Menaklukkan Dunia
Oleh: Zaky Ardhiana Devie
Selama ini kita kira memiliki apa saja. Entah itu perihal kebendaan materiel maupun non materiel. Kita kira uang, tabungan di bank, perhiasan, perabot rumah tangga, jabatan, pekerjaan, suami, istri, anak, paras cantik, sanjungan, gunung, laut, sungai, cericit burung di pagi hari, kebersamaan keluarga, kecerdasan, hingga organ tubuh bahkan ruh itu adalah milik kita. Kita kira, selama ini.
***
Ijah mbesengut.
Wajahnya tak rela atas keadaan.
“Kenapa, Jah? Wajahmu muram gitu?” Tanya Iyyah
Ijah tak menjawab. Ia mengedarkan pandangan ke sawah yang terbentang di depan. Sendu, marah, sedih, dan duka jadi satu.
Layaknya muda mudi lainnya. Ijah sedang kehilangan seorang pujaan yang sudah berbulan-bulan ia impikan akan mendampingi kelak di sisa hidupnya. Nasib tak berpihak. Ijah dan sang pria idaman tak bisa disatukan. Ia kehilangan. Pedih.
“Kamu merasa memiliki sih, Jah. Jadi susah hatimu saat kehilangan. Coba kau …” Belum selesai Iyyah melanjutkan quotes-nya Ijah sudah mendelik kepada Iyyah sambil menahan air mata dengan wajah memerah dan siap menumpahkan seombak rasa dan kalimat kepada Iyyah.
“Glek!” Aku dan Iyyah menelan ludah ngeri. Orang kehilangan bisa sangat seekspresif itu. Merah padam tak karuan.
Kami tersenyum manis sambil mengucapkan maaf beribu-ribu kali kepada Ijah yang sedang tersakiti.
***
Tidak semua orang mau sekadar untuk memahami bahwa kita sebenarnya tak memiliki apapun. Orang pada umumnya memiliki rasa posesif terhadap benda-benda atau rasa puas dalam diri maupun di sekitar diri. Sehingga akan kesakitan tak terima saat hal-hal yang ia pikir miliki, kemudian Allah pinjam sementara atau bahkan diminta untuk selama-lamanya.
Walau adakalanya Allah mengembalikan. Semisal saat sedang kangen anak, bisa jadi Allah pinjamkan anak kita ke negeri seberang nun jauh untuk menuntut ilmu, lantas Allah kembalikan lagi kepada kita selang tiga tahun kemudian. Tumpahlah rindu atau senyuman kekasih yang manis pahitnya tak terduga. Saat manis Allah pinjamkan pada kita, saat pahit berarti senyuman itu sedang Allah ambil. Bahkan Allah hanya separuh hari pinjamkan mentari kepada kita, dan Ia ganti dengan meminjami bintang-bintang manis di pekat malam, dan akan Ia ambil lagi keesokan paginya.
Kita merasa memiliki semua itu. Sehingga kelimpungan menahan rasa tak rela kehilangan. Coba dari awal saat dipinjami apapun oleh Allah, kita sudah wanti-wanti pada diri untuk sekadar mengatakan, “Wahai diri jangan terlalu senang, ini pinjaman semata, sewaktu-waktu akan diambil pemiliknya atau mungkin dipindahtangankan. Jadi kalem saja, jangan terlalu geer untuk merasa memiliki.”
Bersyukur dan tak merusak, mungkin aksi terbaik saat kita memiliki sesuatu. Syukur-syukur saat Allah minta kembali hal-hal yang dipinjamkan kepada kita, dikembalikan dalam kondisi bagus dan prima. Pasti Allah tidak kecewa karena yang Ia pinjamkan kembali dalam kondisi baik, tak rusak atau berkurang. Terlalu berkeinginan untuk memiliki dunia, biasanya dunia justru akan lari terbirit-birit menjauhi kita. Semakin dikejar semakin kencang berlari.
Seperti halnya kisah masa kecil Biksu Ajahn Brahm yang belajar mengendarai sepeda. Ajahn Brahm kecil memegang setang sepeda dengan cengkeraman kuat, hal ini dilakukan karena ketakutan kendali sepeda akan terlepas jika ia memegang setang dengan lemah dan jatuh. Namun yang terjadi justru Ajahn Brahm terjungkal. Setiap cengkeramannya semakin kuat maka Ajahn Brahm akan terjungkal kembali. Semakin kuat ingin menggenggam, semakin memiliki kemungkinan jatuh terjungkal. Begitu terus, berkali-kali.
