Mengajar untuk Terus Belajar (3 dari 3)
Mengajar untuk Terus Belajar
Sebagai kakak yang dua tahun lebih tua ketimbang Cak Nun, wajar apabila Cak Mif paham betul tentang perangai adiknya. Menurut beliau, sejak kecil Cak Nun memang telah tampak ambisius dalam hal-hal kebenaran, sangat kritis, dan patuh pada prinsip. Tentu hal tersebut bukan sebuah masalah seorang kakak yang memahami keinginan dan keteguhan adiknya.
Pernah pada suatu hari, Cak Nun kecil ingin pergi ke Mojokerto. Berangkatlah Cak Nun didampingi Cak Mif dengan kereta api pada pukul lima pagi dari stasiun Sumobito. Sesampainya di stasiun Mojokerto, Cak Nun hanya melihat-lihat sejenak suasana di sekitar stasiun dan segera mengajak Cak Mif untuk pulang ke Mentoro. Cak Mif sedikit bingung karena kereta arah Jombang masih sekitar tiga jam lagi.
“Gak usah ngenteni sepur. Mlaku lak uwes”, kata Cak Nun kala itu.
Akhirnya berjalan kakilah Cak Mif dan Cak Nun menyusuri rel kereta api. Setiba di daerah Curahmalang, lewatlah kereta api arah Jombang.
“Gelemo ngenteni mau lak numpak sepur”, kata Cak Mif pada adiknya.
“Lak gak eruh rasane mlaku, sampean“, jawab Cak Nun kecil.
Masih menurut Cak Mif, saat kelas satu SMA dan dipercaya sebagai ketua OSIS, Cak Nun pernah mengancam akan mengundurkan diri karena ada salah satu program OSIS yang tidak disetujui oleh kepala sekolah. Begitu juga saat Cak Nun dipanggil oleh kepala sekolah karena sering tidak ikut pelajaran agama Islam.
“Saya kan di luar mendengarkan”, argumen Cak Nun kala itu.
“Lha, kok begitu?”, tanya seorang guru.
“Saya kan mengikuti bapak. Bapak pernah mengatakan jangan dilihat siapa orangnya yang mengajarkan sesuatu, yang penting isinya apa”, jawab Cak Nun.
Dan, memang benar apa yang dikatakan, karena begitu diuji tentang pelajaran apa yang tadi diajarkan di kelas, Cak Nun mampu menjawabnya.
Biasanya saat ada suatu kejadian di sekolah, Cak Mif lah yang berperan sebagai wali murid Cak Nun yang kemudian datang untuk berbincang dengan kepala sekolah.
Terlepas dari hal di atas, menurut Cak Mif, Cak Nun sebenarnya tipe adik yang tidak mau merepotkan kakak-kakaknya selama tinggal bersama di Yogyakarta. Serta tentunya banyak lagi cerita tentang kemesraan Cak Mif dan Cak Nun yang belum bisa ditulis secara gamblang di BMJ edisi ini.
***
Dalam memandang Maiyahan khususnya Padhangmbulan, Cak Mif bersyukur semakin banyak anak muda yang hadir di Maiyahan. Namun, bapak enam anak ini tak lupa berpesan kepada para JM agar istiqomah, konsisten, dan meluruskan niat kalau ke Padhangmbulan. Terutama kalau niat kita belum benar.
Pesan Cak Mif kepada para JM seperti begitu juga kepada para muridnya adalah kalau menentukan tujuan apapun dalam hidup itu harus jelas, pasti, dan benar. Karena kembali ke fungsi manusia yg pertama yaitu ‘abdullah namun perlahan harus meningkat menjadi khalifatullah.
Kini setelah keenam buah hatinya (Muhammad Sholahuddin, Nur Imamah Dianing BN, Faida Hidayati, Anita Puspitasari, Teguh Azmi Pamungkas, dan M. Faiq Imamuddin) hidup mandiri dan tinggal berjauhan, Cak Mif tenteram di griya sederhana bersama sang istri ibu Khoirotin, dan masih terus istiqomah mengajar di Mentoro. Karena mengajar merupakan sarana untuk belajar dan hiburan sekaligus untuk memantau proses pengelolaan sekolah.
“Sebab kalau tidak mengajar itu tidak enak, selain itu juga untuk terus belajar serta mengetahui perkembangan”, pungkas Cak Mif sebelum reporter BMJ pamit undur diri.
(RR/SDE/MNT/Red.)