Mendengar Suara Hati untuk Melihat yang Primer
REPORTASE BANGBANGWETAN JANUARI 2018 – MACAK GAGAH
Mengawali revolusi masehi 2018, Majelis Masyarakat Maiyah BangbangWetan (BbW) diselenggarakan pada, 7 Januari 2018, di Pendopo Cak Durasim, kompleks Taman Budaya, Surabaya. Dengan mengambil tema “Macak Gagah”, sesi awal dimulai dengan diskusi tentang Piagam Maiyah. Para jamaah diberi pengantar ide dan gagasan untuk kemudian didiskusikan bersama kelompok kecil yang berjumlah sekitar sepuluh orang.
Melalui simpul-simpul Maiyah termasuk BbW, usulan-usulan Piagam Maiyah dari Jamaah Maiyah (JM) akan disampaikan kepada Marja’ Maiyah. Harapannya, piagam ini nantinya bisa sebagai pegangan dalam berinteraksi dan bersinergi antar JM dan menjadi alat antisipasi atas segala potensi perselisihan yang berasal dari perbedaan arah sudut pandang atas berbagai hal. Harapan berikutnya, setiap JM dapat menyandang kesadaran maqam dan kedudukannnya, serta dapat secara bersama-sama menjaga maqam Maiyah di hadapan Indonesia.
Setelah sesi tersebut, Mas M. Heru, JM Benjeng, Gresik, berbagi refleksi dan pengalaman untuk jamaah. Mas Heru sudah lama mendampingi komunitas vespa dan musik reggae. Berawal dari kesenangannya terhadap musik, berlanjut sebuah proses untuk menikmati suka duka di sebuah perkumpulan yang berisi macam-macam orang dengan beda karakter dan rasa, Beliau menyampaikan bahwa kita akan menemukan banyak ilmu dan tentunya tambah dulur ketika berbaur dalam komunitas tersebut. Di komunitas anak jalanan, Mas Heru menyampaikan bahwa meskipun kita macak biasa belum tentu bisa diterima oleh mereka, apalagi yang macak ‘wah’. Kebanyakan dari mereka tidak ada yang dikangeni; Kalau mau pulang, tidak ada yang dituju; Mau mencari kerja, badannnya terlanjur ditato. Akhirnya Mas Heru memilih untuk mendampingi mereka dengan anggaran seadanya dan jumlah anggota seadanya, salah satunya dengan membentuk grup musik dan pelatihan wirausaha. Dari situ muncul pertanyaan, “Apa yang sudah dilakukan Jamaah Maiyah dalam kehidupan bermasyarakat?”. Menurut Beliau, yang perlu dilakukan yaitu dengan membantu apa yang bisa dilakukan. Membantu tidak harus dengan uang, bisa waktu, tenaga, atau pikiran.
Sebagai pengantar untuk membuka tema, Pak Suko menyampaikan bahwa dalam ilmu komunikasi, macak gagah itu diperlukan. Pada prinsipnya macak itu penting. Kalau setiap orang tidak macak pasti orang tidak diterima dalam konteks etis. Yang tidak boleh adalah macak tidak jujur atau tidak orisinal.
Berbicara tentang tema ‘Macak Gagah’ ini, kita dapat menghubungkan dengan teori simulakra dari peneliti Prancis, Jean Baudrilard. Pada abad sekarang susah membedakan mana yang asli dan mana yang palsu, atau disebut pencitraan. Macak gagah tidak salah, yang salah itu jika kita terseret kepada kepalsuan. Seperti berita hoax yang sebetulnya palsu namun diolah sedemikian rupa dengan kecanggihan teknologi sehingga seolah-olah asli. Maka yang terpenting adalah kejujuran. Ketidakjujuran terjadi karena ambisi macak gagah yang tujuannya bagian dari kapitalisme adalah untuk mencari keuntungan. Macak gagah itu adalah bagian dari tuntutan zaman yang merupakan pilihan untuk kita melakukan atau tidak. Macak gagah boleh dilakukan asal dengan proporsi dan konteks yang jelas dengan tidak merugikan orang lain.
Kyai Muzammil memberikan respons “Macak Gagah”, macak itu bukan berarti tidak boleh, sepanjang bagaimana merawat apa yang diberikan Allah. Macak bisa juga pemalsuan yang mengakibatkan orang akan salah dalam melihat diri kita. Implikasinya orang lain dirugikan, diri kita dirugikan. Apakah kita akan ikut arus kepalsuan? Atau ikut kesejatian? Karena sesungguhnya yang gagah itu kesejatian.
