Kolom Jamaah

Nilai-nilai Sosial Dalam Surat Al Kafirun

Oleh : Ainul Yaqin 

 

Sosial masyarakat Makkah

Kawasan Makkah merupakan kota penting jalur perdagangan internasional. Dengan demikian Ia bukan suatu kota kecil yang sepi, jauh dari keramaian, dan kesibukan dunia. Makkah merupakan kota yang ramai dan makmur, yang hampir menguasai pusat perdagangan antara kawasan lautan India dan lautan Tengah. (Watt:1927)

Di tengah perkembangan perekonomian kota Makkah yang sangat maju tersebut, yang menjadikan kota ini melimpah secara dinamis kekayaan dalam skala besar, dan sebagai kota dagang yang ramai dan makmur, maka Makkah hampir-hampir memonopoli pusat-pusat perdagangan lokal antara laut India dan laut Tengah. Permasalahan demi permasalahan muncul, bangsa Arab yang telah terbiasa hidup dengan kehidupan feodalistik dan diskriminatif mendatangkan dampak-dampak yang destruktif berupa konsentrasi kehidupan yang serba elitis, baik secara ekonomi, politis, bahkan elitisme religius. (Watt:1995)

Elitisme dalam bidang ekonomi menyebabkan adanya monopoli yang didominasi oleh orang-orang tertentu yang bermodal, yakni para saudagar. (Watt:1988)

Perekonomian yang berkembang tersebut menjadikan masyarakat Arab, khususnya bangsa Quraisy memiliki pandangan bahwa kekayaan dan kapitalisme sebagai sebagai tujuan utama dan “juru selamat”, yang dapat menyelamatkan mereka dari kemiskinan, marabahaya, dan memberikan rasa aman. Mereka tidak lagi kelaparan, dan diganggu suku-suku musuh. Uang mulai mendapatkan posisi yang nyaris agamis. Kapitalisme secara alamiah mendorong tumbuhnya keserakahan dan individualisme atau elitisme. Akibatnya, berbagai klan terlibat dalam kompetisi yang tajam, yang terbagi menjadi tiga klan ketika Muhammad SAW masih kecil. (Armstrong:2003)

Realita memang menunjukkan, meskipun Makkah disebut sebagai kota negara (city-state), Ia tetap merupakan masyarakat kesukuan hingga akhir penaklukannya pada masa Nabi Muhammad SAW sistem kependudukan masyarakat dibangun menurut kabilah di mana anak-anak dari satu suku dianggap saudara yang memiliki pertalian hubungan darah. Seorang Arab tidak akan dapat memahami pemikiran negara kebangsaan melainkan dalam konteks sistem kesukuan (klan). (A’zami:2007)

Muhammad SAW dilahirkan dalam klan Hasyim yang di mana klan ini tidak sesukses dibanding klan yang lainnya dan merasa terdesak. Mereka bukannya membagi kekayaan secara merata sebagaimana tradisi dalam etika suku lama, melainkan setiap orang menimbun harta pribadinya. Hak-hak anak yatim dan janda dieksploitasi, warisan hanya untuk menambah kekayaan diri sendiri, eksploitasi terhadap orang-orang yang lemah (tidak bersuku, budak-budak, dan kuli-kuli), dan berbagai kecurangan di dalam praktik-praktik perdagangan dan keuangan. (Armstrong:2003)

Kejayaan baru tersebut telah mengorbankan hubungan mereka dengan nilai-nilai tradisional, banyak orang Quraisy kurang beruntung merasa disorientasi dan tersesat. Pedagang yang paling sukses, para bankir, dan pengelola keuangan, sangat gembira dengan sistem ini. Bahkan lebih agresif mengumpulkan lebih banyak kapital dengan semangat nyaris seperti agama. (Fazlur:1996)

Kejadian ini terus berlangsung dan membuat Muhammad SAW risau dan cemas melihat fenomena penyakit sosial tersebut, yang dicetuskannya bukan melalui suatu gerakan revolusi sosial, melainkan melalui dorongan, motivasi, dan agama.

