MENANTI ‘AJAL’
( PROLOG BANGBANGWETAN DESEMBER 2016 )
Di dalam leksikon Arab, ajal berarti kematian, waktu, momentum. Namun perkembangan gramatikal dan sosiolinguistiknya menjadikan ajal hanya berhubungan dengan satu peristiwa terpisahnya nyawa dengan badan. Peristiwa berakhirnya umur satu makhluk hidup dalam fase perjalanannya di dunia.
Arti kata ajal selain kematian, nyaris tenggelam, hampir tidak dimengerti masyarakat secara luas. Mungkin hanya pesantren dan lembaga-lembaga pengajaran bahasa Arab saja yang masih memberi ruang. Guru atau ustadz
dan khutbah Jumat “generik” juga sangat jarang membedah tafsir lain dari kata ajal, selain kematian.
Pada saat yang sama, Maiyah benar-benar serius dalam memperjuangkan dekonstruksi dan rekonstruksi makna kata. Maiyah mengajarkan pola berpikir zig-zag dan berkelanjutan. Maiyah mengajarkan ribuan potensi kebenaran dari satu hal kecil yang di dalam pemahaman dan pengetahuan umum dinyatakan aneh, bias bahkan fals dan salah kaprah.
Dalam skala besar kehidupan sosial, kemasyarakatan, rekayasa manusia menggeser “momentum Ilahiyah” dan menggantinya dengan keinginan egosentris.
Dengan segala keserakahan dan ketamakan manusia melanjutkan tradisi memaksakan “momentumnya sendiri” yang sejalan dengan kepentingan dan kesenangannya.
Ribuan peristiwa dalam sejarah pada galibnya adalah catatan tentang momentum-momentum yang memiliki energi penggerak bagi perubahan satu sistem kelola di berbagai skala. Unsur yang membentuknya adalah kaitan antara akar persoalan, sesorang atau sekelompk orang yang memiliki pemahaman dan mimpi yang berbeda, proses panjang perjuangan, sejumlah trigger dan letupan kejadian yang ketepatannya menjadikan peristiwa itu bernilai sejarah.
Menoleh sebentar ke beberapa catatan peristiwa di tanah air dalam kurun waktu satu, dua, delapan belas, enampuluh satu atau tujuhpuluh satu tahun ke belakang, akan kita temukan racikan yang sama. Di lembar-lembar peristiwa itu unsurnya persisten belaka. Satu yang harus kita ikutkan di dalam memahaminya adalah peran serta Allah. Karena sesiap apapun aktor sejarah, semendidih bagaimanapun kondisi yang melingkupinya, tanpa campur tangan ketetapan Sang khalik, segalanya tinggal halusinasi saja.
Demikian halnya dengan kenyataan yang sedang kita hadapi bersama. Serbuan massif kekuatan global berbalut kapitalisme dan modernitas yang berintikan eksploitasi total atas sumberdaya alam dan manusia tidak bisa kita lawan dengan seberapapun kekuatan yang kita punya. Secanggih moda strategi manapun coba kita aplikasikan, nampaknya perjuangan akan berakhir pada kondisi zero sum game yang mahal harganya dan nyaris sia-sia.
Yang bisa terus menerus kita lakukan adalah memastikan predikat “kekasih” bagi dan di mata Allah sehingga setiap sakit kita adalah deritaNya pula. Yang bisa kita upayakan adalah datangnya ajal dengan mana tak satu apapun dan siapapun sanggup mengelak darinya.
Di tengah hujan yang jadi keseharian serta edisi Bangbang Wetan pamungkas di warsa 2016 ini, mari kita perbincangkan kembali ajal seperti apa mesti kita nanti. Ajal dalam bentuk apa yang mungkin bisa menjadi gerbang bagi tata kelola kehidupan yang lebih baik, di bumi juga di hati.