Rahim

Menjadi Ibu Rumah Tangga bukan Sekadar “Hanya”

Oleh: Mashita Charisma Dewi E.

Pada akhir Maret kemarin, kita dikejutkan dengan sebuah berita tentang seorang ibu yang mencoba menghilangkan nyawa tiga buah hatinya dengan dalih agar mereka tidak bernasib sama dengan Sang ibu. Saat kita melihat kasus atau berita tersebut hanya dari permukaan, pasti akan berucap: “Kok tega sih “, “Kok gak punya hati banget ibunya”. Tapi ketika kita melihat lebih dalam lagi kasus itu, kita akan mengetahui alasan-alasan mengapa ibu tersebut melakukan hal semacam itu. Dengan tidak bermaksud untuk membenarkan tindakan itu, kita akan mencoba memahami apa yang dialami dan dirasakan ibu tersebut.

Sang ibu adalah ibu rumah tangga sekaligus ibu yang berkarir di bidang make-up artis. Beberapa hasil riasannya diperlihatkan di sosial media dan menurut saya cukup bagus. Lantas mengapa Sang ibu sampai tega mencoba menghabisi nyawa buah hatinya? Apa lantaran faktor ekonomi atau hal lain yang membuat ia begitu tega mencoba mengakhiri hidup anaknya? Sesuai dengan keterangan Sang suami pun setiap bulannya ibu tersebut tetap mendapat jatah uang belanja.

Tidak ada sekolah formal untuk menjadi seorang ibu. Mungkin kita sebagai wanita sudah cukup bekal untuk mengetahui ilmu-ilmu parenting di luar sana. Akan tetapi, kita tidak pernah tahu apa yang kita hadapi sebelum hal tersebut kita jalani. Mulai dari emosi yang tidak tuntas karena masa lalu, hingga masalah hati dengan pasangan atau orang luar yang menjadi pemicu kesehatan mental seorang ibu.

Persepsi orang selama ini, untuk menjadi ibu rumah tangga itu selalu ada embel-embel kata “hanya”. Realitanya menjadi ibu rumah tangga itu pekerjaan sulit, bukan hanya sekadar mengurus rumah. Menjaga kesehatan, menyamankan, dan mengamankan buah hati adalah tanggung jawab utama. Apa lagi jika menjadi ibu rumah tangga sekaligus membantu perekonomian keluarga dari rumah. Belum lagi terkadang Sang suami menuntut wanita tersebut tetap terlihat cantik ketika Sang suami di rumah, dengan dalih takut Sang suami akan berpaling ke wanita lain. Terkadang hal tersebut menjadi tekanan tersendiri sebagai seorang wanita. Belum lagi mendengarkan suara-suara sumbang dari keluarga, tetangga, bahkan teman terdekat yang sedikit ikut campur tentang cara kita mendidik anak. Hal tersebut menjadi tekanan batin tersendiri bagi seorang ibu. Apa lagi bagi ibu yang mempunyai anak lebih dari satu. Anak dibanding-bandingkan, anak tersebut berantem, dan masalah kompleks lainnya.

Lantas sebagai wanita dan sebagai ibu kita harus bagaimana? Jawabannya adalah tetap jaga kewarasan mental ibu tersebut. Dengan hal-hal yang membuat ia bahagia tapi juga tidak menyusahkan. Sebagai suami, jangan pernah menuntut banyak apa yang dilakukan istri. Tanyakan hari-hari yang ia lalui, meskipun itu hanya sebuah pertanyaan kecil. Hal tersebut adalah bentuk perhatian suami terhadap istri, sama seperti halnya dalam kasus tersebut, istrinya berucap: “Aku ingin disayang”. Kalimat “disayang” berarti besar, karena ia merasa tidak ada yang mendengarkan bahkan mungkin bertanya. Hanya karena suami setiap bulan mengirimkan uang belanja, lantas menganggap tanggung jawab terhadap istri dan keluarganya sudah terlaksana. Perhatian dan kasih sayang terhadap keluarga itu bukan hanya dalam bentuk materi.

Sebagai keluarga terdekat atau teman, kita tidak bisa mengambil banyak peran di sini. Setidaknya jangan pernah menghakimi, terkadang ibu tersebut hanya butuh didengar. Mungkin kita sebagai saudara atau teman, mengetahui beberapa hal yang terjadi dalam dirinya. Seperti perubahan sifat dan sikap. Misal ia menjadi lebih pendiam atau bahkan ia sering bercerita di sosial medianya dengan panjang lebar. Dengan sebuah pertanyaan yang menurutku sepele: “Kamu baik-baik saja?”. Kalimat tersebut adalah pintu gerbang yang sedikit meringankan bebannya. Dan jangan pernah menjadi hakim dalam kehidupannya.

Sebagai wanita yang mengalaminya, kita jelas mengetahui apa-apa yang berubah. Terkadang masa transisi dari remaja dengan setelah menjalani peran sebagai istri dan ibu tersebut. Kelelahan dan perubahan hormon wanita menjadi pemicu utama perubahan emosional yang drastis. Jika sudah merasa dalam kondisi tersebut usahakan mencari orang untuk bercerita, bahkan menuliskan beban kita disebuah buku atau blog pribadi. Saat hal tersebut tidak membantu kondisimu, carilah tenaga profesional untuk mengurangi sedikit bebanmu. Dan yang terpenting luangkan sedikit waktumu untuk melakukan hal-hal yang membahagiakan. Jangan lupa sadari bahwa peranmu saat ini berubah, menjadi seorang yang dibutuhkan oleh beberapa makhluk di sekitarmu, yakni keluarga kecilmu. Menjaga kesehatan mental saat ini adalah hal yang terpenting untuk menjaga kewarasan kelangsungan hidup yang dijalani.

Semoga kita bisa menjadi ibu dan istri yang lebih baik setiap harinya. Karena pembelajaran peran ini berlangsung seumur hidup. Dan semoga perempuan di luar sana diberikan kekuatan untuk menjalani kehidupannya masing-masing. Aamiinn…

Penulis adalah Jamaah Maiyah asal Sidoarjo yang berkecimpung dalam bidang pendidikan anak usia dini serta aktif menulis .Bisa disapa di akun instagram @sitaeliyas

Leave a Reply

Your email address will not be published.