Nilai Sosial-Budaya dalam Surat Al-Kafirun

Surat Al-Kafirun termasuk surat Makkiyah karena diturunkan di Makkah atau sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah. Melihat kondisi sosial Makkah pada saat itu, seperti yang sudah di bahas pada bagian pertama, bahwa kondisi masyarakat Makkah masih tergolong jahiliyah. Ekonomi Makkah banyak di monopoli oleh para kaum Quraisy. Kehidupan pada saat itu sangat feodalistik dan diskriminatif. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Mengumpulkan harta benda dengan semangat nyaris seperti agama. Nabi Muhammad risau dan cermat melihat fenomena penyakit sosial tersebut dan akan merevolusi apa yang terjadi di dalam sukunya. Muhammad SAW ingin menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan sistem masyarakat yang egaliter.

Munculnya agama baru yang di bawa Nabi Muhammad SAW (Islam) membuat para pemuka kaum Quraisy geram dan ingin menghancurkannya. Parahnya lagi ingin membunuh serta Nabi Muhammad SAW.

Kaum Quraisy sebenarnya tidak terlalu terlalu terkejut dengan moneteisme, yang pada dasarnya bukanlah sebuah ide baru bagi mereka. Mereka sejak lama telah mendapati agama Yahudi dan Nasrani yang selaras dengan tradisi mereka sendiri, dan tidak terlalu terganggu oleh kaum hanif untuk menciptakan monoteisme asli Arab. Tetapi, yang dikhawatirkan oleh orang Quraisy adalah agama yang dibawa Nabi Muhammad ini menyuruh untuk berbagi kepada orang-orang yang fakir dan miskin (zakat). Konsep ini seperti Muruwah, di mana anggota klan yang kaya harus berbagi kepada anggota klan yang miskin. Inilah yang tidak bisa bisa diterima oleh orang Quraisy.

Pada saat itu, Nabi Muhammad didatangi oleh pemuka kaum kafir Quraisy, yakni Al-Walid bin Al-Mughirah, Al-Ash bin Wail, Al-Aswad bin Al-Muthalib, dan Umaiyah bin Khalaf. Umaiyah bin Khalaf adalah pemimpin Quraisy dari Bani Jamah, Ia adalah mantan majikan Bilal bin Rabah, yang Ia siksa ketika Bilal masuk Islam.

Dakwah Nabi Muhammad mendapat tentangan dan perlawanan keras dari masyarakat Makkah, baik aktif maupun pasif. Tantangan yang sengit dan oligarki yang menguasai kehidupan kota tersebut. Mereka tidak hanya takut tantangan Muhammad terhadap agama tradisional mereka yang politheisme, melainkan juga khawatir jika struktur masyarakat mereka sendiri dan kepentingan-kepentingan dagang mereka yang makin lama makin menjurus terhadap praktik riba akan tergoyahkan langsung oleh ajaran Muhammad yang menekankan keadilan sosial dan desakannya untuk menunaikan zakat.

Kata kafir pada ayat pertama diturunkan dari akar KFR (tidak bersyukur) yang menyiratkan penolakan kasar atas sesuatu yang ditawarkan dengan kemurahan hati dan kebaikan yang besar. Ketika Allah telah menyiapkan dirinya kepada orang-orang Makkah, sebagian dari mereka meludah dengan penuh kebencian di wajahnya. Al-Quran mencela kaum kafirun bukan karena kurangnya keyakinan agama mereka, melainkan keangkuhan mereka. Mereka sombong dan congkak. Mereka merasa unggul daripada orang Makkah yang lebih lemah dan miskin. Maka dari itu mereka enggan mengikuti ajaran yang dibawa oleh Muhammad karena dalam ajaran tersebut mereka disuruh berbagi kekayaan (zakat) walaupun hanya sebagian dari kekayaan mereka.

