadar teman saya memberikannya uang. Saya iseng bertanya kepada bapak jukir itu, “Pak, nggak cari daging toh, Pak?”.

Bapak tersebut menjawab dengan suara melengking, “Walah, nggak nggolek daging rapopo, Mbak. Sing penting cari uang. Ini lo, Mbak, saya masih dapat segini”.

“Oh iya, Pak, kan ini PPKM. Jadinya sepi ya?”.

“Iya, Mbak, sepi. Uang yang saya dapat hari ini buat makan besok. Lha wong ini dapatnya segini, mbuh cukup atau ndak buat makan”, saut bapaknya lalu menambahkan, “Ya, sebenarnya pemerintah seharusnya survei dulu. Yang gajian tiap bulan masih mending, lah ini yang kerja di jalanan bagaimana? Kalau saya dikasih uang sejuta terus disuruh di rumah selama sebulan gapapa, Mbak. Asalkan keluarga saya bisa makan”.

Jawaban yang sering saya katakan, “Sabar ya, Pak. Semoga PPKM ini segera usai. Semangat, Pak. Semoga banyak pengunjung yang datang”.

“Aamiin, Mbak, terima kasih”, ujar bapaknya.

Perjalanan kali ini bukan hanya mencari buah. Namun, ini sebuah pencapaian dari cerita saya yang pertama. Ingin berinteraksi dan mengerti perasaan mereka. Karena kami adalah anak rumahan, jadi agak kaget mendengar kisah itu secara langsung. Sebuah kisah yang biasanya hanya kami ketahui melalui media sosial.

Sepulang mencari buah, kami menuju ke Pantai Kenjeran untuk rehat sejenak. Saya membeli tujuh tusuk sate dengan harga Rp. 10.000 sedangkan teman saya membeli lontong kupang dan sate kerang satu porsi. Membantu para pedagang kaki lima dengan membeli dagangan mereka. Kami menikmatinya dengan rasa syukur.

Angin sepoi-sepoi membuat kami semakin nyaman di sana. Melihat para penjual itu bercengkerama di depan kami. Bercerita dan tertawa, melihat mereka yang masih bisa sumringah meski masa PPKM ini mencekik perekonomian mereka.

Lekas sembuh Ibu Pertiwiku.

Dea Rachmadany. Penulis lahir di Kota Pahlawan. Pengagum senja yang kini berusaha memperbaiki hubungan dengan Tuhan dan makhluk-Nya. Bisa ditemui di akun Instagram @dea.rachmadany.

Leave a Reply

Your email address will not be published.