Kolom Jamaah

Manifestasi Canis Lupus

Sinau Wayang #7

Oleh: Rahadian Asparagus

Aku sungguh tak paham mengapa sebagian manusia membenci anak cucuku. Kalangan masyarakat tertentu bahkan menganggap keturunanku sampah dan penyakit yang harus dijauhi dan segera dibasmi.

Informasi lain pernah kudengar tentang seorang yang dianggap suci dengan bangga menceritakan pada pemujanya bahwa dia pernah sengaja membuat kaki dan mata kaumku cacat seumur hidup. Baginya menyakiti anak cucuku adalah perbuatan yang dimuliakan. Anehnya, mereka yang memuja sang tokoh menganggap perbuatan itu adalah sebuah jalan suci.

Satu kenyataan tragis di mana menyakiti sesama justru dianggap mulia.

Jauh sebelum tokoh yang mereka puja-puji sebagai orang suci itu lahir, diriku pernah menjadi penunjuk jalan bagi enam manusia mulia menuju nirwana.

Dan, inilah kisahku.

Pagi hari itu, langit berwarna abu-abu pekat. Awan berarak lebih gemuk dari biasanya. Sepertinya, sejumlah air akan segera mengucur deras dari sela-sela pori sang mega. Aku sengaja menunggu para manusia keturunan dewa yang kabarnya akan menemui kesejatian di puncak Mahameru.

Ketika akhirnya bersua, aku dipersilakan oleh yang tertua dari mereka untuk menemani perjalanan. Jadilah tubuhku mengekor orang-orang suci itu.

Menggonggong adalah caraku memastikan agar mereka tidak menyerah dalam mencapai tujuannya. Ketahuilah, aku sedang menemani pendakian raja tua bernama Puntadewa beserta keempat adiknya yang gagah di tengah baya umur mereka. Mereka adalah Bimasena, Arjuna, Nakula, dan Sadewa.

Kunci dari kelima satria Pandawa, Dewi Krisna, seakan tak sudi merelakan kelima suaminya pergi sendiri. Ia yang juga dipanggil Drupadi ini ikut serta menuju Mahameru, sebentuk gunung yang mengajarkan apa itu suka dan duka.

Di sepanjang lintasannya, Mahameru menunjukan kedigdayaannya. Jalan terjal dan menanjak, disertai bebatuan tajam nan menghujam seolah menjadi saringan kepantasan untuk mencapai puncak. Cuaca dalam bentuk angin dingin nyaris membuat seluruh lapisan tubuh membeku. Sesakti dan seperkasa apapun Pandawa, mereka tetaplah manusia biasa yang bisa lemah dan menderita karena suasana dan cuaca.

Dimulai dari Drupadi yang tergelincir kerikil lalu jatuh ke jurang. Lalu Nakula dan Sadewa yang terseret badai sehingga membuat tubuh mereka kaku dan membatu. Arjuna yang mencoba menolong adiknya malah tertancap batu di telapak kaki tembus hingga ke paha. Kondisi ini membuat sang lelananging jagad itu terbaring kaku. Bima yang perkasa saat melihat seluruh adik-adiknya tak berdaya melawan kahanan memutuskan untuk tidak meneruskan perjalanan dan meminta Puntadewa menuntaskan misi sampai ke puncak tertinggi. Semua layu dan luruh satu demi satu, kini hanya tinggal mbarep Pandawa dan aku.

Dengan perasaan duka, kami pun melanjutkan perjalanan menuju puncak kesejatian. Selama perjalanan aku dan raja berdarah putih itu hanya saling diam. Dalam langkah gontai bercampur lelah yang teramat sangat, sesekali ia melirikku dengan senyumnya yang khas. Lalu aku pun membalasnya dengan gonggongan kecil. Ketika itu seakan bahasa kata sudah luruh dan larut, kami hanya berbahasa tanda dan gerakan mata.

Setelah beberapa jam mendaki dan berbahasa tanda, kami pun sampai di gerbang itu. Gerbang dengan warna kuning keemasan itu menambah kesan megah tak terkira. Kami berdua disambut oleh dua sosok makhluk yang tubuhnya menyerupai harimau dengan kepala berbentuk burung merak. Puntadewa pun dipersilakan masuk untuk menuju alam kesejatian. Apa yang terjadi selanjutnya membuat diriku tersenyum lega, Puntadewa menolak masuk jika diriku tak turut serta bersamanya. Setelahnya diriku maju beberapa langkah di depannya, sang Raja Amarta lalu membuka gerbang. Kulihat Puntadewa melindungi kepalanya dengan tangan karena cahaya pelangi menyilaukan matanya. Setelah merasa bisa menyatu dengan cahaya gemerlap dari balik gerbang, Puntadewa tak bisa menahan kucuran air mata bahagianya karena telah mencapai apa yang selama ini dia impikan, menuju alam nirwana.

Disaat yang bersamaan hatinya bersedih karena keempat saudara dan istrinya tak bisa menikmati keindahan yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata ini. Aku yang mengetahui isi hati raja sepuh itu lalu berkata padanya, “Masuklah anakku, Ngger! Keempat saudara beserta istrimu, Drupadi, sudah menunggumu di dalam.” Belum selesai ketakjuban dan keheranan yang dialami Puntadewa, Drupadi muncul dengan senyum bahagia seakan mengajak Raja Amarta itu untuk masuk dan menikmati kehidupan abadi di dalamnya. Menyusul kemudian Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa berdiri di belakang Panchali atau Drupadi dengan wajah yang tampak bersih dan senyum kelegaan.

“Oh, jagad bumi batara… Tak kusangka ternyata dirimulah yang menolongku menuju kesejatian. Tak terkira bahagianya diriku saat ini. Sebelum aku masuk ke sana, sudilah memperkenalkan siapa dirimu dan dari mana asalmu, wahai Anjing Hitam?” Kata Puntadewa dengan wajah terkesima. Aku pun berubah ke wujud asliku yang tak pernah terbayangkan sebersitpun oleh manusia. Lalu aku pun berkata. “Aku adalah ayahmu, Dewa Dharma, dan ini adalah rumahku.”

—tancep kayon—

Penulis adalah lulusan teknik informatika yang lebih asyik dengan pencarian makna di jagad pakeliran. Hari-harinya banyak dihabiskan bersama keluarga dan kawan-kawan di Majelis Maiyah Balitar. Bisa dihubungi melalui akun FB: aspaholic rahadian dan IG @aspaholic

One thought on “Manifestasi Canis Lupus

Leave a Reply

Your email address will not be published.