Menurut Asghar Ali di dalam bukunya ‘Islam dan Pembebasan’, mengatakan: kaum hartawan Makkah, bukan tidak mau menerima ajaran keagamaan Muhammad,  ajaran tentang tentang penyembahan pada satu Tuhan (tauhid). Yang merisaukan mereka justru implikasi-implikasi sosial-ekonomi dari risalah Muhammad. Seperti diketahui, di sana telah berkembang kepentingan ekonomi perdagangan yang sangat kuat. Mereka semua merasakan dalam risalah Muhammad terdapat suatu yang mengancam kepentingan mereka, yakni kepentingan akumulasi kekayaan yang selama ini berjalan tanpa rintangan. Namun sekarang ayat-ayat Al-Quran mencela penumpukan kekayaan itu.

Kata a’bud pada ayat kedua berbentuk kata kerja masa kini dan akan datang (mudhori’). Dengan demikian, Nabi Muhammad diperintahkan untuk menyatakan bahwa sekarang atau di masa akan datang bahkan sepanjang masa tidak melakukan hal-hal yang dilakukan oleh kaum Quraisy pada umunya, yakni menyembah berhala, juga bentuk kehidupan hedonis kaum Quraisy.

Adapun perbedaan ayat ketiga dan kelima yang redaksinya sama. Maka pada Ulama membedakan dengan memberi arti kata “Maa” pada masing-masing ayat. Ayat ketiga berarti tidak akan menjadi penyembah dan akan saya sembah. Ayat kelima (demikian ayat keempat) adalah mashdariyyah sehingga kedua ayat ini berbicara tentang jalan hidup, cara peribadatan “aku tidak pernah menjadi menyembah dengan (cara) penyembahanmu (jalan hidupmu), kamu sekalipun tidak akan menjadi penyembah dengan cara menyembahanku (jalan hidupku). Muhammad juga menekankan kepada kaum Quraisy yang mendatanginya bahwa mereka tidak akan bisa melakukan hidup seperti halnya yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, dikarenakan mereka sudah terbiasa hidup hedonis, tidak memandang orang di bawah untuk diberi sedikit kekayaan yang telah ditetapkan dalam risalah Nabi.

Didahulukannya kata “Lakum” dan kata “Lii” berfungsi menggambarkan kekhususan, karena itu pula masing-masing kehidupan tidak bisa dicampur aduk menjadi satu. Tidak perlu mengajak cara hidup hedonis selama waktu yang ditentukan.

Kata “Din” dapat berarti agama, jalan hidup, kepatuhan atau balasan. Penegakkan “Din” Allah dari masa ke masa, karena yang diperjuangkan adalah sistem dan aturan yang tidak menghendaki pencampuran dengan aturan selain Din Allah, sehingga mayoritas Rasul yang diutus selalu berlawanan dengan kekuasaan yang berlaku saat itu. Seperti kasus perlawanan Nabi Muhammad kepada golongan Kafir Quraisy yang tidak mau membelanjakan hartanya di jalan Allah dan membantu saudaranya yang kesusahan. Mereka malah menumpuk hartanya dan melalukan monopoli perdagangan, melakukan riba, dll.

Dua lafadz “Din” dalam, ayat terakhir mempunyai makna yang sangat bertolak belakang, Din yang pertama di-washol-kan dengan dhomir muttashil kum” bermakna “kufr” sedangkan yang kedua bermakna “al-islam”. Dinamakan Kufr, karena agama yang mereka peluk tidak berorientasi kepada Allah dan juga manusia, mereka tidak mempercayai agama Muhammad dan juga enggan membantu manusia yang kesusahan. Maka dapat dikatakan bahwa Islam sendiri adalah La Ilaaha Illa Allah, tidak ada yang disembah kecuali Allah dan harus menuruti semua aturan-aturan Allah yang telah disampaikan Nabi Muhammad. Jadi, syirik di sini bukan sebagai objek yang mereka sembah, tetapi cara hidup yang hedonis dan juga tidak mau membantu sesama manusia.

 

 

Penulis adalah jamaah maiyah, mahasiswa IAIN Surabaya, serta aktif mengikuti Forum Maiyahan BangbangWetan . Bisa disapa di IG: @ainulisme