Kolom Jamaah

MANDAT KERAMAT


IMG_2558

Oleh : Eryani W

Ketika seorang bayi manusia lahir ke dunia, bersamaan dengan itu pula, turunlah mandat Tuhan kepada orangtuanya. Mandat istimewa tersebut terekam dalam doa untuk orangtua yang diajarkan Rasulullah. Dalam doa tersebut terdapat kata rabbayani yang berakar dari Asma Allah Rabbun, melambangkan kepengasuhan (merawat dan mendidik anak kecil-KBBI). Hal ini berarti, sesungguhnya orangtualah yang mendapatkan mandat langsung dari Allah untuk merawat dan mendidik anak-anaknya. Mandat keramat tersebut tidak diberikan Allah pada kakek nenek, pengasuh, maupun institusi pendidikan yang telah lazim diserahi tanggungjawab untuk mengasuh serta mendidik anak-anak.

Dari kedua aktifitas kepengasuhan di atas, merawat anak merupakan tanggungjawab yang masih dipegang teguh oleh orangtua, meskipun di beberapa kota besar mulai terjadi pergeseran akibat kesibukan/kondisi orangtua; menjamurnya tempat penitipan anak, fenomena anak yang diasuh kakek-nenek, baby sitter, dan sebagainya. Namun, lain halnya dengan aktifitas mendidik. Lambat laun, pendidikan mengalami pergeseran yang amat jauh dari titik fitrahnya; dari tanggungjawab utama di pundak orangtua menjadi (hampir) dimonopoli oleh institusi pendidikan.

Beberapa anggapan umum yang merupakan tanda-tanda pergeseran tersebut adalah: 1) Anak dianggap belum/tidak terdidik jika belum bersekolah, 2) Pendidikan adalah sekolah, dan pendidikan hanya bisa terjadi/didapatkan dalam lingkungan sekolah/institusi resmi pendidikan, 3) Orangtua merasa tenang dan tidak perlu memikirkan bagaimana cara mendidik anak, karena mereka merasa sudah mendidik anak dengan cara menyekolahkan mereka (kecuali jika anak tersebut mengalami masalah, barulah orangtua bingung memikirkan yang namanya proses pendidikan oleh orangtua, karena sekolah sudah tidak mampu mengatasi), 4) Mendidik disamakan dengan mengajar. Padahal keduanya amat berbeda, meskipun saling menunjang.

Bila orangtua tidak mewaspadai pergeseran ini, maka mandat keramat dari Allah akan benar-benar terlepas dari genggaman tangannya, yang akan mengakibatkan semakin jauhnya orangtua dari fitrahnya sendiri dan amat mempengaruhi perkembangan fitrah sang anak. Semakin manusia menjauh dari garis fitrah, semakin menjauh pula ia dari Tuhannya. Terlepas apapun format pendidikan (& pengajaran) yang ditempuh anak, bagaimana kondisi kesibukan orangtua, serta variasi teknis pelaksaanaannya; jika ingin bersetia pada fitrah, mau tak mau, kesadaran akan mandat keramat harus ditancapkan benar-benar dalam sanubari: orangtua adalah pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Orangtua adalah peletak prinsip-prinsip dasar kehidupan dalam diri anak. Pihak lain bersifat menyokong, meneruskan, dan menyemikan tanaman-tanaman muda. Tanaman-tanaman itu berasal dari benih-benih fitrah yang ditanam Allah pada lahan jiwa anak yang dibajak, dipupuk, dan dijaga oleh orangtua.

Tetapi, tak dapat dipungkiri bahwa banyak orangtua meragukan kemampuannya dalam mendidik anak. Untuk menjawab keraguan tersebut, pertama, orangtua setidaknya perlu melakukan pencarian sendiri mengenai makna pendidikan. Mengerjakan soal, mendengarkan penjelasan, belajar calistung (baca-tulis-hitung), menghapal memang dimaklumi khalayak sebagai aktifitas pendidikan atau pengajaran. Tetapi, bila menengok sedikit saja mengenai pemikiran Ki Hajar Dewantara, akan tampaklah perbedaan di antara keduanya. Ketika orangtua mengajak anak menghapalkan bacaan dan gerakan sholat, bisa dikatakan ia sedang mengajari sholat. Tetapi, jika dalam pengajaran tersebut, orangtua berusaha menunjukkan betapa nikmatnya sholat dan betapa bahagianya orang yang sholat karena sedang berdekatan dengan Allah, sehingga lambat laun tumbuhlah kecintaan sang anak kepada aktifitas sholat, maka itulah pendidikan. Anak mendapatkan ketrampilan/ pengetahuan dari proses pengajaran; dan mendapatkan semangat, kecintaan, akhlak, dan pemaknaan dari proses pendidikan.