Dalam praktik perpolitikan, bukan hanya macak gagah yang digunakan, ‘macak korban’ juga digunakan agar menarik empati. Strategi perang itu tipu daya, kemampuan tentara itu tidak terletak pada kemampuan sebenarnya, tetapi kemampuan menipu lawannya. Saat ini yang berlangsung dalam perdagangan atau ilmu marketing adalah kemampuan menggunakan tipu daya.
Dalam peristiwa Perang Badar, Kanjeng Nabi sempat macak gagah demi membangkitkan semangat pasukan melawan pasukan Quraisy. Kanjeng Nabi tidak memanipulasi dalam berperang, yang dilakukan Kanjeng Nabi adalah menaikkan moral.
Menurut Kyai Muzammil, di Maiyah ini tidak ada yang macak, Mbah Nun juga tidak pernah macak, naik pesawat kelas ekonomi, makan kelas ekonomi, duduk bersama menemani masyarakat, Beliau selalu apa adanya. Kalau kita kembali kepada tasawwuf, dalam kitab Al-Hikam disebutkan, “Pendamlah dirimu itu dalam bumi yang gersang, tidak usah diunggul-unggulkan.” Kalau ingin tumbuh menjulang tinggi, maka tanamkan dirimu di dalam tanah yang dalam, karena sesuatu yang tumbuh tidak ditanam maka buahnya tidak sempurna. Mudah-mudahan teman-teman Maiyah bisa seperti itu. Tanamlah dirimu dalam-dalam karena nanti akan tumbuh secara sempurna.
Malam tersebut Mas Sabrang juga hadir melingkar bersama untuk mendiskusikan tentang ‘Macak Gagah’. Menurut Mas Sabrang, macak itu tidak selalu negatif. Contohnya, anda kondangan untuk menghadiri pernikahan. “Ke kondangan macak untuk menghormati dirimu ganteng atau macak untuk menghormati orang lain?”. “Parameter yang bagaimana untuk mendeteksi suatu objek bahwa itu “Macak gagah” atau tidak?”. “Macak itu untuk dirimu sendiri atau untuk memanipulasi orang lain?”. Begitu Mas Sabrang mencecar pertanyaan untuk memantik pemikiran JM.
Karena kita bersentuhan dengan sesuatu yang sekejap, maka yang kita tangkap hanya impresi. Kita cuma selintas melihat orang lain dalam sekejap, janganlah kita anggap sudah bisa menilai orang lain.
Macak gagah boleh dilakukan dalam tataran metodologi untuk memanipulasi diri, tapi jangan dilakukan untuk memanipulasi orang lain. Orang yang macak gagah memiliki kecenderungan tidak mampu menerima keadaan diri sendiri dan butuh memanipulasi orang lain. Kalau kamu menerima dirimu sendiri apa adanya termasuk kekuranganmu, kesalahanmu, itulah yang membuatmu dewasa sekarang. Membuat jarak dengan diri sendiri itu tidak mudah, untuk mendengarkan kata hati kita harus pandai mengatur otak. Semua yang masuk butuh filter termasuk mata. Maka gunakan hati dan juga pikiran sebelum menyimpulkan sesuatu.
Otak dan hati memiliki bahasa komunikasi tersendiri yang sebenarnya diri sendiri juga memahami. Yang bisa mendengarkan suara hati adalah jiwa yang tenang. Seperti permukaan air danau yang tak bergejolak. Kalau ada setetes air yang jatuh, kamu akan merasakannya. Karena akal berpengaruh untuk pilihan kata dan konteks dari kejadian. Kalau rasa itu yang apa adanya.
Sikap yang diambil saat mendapat informasi adalah; Pada apa yang kita tahu, kita harus berendah diri; Pada apa yang kita tidak tahu, kita berpuasa; Dan, pada apa yang kita kurang tahu, kita berprasangka baik.
Karena fenomena macak itu salah satu komunikasi yang sudah mendarah daging di masyarakat kita, macak itu tidak bisa berhenti dalam satu sudut pandang, yang penting waspada dalam dan terhadap macak itu sendiri. Macak itu tidak selalu negatif, selama macak itu untuk dirimu sendiri bukan untuk merugikan orang lain. Kalau kita mampu melihat mana titik primer dan mana titik sekunder, kita tidak akan tertipu oleh dia yang ‘Macak Gagah’.
–Tim Reportase BangbangWetan–