Momentum Gestapu di Malam Gestok – Bukan Anak Jalanan (2)
Kemlagen #26

Oleh: Samsul Huda
Sebagaimana yang saya ceritakan di seri Kemlagen #17 ((Bukan) Bajing Loncat – Amul Huzni (5), bahwa saking seringnya nggandol truk bak terbuka dalam bepergian, saya sampai punya semacam “feeling” atau intuisi. Ya, intuisi apakah truk ini bisa ditumpangi sementara lainnya menolak untuk itu. Tapi untuk perjalanan kali ini, “feeling” itu tak lagi berguna. Pasalnya, malam itu, lampu bangjo pengatur lalu lintas di pertigaan Blimbing arah Pakis–Tumpang sudah mati sehingga tidak ada kendaraan yang berjalan lambat apalagi berhenti.
Kala itu, sebagai maba (mahasiswa baru), saya dan teman-teman mendapat undangan dari kampus untuk mengikuti acara Renungan Malam dalam rangka memperingati hari kesaktian Pancasila 1 Oktober. (Terkait hari bersejarah ini, Bung Karno menyebutnya GESTOK, Gerakan Satu Oktober, sementara Jenderal Ahmad Yani menyebutnya GESTAPU, Gerakan September Tiga Puluh). Waktu menunjukkan pukul 00.00 wib. Kami semua, para maba, harus menghadiri acara tersebut tepat waktu. Dengan senang hati saya niatkan untuk datang karena akan bertemu dengan seluruh mahasiswa baru.
Saat itu saya masih tinggal di Jalan Sumpil, Blimbing, bersama Lek Sulkan. Cukup jauh dari kampus. Kalau mau ke kampus, saya harus naik angkot, dua kali “oper” atau ganti jalur. Karena undangannya pukul 00.00, maka pukul 21.00 saya baru berangkat. Dengan berjalan kaki, saya mengarah ke pertigaan lampu “bangjo” Blimbing. Untuk apa? Untuk cari nunutan atau gandolan. Sesampainya di sana, ternyata lampu bangjo sudah tidak aktif. Hanya kelap-kelip lampu warna kuning karena sudah lewat pukul 9 malam. Pantesan tidak ada mobil yang berjalan pelan apa lagi berhenti. Mau naik angkot nggak ada uang.
Di pertigaan Blimbing, yang mobilitas kendaraannya cukup ramai itu saya tersudut dalam sunyi dan kesendirian. Di tengah kesunyian itulah saya melihat seorang anak muda yang usianya kurang-lebih tiga tahun di atas saya. Dia terlihat santai, enjoy, dan bahagia. Kemudian saya hampiri dan kami pun berkenalan. Perkenalan di sebuah pertigaan pada malam yang mulai larut berlangsung sangat akrab. Kami ngobrol santai. Meski baru pertama kali bertemu, kami langsung akrab dan saling percaya. Ternyata kuncinya ada pada kejujuran dan keterbukaan di antara kami.
Kami lantas saling mengenalkan diri. Namanya Cak Midi. Datang dari Kecamatan Wajak, sebuah kawasan di pedalaman Malang selatan. Saya lupa nama kampungnya. Yang jelas, masih jauh dan berliku-liku jalannya dari kota kecamatan. Seorang pedagang asongan kue onde-onde. Bersama sejumlah teman-temannya, ia makan dan tidur di sebuah rumah yang disediakan juragannya di daerah Polowijen, tak jauh dari rumah Lek Sulkan yang saya tempati.
Sebelum menjajakannya, mereka harus membuat sendiri onde-onde sebanyak yang akan mereka jual. Rutinitas itu mereka mulai dengan membuat adonan dan dilanjutkan dengan menggorengnya. Jumlah yang disiapkan harus sesuai dengan perkiraan yang bisa laku. Juragan hanya menyediakan bahan-bahan setengah jadi, tempat untuk tidur, dan makan.
Para pedagang asongan onde-onde itu bisa berjualan dua kali bolak-balik, pagi dan sore. Sebelum salat Subuh mereka harus sudah bangun untuk memulai proses pembuatan, matang, dan mulai berkeliling menjajakannya. Langkah-langkah yang sama dilakukan lagi setelah salat Dhuhur.
Dari kejujuran dan ketulusan Cak Midi dalam bercerita itu saya tertarik dan berniat untuk bergabung bersama mereka. Niat saya untuk bergabung itu disambut dengan senang hati olehnya. Kami pun bikin janji untuk bertemu lagi dan dia akan mengantar saya menghadap juragan onde-ondenya.
Saat bertemu lagi dengan Cak Midi di waktu yang kami sepakati, saya diantar menghadap juragannya. Saya sampaikan kemauan dan niat untuk ikut menjual onde-onde. Dengan senang hati beliau menerima saya menjadi anak buahnya. Kapan saja saya mau bergabung, beliau selalu siap menerimanya. Kemudian saya berpamitan dan kembali ke rumah Lek Sulkan.
Sesampainya di Sumpil saya mulai mencari waktu yang tepat untuk menyampaikan keinginan pindah dari rumah Pak Lek. Tujuannya sederhana saja: agar bisa bekerja dan benar-benar mandiri. Selang beberapa hari, datanglah kesempatan itu. Kami sedang duduk bersama: saya, Pak Lek Sulhan beserta istrinya. Setelah saya sampaikan niat dan alasan saya pindah, meski awalnya nggandoli tapi akhirnya mereka berdua memahami kemudian mengizinkan dan meridai saya untuk pindah. Jarak rumah Sumpil dengan juragan onde-onde di Polowijen itu sekitar satu kilometer, sehingga kami bisa tetap sering bertemu.
Maka sejak bulan Oktober 1985, saya resmi menjadi pedagang asongan kue onde-onde. Dimulailah periode baru dalam hidup saya, menjajakan onde-onde dengan berjalan kaki mengelilingi beberapa kawasan di Kota Malang. Sebuah pengalaman yang bermula dari momentum di 30 September malam.
Saya teringat pepatah Arab yang terkenal
الكاسب حبيب الله
Al-kasibu habibullah
“Orang yang mendapat upah/ bayaran dari hasil keringatnya sendiri (seorang pekerja) itu adalah HABIBULLAH, kekasih Allah Swt.”
—oOo—
Penulis adalah santri di PP Roudlotun Nasyi’in, Beratkulon-Kemlagi dan PP Amanatul Ummah Pacet. Keduanya di Mojokerto. Mengaku sebagai salah seorang santri di Padhang mBulan, penulis bisa ditemui di kediamannya di dusun Rejoso-Payungrejo, kecamatan Kutorejo, Kab. Mojokerto