Akhirnya lambat laun ia paham dan menemukan cara bahwa pegangan kuat justru mencelakakannya. Sangat berseberangan dengan anggapannya. Lantas ia mulai santai dan melemaskan cengkeraman tangannya terhadap setang sepeda, tangannya santai dan rileks. Tidak takut jatuh dan tidak takut kehilangan keseimbangan sepeda. Maka cara memegang setang tidak terlalu kuat. Biasa. Maka perjalanannya belajar mengendarai sepeda berjalan lancar. Keseimbangannya pun lama-lama bagus. Tak menyebabkan Ajahn Brahm jatuh maupun terjungkal. Sempurna.
Kesuksesan ini terjadi karena Sang Biksu belajar sepeda dengan mulai melepas rasa posesif terhadap setang sepeda. Cara ia menggenggam tidak lagi dengan mencengkeram kuat, namun lebih kepada memegang dengan lentur, yaitu antara memegang dan melepas, dan tidak takut setang terlepas. Walau cara memegangnya tidak kuat, justru setang dan seluruh komponen sepeda lain bisa dikendalikan dengan mudah. Sepeda melaju mulus ditunggangi Ajahn Brahm.
Cerita Biksu Ajahn Brahm di atas mungkin memiliki kesamaan sikap dengan cerita saya ini. Jika Ajahn Brahm bercerita tentang pengendalian diri dalam pengalaman bersepeda, maka saya akan bercerita pengendalian diri saya dalam mengenal seekor anjing. Anjing ini bukan anjing liar, namun milik sebuah gereja di Kota Ponorogo. Begini ceritanya.
***
Tiba-tiba saya mendapat ide cerita kepada Iyyah dan Ijah. Sekadar meredam hawa dukanya Ijah. Syukur menghibur. Semoga.
“Jah… Yah… aku kasih cerita ya…” Ijah masih murung, padam cahaya matanya. Iyyah menggangguk setuju.
Suatu pagi saya harus pergi ke laboratorium untuk cek darah. Sekadar untuk melihat adakah penyakit tertentu yang bersarang di darah saya. Kebetulan masih dalam antrean yang agak lama, maka suami mengajak saya keluar dari lab dan pergi ke sebuah warung untuk sekadar membeli teh panas dan sarapan. Untuk pergi ke warung tersebut kami harus melewati sebuah gereja yang kebetulan memiliki seekor anjing besar berwarna hitam. Sepanjang saya berjalan melewati gereja tersebut, sang anjing terus menyalak. Meneriaki setiap orang asing yang berlalu lalang di depan gereja.
Bagi saya pribadi, anjing bukanlah salah satu binatang seram. Saya memiliki pengalaman memelihara anjing saat kuliah. Sehingga berjumpa anjing siapapun dan di manapun adalah bentuk perjumpaan kerinduan yang menyenangkan bagi saya pribadi. Suami sangat tahu betapa saya sangat suka anjing, sehingga di manapun saat berjumpa anjing, akan ditunjukkan pada saya. Sekadar agar saya bisa menyapa si anjing tersebut, walaupun anjing itu sedang dalam kondisi menyalak hebat.
Sehebat dan sekeras apapun suara anjing itu menyalak, saya tetap akan tersenyum gemas padanya. Karena yang tampak di mata saya adalah moncong lucunya, bulunya yang lembut untuk dielus, wajahnya yang konyol, matanya yang ekspresif, dan keseluruhan badannya yang bagaimanapun bentuknya akan tampak menggemaskan. Mungkin saking rindunya akan rasa memelihara anjing kembali, maka apapun ekspresi anjing yang saya temui, saya akan gembira. Sehingga setiap bertemu akan saya ajak guyon dan sapa, “Assalamualaikum. Iihh… kamu lucuuuu. Jangan galak-galak dong. Sini salim yang baik.” Saya tahu anjing itu hanya waspada karena belum mengenal saya. Jadi wajarlah jika menyalak saat berjumpa dengan orang asing yang baru ia jumpai. Sehingga saya tak lantas pergi ataupun marah terlebih takut.
