Menyatukan Dua Dunia
“Duhai engkau yang selalu kuhormati kulafalkan namamu di setiap aktivitasku, mohon izinkan kami memperoleh kepercayaan darimu, orang tuaku. Balut kepercayaan itu dengan prisma dzikir dan do’a darimu. Biarkan kukepakkan sayapku nan jauh dan menggelegar hingga mengguncang langit.”
Orang tua dan anak memiliki dunia yang berbeda. Yang paling nyata bisa dilihat dari rentang usia yang terpaut jauh. Umumnya orang tua dan anak memiliki selisih usia sekitr 20 tahunan. Rentang usia ini adalah salah satu yang menjadikan pola pikir antara anak dan orang tua menjadi berbeda. Selain itu, zaman yang terus berkembang juga perlahan memaksa keinginan dan kebutuhan bagi si anak yang jauh berbeda dengan orang tua.
Seringkali kita jumpai perbedaan pemikiraan dan kesepahaman antara orang tua dan anaknya. Tidak menutup kemungkinan perbedaan ini mengakibatkan perselisihan. Tidak saling menyapa adalah akibat dari perselisihan ini yang dalam bahasa kekinian disebut “SIWAK”. Tentu saja ada banyak faktor yang menyebabkan ‘dua dunia’ ini seperti air dan minyak yang tidak bisa bersatu.
Ada hal yang menarik dan juga menggelitik, orang tua pasti dan mengeraskan seluruh usahanya untuk membahagiakan anaknya. Di sisi lain anak juga mempunya pola berpikir sendiri bahkan pengalaman yang mungkin bisa jadi lebih variatif dari pada orang tua. Keputusan perihal kelanjutan hidup dan masa depan menjadi output bagi si anak. Perbedaan pandangan, berjuta pengalaman, dan peghikmahan yang berbeda diantara ‘dua dunia’ tersebut membuat keputusan-keputusan yang tercetus menjadi seret dan banyak friksi.
Perbedaan pola pikir antara anak dan orang tua sangat banyak ditemui dalan kehidupan kita. Beberapa contohnya adalah:
- Si anak bilang ini baik, tetapi orang tua bilang tidak baik.
- Keinginan orag tua yang sering kali bersinggungan dengan keinginan anak.
- Banyak yang bilang bahwa sudut pandang orang tua itu kolot dan ketinggalan zaman.
- Anak adalah spesies manusia yag kekinian, sedangkan orang tua adalah spesies kuno.
Dari beberapa contoh perbedaan di atas, tentu saja harus dicari jalan keluarnya. Dalam hal ini keduanya memiliki peran kunci. Terlebih jika si anak sudah dewasa dan bisa mengambil keputusan. Peran lebih besar ada pada pundak orang tua jika anak dirasa belum bisa mengambil keputusan yang dewasa.
Anak juga harus memiliki kesadaran untuk menghormati orang tua. Dilihat dari sudut pandang manapun, orang tua tetaplah orang tua. Orang yang ikut bercampur tangan dalam.kehadiran anak di dunia. Jadi, reatu orang tua sangat penting bagi kelangsungan pengambilan keputusan si anak. Seorang anak harus memiliki kesadaran akan hal ini.
“Duhai engkau yang selalu kuhormati kulafalkan namamu di setiap aktivitasku, mohon izinkan kami memeperoleh kepercayaan darimu, orang tuaku. Balut kepercayaan itu dengan prisma dzikir dan do’a darimu. Biarkan kukepakkan sayapku nan jauh dan menggelegar hingga mengguncang langit.”
Mampu menjembantani perbedaan ‘dua dunia’ bagi saya adalah kepuasan batin yang luar biasa. Keberhasilan ini adalah prestasi tersendiri. Kesepakatan antara anak dengan orang tua juga bisa mempererat hubungan antara anak dan orang tua yang seakan ada penyekat antara keduanya. Melebur sekat ibarat menghubungkan jurang pemisah antara dua tebing yang berseberangan.
Oleh : Aminullah
Penggiat Bangbang Wetan Surabaya. Berbagi cuitan di akun twitter @cak_amin