Kedua, yakinlah bahwa ketika Allah memberikan mandat/tugas kepada seseorang, maka Allah juga akan memberikan ‘alat-alatnya’. Setidaknya ada dua alat yang dimiliki orangtua dalam mendidik anak. Pertama, orangtua merupakan sosok terdekat dengan anak secara fisik, serta memiliki persambungan darah dan batiniah paling kental dibandingkan pihak lain. Kondisi kedekatan ini menyebabkan proses pembangunan jiwa anak yang dilakukan oleh orangtua memiliki kans keberhasilan lebih tinggi dibanding bila dilakukan oleh selain orangtua.

Modal selanjutnya yang diberikan Allah adalah kompatibilitas/kesesuaian potensi antara orangtua dan anak. Di sinilah letak salah satu hikmah dari takdir Allah, mengapa seorang anak dilahirkan kepada orangtua tertentu. Seorang anak yang memiliki potensi tinggi dalam berbahasa kemungkinan besar akan dilahirkan kepada orangtua yang hobi/terampil menulis, berbicara, atau menguasai berbagai bahasa. Seorang anak yang memiliki potensi tinggi menjadi ‘pengasuh manusia’ dikemudian hari, kemungkinan besar akan dilahirkan kepada orangtua yang memiliki jiwa sosial yang tinggi. Bekal ilmu tersebut bisa semakin dikembangkan pula dengan berendah hati belajar bersama dan dari sang anak. Tak perlu malu belajar sifat pemaaf dari anak yang biasanya memang cenderung tak mendendam.

Ketiga, orangtua perlu menyadari kekuatan keteladanan. Para ahli pendidikan telah mengakui bahwa keteladanan adalah metode pendidikan paling efektif. Setiap hal kecil yang dilakukan orangtua akan menjadi teladan besar di mata anak. Orangtua adalah living book/buku hidup yang mau tidak mau pasti dibaca dan dipelajari anak. Bagaimana orangtua bereaksi dalam menangani amarah, memperlakukan hewan dan tanaman, menghayati ibadahnya, termasuk jatuh bangun orangtua guna menjadi manusia yang lebih baik lagi adalah pelajaran fundamental bagi anak, sebagai bekal kehidupannya kelak. Orang yang pandai mengelola diri, akan mampu mempelajari ilmu akademis yang ia butuhkan. Namun, orang sepandai apapun dalam bidang akademis, akan hancur hidupnya bila tidak memiliki ketrampilan mengelola diri.

Menilik begitu besarnya potensi yang dianugerahkan Allah pada orangtua dalam mendidik anak, sudah seharusnya kita berderap gembira menyambut tugas mulia ini. Tak usah terlampau khawatir bila merasa lemah dalam beberapa hal. Bahkan, ayah/ibu yang buta huruf, buta penglihatan sekalipun bisa mendidik anak-anaknya, asalkan tidak buta hati. Sebab nantinya, kelemahan dan kekuatan milik orangtua-anak akan berpadu menjadi dinamika yang memperkaya proses pendidikan itu sendiri. Jadikan mandat keramat ini sebagai perjuangan untuk meraih cintaNya; sekaligus demi memantaskan diri untuk didoakan anak-anak dalam setiap sholatnya. “Ya Allah, ampunilah segala dosaku dan juga dosa ibu bapakku dan kasihanilah keduanya sebagaimana mereka memelihara dan mendidikku di masa kecil.”

 

Penulis bisa ditemui di : fb – Eryani W / email : jitkoolster@gmail.com

Sumber referensi:https://caknun.com/2015/mbok-dimaafkan-jangan-dendam-terus/

(mengenai makna Rabbun)