Karena sebuah kerinduan, maka ekspresi saya terhadap anjing di depan gereja itu adalah ekspresi kangen. Saya tidak menjauh apalagi lari sekalipun anjing tersebut menyalak. Namun karena kami baru berjumpa sekali itu, saya tak lantas langsung mendekat dan mengelus kepala atau lehernya. Bisa-bisa kena gigit tangan saya. Hal pertama-tama yang saya lakukan pada pagi itu persis seperti yang dilakukan oleh Biksu Ajahn Brahm. Saya tak lekas-lekas menunjukkan ekspresi ataupun keinginan memiliki suasana akrab kepada anjing itu. Saya hanya diam. Membiarkan dia menyelesaikan seluruh gonggonganya kepada saya. Saya berupaya mengolah batin saya agar tenang. Karena rasa takut dan perasaan aneh-aneh bisa ia cium dan hal itu akan menambah kecurigaannya kepada saya.
Dalam hati saya, hanya ada rasa kangen dan perasaan ingin berteman secara baik-baik. Setelah dirasa selesai “interogasi” yang dia lontarkan kepada saya, suaranya mulai mereda. Bahkan dia mulai diam dan pelan-pelan mendekati saya. Sayapun duduk. Ndodok. Namun saya tak kunjung mengeluarkan gelagat ingin mendekati atau keinginan mengelus terlebih ingin memiliki rasa pertemanan yang akrab dengannya. Bahkan melihat matanya saja tidak. Rasa posesif akan rindu pada anjing, saya tahan-tahan dengan hanya duduk diam tepat di depannya. Saya telan bulat-bulat rindu ini.
Benar saja. Si anjing itu perlahan mendekati saya. Selangkah demi selangkah. Lantas mulai berani mengendus kaki hingga tangan saya berkali-kali. Mundur lantas mengendus, begitu terus berkali-kali. Hingga dia yakin dan berada dalam sikap diam, tenang tanpa meyalak, tanpa menggonggong, dan tanpa menunjukkan gelagat curiga kepada saya. Mungkin dia memastikan kejelasan maksud saya ndodok di depannya. Saya tetap bertahan diam dan masih meyimpan rasa padanya dalam diam. Akhirnya, setelah screening pada diri saya ia selesaikan dan yakin saya tak berbahaya baginya, maka ia menyerahkan diri. Ia sodorkan kepalanya kepada saya untuk dielus. Baru saya berani memandang matanya dan mengelus kepala dan lehernya. Yeayyyyy!!!!!! Berhasil!
Sepeda Sang Biksu Ajahn Brahm dan anjing di sini saya ibaratkan adalah dunia beserta kroni-kroninya yang menggiurkan, menyenangkan, bahkan menjadi bahan buruan utama seluruh anak manusia. Betapa saat dunia beserta isinya yang gemerlap kita kejar dengan cengkeraman kuat maka justru kita terjatuh. Dunia akan lepas dan kita remuk redam.
Saat dunia kita kejar dengan tergesa-gesa tanpa memiliki rasa ngempet padanya, maka justru dunia akan menggigit kita dan lantas lari, dunia tak didapat, terkoyak kita dengan luka menganga. Namun justru saat kita jual mahal dan stay cool kepada dunia, maka ia akan mudah kita kendalikan sehingga kita tak terjungkal dan justru dunia akan menyodorkan kepalanya kepada kita untuk kita miliki dan kuasai.
“Jadi kamu pasti bisa berhasil menjinakkan anjing yang baru kamu kenal, Ky?” Ijah bertanya nggumun, dan binar matanya mulai agak menyala.
“Ya nggak selalu, pernah sukses namun juga sering gagal. Kalo kamu gak pernah memihara anjing ya jangan coba-coba mendekati anjing seperti yang kulakukan, aku sedang mujur saja, Jah. Mungkin ceritaku dengan anjing tersebut adalah salah satu cara Allah memberiku ilmu, dan pas aku dapat hidayah barangkali untuk memahami makna dibalik romansaku dengan anjing hitam kala itu!”
“Kamu anti dunia?” Tanya Ijah spontan.
“Tidak, dia tidak anti dunia, Jah. Dia berusaha menaklukan dunia agar tak dikuasai jiwa raga batinnya akan dunia!” Sambil menunjukku, Iyyah menjawab pertanyaan Ijah.
