Mlungsungilah: Reriyungan

Oleh : Julak Imam
Idiom “mlungsungi” pada umumnya menurut orang Jawa, bermakna pergantian kulit—khususnya pada ular. Namun kata mlungsungi ternyata tidak hanya terjadi pada ular saja. Tidak hanya pergantian kulit saja. Melainkan diksi: mlungsungi, musti diartikan secara luas. Karena demikianlah keniscayaan dialektika kehidupan.
Mlungsungi, bisa diartikan bergantinya kulit yang lama menjadi kulit yang baru pada ular. Mlungsungi bisa diartikan berlangsungnya tiga fase wujud kupu kupu yang sebelumnya musti menempuh fase kepompong, yang sebelumnya lagi menempuh fase ulat. Mlungsungi bisa juga diartikan dari ayam lalu bertelur, dierami itu telur pada batas waktu tertentu, sampai kemudian menetas lalu muncullah anak ayam hingga membesar, dan ia kemudian bertelur, sehingga siklus ayam dan telur tersebut melahirkan “pertanyaan mlungsungi” yakni duluan mana ayam, apa telur?
Dalam skala apapun, keberlangsungan mlungsungi pasti akan terjadi. Baik lambat maupun cepat. Baik secara evolusi maupun revolusi.
Reriyungan Teater se-Jogja yang digagas bapak Emha Ainun Nadjib dan teman teman seniman Jogja itu sendiri sejatinya merefleksikan mlungsungi.
Maaf bila tafsir saya ini sungguh amatlah lancang. Namun kelancangan ini hanya semata berniatan sekaligus berupaya untuk sinau bareng.
Saya menafsirkan, Reriyungan Teater se-Jogja adalah momentum mlungsungi; sebuah laku pengendapan dari para pelaku seni di Jogja dalam menyikapi situasi nasional di negeri ini yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sejak Proklamasi Kemerdekaan NKRI dipublikasikan beberapa tahun silam, maka saat itulah dimulainya ketidakberesan pada situasi nasional. Dan ketidakberesan nasional—jika tak rela disebut kebrengsekan nasional— itu berlangsung terus menerus. Sambung menyambung. Mulai Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi, Orde Gus Dur, Megawati, SBY, sampai makin parah kadar ketidakberesan tersebut ketika tiba pada Orde Jokowi.
Orde terakhir, makin sukar untuk menemukan tokoh nasional panutan. Hampir semua tokoh nasional berlaku Brutus. Oportunis. Bernaluri devide et impera. Berwatak mbakul. Duit duit dan duit yang ada di kepala para tokoh nasional. Meskipun kita yakin, masih tersisa tokoh nasional yang layak untuk tetap menjadi panutan, karena konsistensi sikap nasionalismenya. Buktinya adalah lahirnya “oase” Reriyungan Teater se-Jogja.
Saya jadi tergelitik dengan adegan tiga pengawal yang menirukan setiap gerak gesture Mblah blehnya yakni Paduka Prabu Durgoneluh. Dan itu cermin situasi—kepemimpinan—nasional yang mblah-mbleh.
“Siap, sendiko dhawuh Paduka Prabu Durgo Neluh,” demikian nada dan ngapurancang tiga pengawal yang turut mblah-mbleh.
Terlahir di Surabaya, Julak Imam adalah penggiat sastra yang melintasi jarak Surabaya, Kalimantan Selatan hingga Yogyakarta. Sambil menunggu selesainya buku kumpulan karya esai dan cerpen, antologi puisinya sudah diterbitkan. Pernah menjadi jurnalis di beberapa media cetak, saat ini Imam berfokus pada warung kopi yang ikut terimbas global pandemi