Rahim

Nilai

Oleh: Zaky Ardhiana Devie

Telepon  berdering.  Seorang  ibu  di  seberang  menghubungiku. Dengan nada  memelas  ia meminta pertolongan.

“Kasihan anakku mbak, tolong ya!” “Gimana, ada yang bisa aku lakukan?”

Saya guru BK (Bimbingan Konseling), tetapi kadang juga menerima siswa-siswi atau mahasiswa yang “lelah”. Karena untuk ke psikolog atau konselor, terkadang dompet mereka kurang  memenuhi syarat untuk konseling. Aku pikir di awal telepon itu adalah masalah serupa. Maka dengan spontan aku sambut dengan empati.

“Mbak, pinter gambar kan?”

“Ngg… nggak kalo pinter. Bisalah dikit-dikit. Ada apa sih?”

“Gini lo, anakku ada tugas dari sekolahnya, suruh bikin komik. Selembar 4 kotak gitu lo. Kasihan anakku, Mbak. Dia gak bisa nggambar sama sekali. Please ya, gambarin yah… Selembar saja, gak banyak kok… ya… ya… Please!”

Tegas aku menjawab, “Enggak… enggak ah. Suruh gambar sendiri. Biarin nilainya jelek yang penting usaha sendiri,Mbak…”

***

Di kehidupan sehari-hari kita biasa menerima jenis permintaan memelas semacam itu. Adakalanya kita sering mengiyakan. Sungkan. Nggak enak. Teman sendiri.

Ini bukan perkara teman sendiri, anak sendiri, sahabat sendiri atau diri sendiri sekalipun. Ini perkara kebenaran dan kesungguhan. Mentang-mentang anak sendiri, atau kerabat sendiri maka sah-sah saja sedikit berlaku agak curang.

“Ah… Cuman hal sepele…”

Bukankah semua kecurangan besar dan mengerikan berawal dari kecurangan sepele. Karena tak ada yang tahu, dirasa ringan dosanya, dan justru nikmat karena menghasilkan nilai bagus maka sah-sah dan boleh-boleh saja.

Justru dari hal sepele. Justru dari anak usia sedini mungkin kita diajarkan untuk tidak curang dalam mengerjakan tugas sekolah, PR, atau ujian karena ia adalah tanah subur. Apa yang ditanam ibunya, kelak akan tumbuh. Jika di usia dini telah ditanami benih curang, maka jangan salahkan jika benih curang itu tumbuh subur dan berbuah banyak, sehat-sehat pula kelak.

Bukan buah rajin namun buah dari kecurangan. Bisa dibayangkan buah apa saja dari kecurangan tersebut.

Mungkin Sang Ibu berangkat dari rasa kasihan kepada anaknya jika mendapat nilai buruk. Namun, jika itu berlanjut, maka kelak akan lebih kasihan lagi. Karena anak akan terbiasa selalu mengasihani diri sendiri tanpa mau berjuang dan berusaha sungguh-sungguh. Karena toh dengan cara sedikit curang, semua akan beres dengan hasil maksimal dan rasa gembira.

***

Adakalanya kita harus agak tega melihat anak sedikit menderita. Agar anak memiliki jiwa juang untuk berdiri. Adakalanya nilai buruk itu tak mengapa, selama Sang Anak berusaha sendiri tanpa menyontek atau curang. Ia bisa mengulang lagi. Dalam kasus ini, semisal seribu kali anak berusaha menggambar dan nilainya tetap jelek karena memang tak berbakat dalam menggambar, ya sudah. Ya sudah diterima. Jangan menuntut anak mendapat nilai sempurna pada semua bidang mata pelajaran. Orang tua dan guru harus mau menerima realita itu.

Tak ada manusia yang sempurna. Tak ada anak yang sempurna. Tak ada siswa yang sempurna. Pun, tak ada guru dan orang tua yang sempurna. Jadi, mari berhenti menuntut anak kita sempurna dalam semua mata pelajaran.

Ajari mereka menerima diri mereka apa adanya, selama telah berusaha keras dalam meraih nilai. Ajari diri sebagai orang tua bahwa pencapaian nilai seratus bukanlah tujuan dari sekolah. Namun kesungguhan dalam menuntut ilmu yang merupakan tujuan utama. Jika telah belajar rajin, jujur, tak menyontek, tak juga curang namun nilai masih buruk. Maka, ada ilmu lain yang harus dipelajari oleh anak, orang tua, dan juga guru. Hidup bersekolah tak melulu nilai dan juara. Namun nilai di dalam diri yang juga harus dipupuk.

Nilai menghargai. Nilai penerimaan. Nilai padi menunduk. Nilai berjuang. Nilai lain-lain yang mungkin berupa kesungguhan orang tua dan guru untuk mencari celah di bidang apa bakat anak tersebut tersembunyi. Sehingga ia bisa diasah dan kelak menjadi cemerlang bak batu akik yang mahal dan menjadi rebutan.

Seorang jenius, Albert Einstein, dulu saat sekolah mengalami beberapa kegagalan. Ia seorang Disleksia yaitu kesulitan membaca, menulis, dan mengeja. Bahkan Einstein juga kesulitan dalam menghafal. Nah kan! Seorang jenius juga tak sempurna dalam sekolahnya.

So… Ibu, wahai orang tua. Please, mari kita ajari anak-anak untuk tidak curang dan menyemangati mereka untuk mengerjakan tugas sejujur mungkin, walau nilianya tak maksimal. Kalau dapat nilai 5 katakan, “Bagus! Untung bukan 4. Usaha lagi, siapa tahu besok dapat 7 atau 10… Horeee”, katakan dengan senyum paling manis dan semangat di matamu untuk anak-anakmu. Karena nilai di kertas ulangan anak bukan segalanya. Nilai moral dan akhlak-lah segalanya.

Wallahualam

Zaky Ardhiana Devie. Penulis merupakan Jamaah Maiyah Ponorogo.

Leave a Reply

Your email address will not be published.