“Aku hanya tak ingin patah hati akan dunia, Jah. Aku bukan sufi yang sudah zuhud atas dunia. Aku masih lemah, sehingga aku matikan perasaan inginku akan dunia, sehingga saat dunia yang sementara ini tiba-tiba pergi atau Allah ambil, aku tak patah hati amat. Aku sudah siap, begitulah.”
“Lah, caranya?” Ijah bertanya.
“Caranya, ya seperti Biksu Ajahn Abrahm, seperti caraku menaklukkan anjing itu. Aku tahan-tahan, aku ngempet, aku puasakan diriku atas dunia, sehingga saat dunia datang menyerahkan diri, aku bisa mengendalikanya, bukan justru dunia yang menguasai atau mengendalikanku.” Ijah mengangguk-ngangguk sambil tersenyum.
“Bahkan, konon kata Mbah Nun, kata para kiai-kiai sepuh dan orang-orang bijak, jika kau kejar akhiratmu, maka dunia pasti ikut serta mendekat, bahkan tanpa dikejar.” Iyyah menambahkan. Ijah tersenyum, agak kecut.
“Apakah dunia itu nikmat-nikmat indrawi dan fisik yang tampak ini saja, Yah?” Ijah penasaran.
“Bisa juga, nikmat indrawi dan fisik yang tidak memberi sinyal akhirat bisa jadi adalah dunia. Namun entahlah terkadang masih ada hal-hal aroma dunia yang tak nampak indrawi namun sebenarnya itu dunia. Namun aku tak yakin, tapi entahlah kebenarannya, Jah.” Ungkap Iyyah.
“Apa itu, Yah?” Saya dan Ijah kompak bertanya.
“Yaaaa… semacam keinginan terhadap dirimu sendiri!” Jawab Iyyah singkat. Mulut Ijah menganga, tanda ia gagal paham.
Iyyah melanjutkan, “Kan adakalanya kita ingin diri ini lebih dari yang lain, ingin diri ini disanjung, dihormati, dipuja-puja, dielu-elukan. Bagiku itu aroma dunia yang wanginya dan rasanya diinginkan, namun wujudnya tak tertangkap indrawi. Itu juga duniawi bagiku!”
“Oooh..!” Aku dan Ijah serempak menjawab maklum.
“Semacam dunia yang terlahir dalam perasaan-perasaan keakuaan, keegoan, gitu, Yah!” Aku mencoba menegaskan. Iyyah membenarkan dengan anggukan.
***
Jallaludin Rumi berkata, “When i think i am, i find my self worthless, when i think i am not, i find my value.” Semakin kita menghilangkan pemikiran-pemikiran dunia atas kita dalam diri, semakin bernilailah diri kita. Bahkan Mbah Nun sering berkata, “Toh bukan aku ini yang aku inginkan”. Jelas sudah bahwa dunia dalam diri pribadipun telah beliau-beliau letakkan demi dunia sejati yaitu kehakikian pertemuan. Yaitu, ketenangan batin bertemu Allah dalam setiap sisi kehidupan kita.
Kita kira, kita memiliki semua-semua yang terhampar ini, salah. Semua ini absolut hanya pinjaman. Kita hanya diberi hak memakai sementara. Pertanyaanya adalah mampukah kita merawat dengan baik? Mensyukurinya senantiasa saat memiliki dan ikhlas ridho saat diminta kembali oleh pemiliknya. Bahkan mampu membawa hal-hal yang Allah pinjamkan ini kepada kemanfaatan dan kemuliaan sebagai manusia. Semoga. Amin.
*catatan: bagi sedulur yang belum pernah memelihara anjing sama sekali, jangan coba-coba teknik saya ya. Takutnya salah teknik malah digigit. hehe.
Zaky A.D. Guru BK di sebuah SMP di Ponorogo. Menggiat, menulis dan berkomik pada Maiyah sejak 2003 saat di Jogja di Buletin Syafaat Jogja. Membangun Maiyah dlm Waro’ Kaprawiran dengan suami bersama Gamelan KIU, Mahibba (maiyah ahibba) dan Malik (maiyah cilik) di Ponorogo. Bisa dihubungi di instagram @kiaiiketudheng