Niteni Peran Rububiyah
Niteni Peran Rububiyah
Oleh: Achmad Saifullah Syahid
KALAU MENDENGAR kata ‘kebenaran’ kata Markesot jangan lantas hanya berasosiasi ke Kitab Suci, ucapan Nabi, buku filsafat atau pelajaran-pelajaran Sekolah dan Pesantren. Sebutir kacang juga hadir dengan dan karena kebenarannya sebagai butir kacang. Seekor cacing bertempat tinggal di dalam kebenarannya sebagai cacing. Sezarrah debu tak bisa beterbangan atau hinggap di tembok kalau tak disertai oleh kebenaran hakiki dan syar’i jasadiyahnya sebagai debu. – (Daur 60)
Untuk kesekian kali, karena “dipaksa” teman-teman agar mentadabburi Daur, sudah aku awali dengan sepotong kalimat Cak Markesot. Sebutir kacang, seekor cacing, sezarah debu merupakan raga (wujud) dari jasmani. Sedangkan kebenaran ibarat ruhani. Apabila kita sanggup melihat hakikat, “sesuatu” di balik raga jasmani, kita akan memahami kehendak Tuhan. Apa sebenarnya kemauan Tuhan menghadirkan sebutir kacang, seekor cacing, sezarah debu di hadapan kita.
Allah pasti punya maksud dan kehendak menghadirkan benda, peristiwa, rasa, dan segala macam suka duka. Kenyataan-kenyataan itu – secara syar’i dan hakiki – hadir dengan gamblang sebagai Al-Haqq, Wajhullah. Wajah Allah. Hadir di sini dan sekarang. Dia menatap dan menyapa untuk menasehati, memerintah, melarang, mendorong, mencegah, memberikan informasi, mengirim ilmu.
Tidak ada kenyataan hadir tanpa makna tanpa kebenaran. Rabbanaa maa kholaqta haadzaa baathila (QS. Ali Imran: 191). Apa yang Dia ciptakan tidak ada yang sia-sia. Semua bermanfaat dan mengandung potensi manfaat. Bahkan secara hakiki berinteraksi dengan kenyataan sejatinya merespon tatapan Wajhullah. Online tiada henti. “Kemana saja engkau menghadap, di situ Wajah Allah.” (QS. Al-Baqarah: 115)
Berinteraksi dan merespon sapaan-sapaan Wajhullah: memberi makan tetangga yang kelaparan, menyingkirkan batu di tengah jalan, mencangkul di sawah; atau merenungi setiap detik momentum kunci di kehidupan kita sendiri, dan semua itu ternyata menghadirkan kesadaran yang lebih utuh, makin mencintai pengabdian kepada-Nya – itulah thariqah kita yang sebenarnya.
Thariqah kita adalah kesanggupan diri untuk setia dan terus menerus mendayagunakan syariat (yang syar’i jasadiyah) untuk kebaikan terhadap teman, keluarga, tetangga, bahkan kebaikan untuk semesta.
Bagaimana thariqah ini dijalankan di tengah keramaian yang sunyi dan di tengah kesunyian yang ramai? Kita menatap kenyataan secara apa adanya. Cacing dengan kebenarannya sebagai cacing. Karena itu, kenyataan berwujud benda-benda, peristiwa-peristiwa, dan alam lingkungan memiliki dua sisi mata uang: ciptaan dan perintah. Ciptaan merupakan fakta jasadiyah (syar’i jasady). Perintah merupakan fakta ruhiyah (kebenaran hakiki).
Menyaksikan kenyataan sebagai “ciptaan” mengantarkan kita pada kesadaran fungsi dan manfaat dari fakta jasady. Misalnya saat melihat beras, muncul pertanyaan apa fungsi dan manfaat beras? Awalnya ia akan menikmati beras sebagai fasilitas untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di kemudian hari orientasinya berkembang. Beras dijadikan alat untuk memuaskan kepentingan diri. Beras pun dimonopoli. Ia menjadi sangat bernafsu menguasai dunia hanya karena menangkap fungsi dan manfaat beras sebagai ciptaan. Ia terperangkap oleh jaring-jaring fakta jasadiyah.
Adapun menyaksikan kenyataan sebagai “perintah”, kita tidak punya hak untuk menyentuh dan menilainya semau kita. Kenyataan yang hadir di depan kita milik Allah (kebenaran hakiki). Kita tidak boleh sembrono menilai kebenaran hakiki. Maka, kita pun bertanya: “Mengapa Allah menghadirkan kenyataan ini? Allah memerintahkan apa kepadaku? Atau bermacam-macam kemungkinan simulasi pertanyaan menggunakan cara pandang Allah.
Ternyata di balik setiap kenyataan terdapat pesan perintah dari Allah. Menangkap pesan perintah Allah yang melatarbelakangi setiap kenyataan merupakan momentum menyaksikan Wajah Allah. “Aku lapar engkau tidak memberiku makan. Aku sakit engkau tidak menjengukku…”
Menyaksikan Wajah Allah: momentum yang merontokkan bangunan egoisme. Momentum kematian secara maknawi. Egoisme mati. Allah hidup.
Mati secara maknawi seolah berseru kepada kita. “Sudahlah. Sekarang istirahatkan dirimu dari memuaskan nafsu kepentingan egoisme. Apa yang ditegakkan Allah pasti tegak. Tak perlu engkau bersusah payah apalagi bersedih demi menegakkan apa yang sudah ditegakkan Allah untukmu.”
Dari sebutir kacang, seekor cacing, sezarrah debu kita menangkap sinyal-sinyal kebenaran perintah Allah. Sinyal kebenaran yang pasti terjadi. Seseorang yang terlibat di mekanisme ini berposisi sebagai hamba yang dijalankan, diperintah, diberi ilmu. Ia bekerja tidak harus sejalan dengan visi moral yang berlaku di masyarakat. Tidak harus mengikuti logika umum. Apa yang dibutuhkan untuk menunaikan perintah telah dan akan selalu dipenuhi oleh-Nya.
Menatap Wajah Allah dalam laku sehari-hari tidak serumit apalagi seseram uraian tulisan ini. Mati maknawi. Perintah. Ciptaan. Atau pengertian-pengertian abstrak lainnya pada detik kesadaran tertentu perlu diabaikan dan boleh tidak berlaku. Cukup kita pelihara niat baik, kesucian batin, dan imajinasi akal.
Demikianlah, setiap diri memiliki kedaulatan sendiri di dalam bermusyahadah kepada Allah. Niteni secara ajeg peran rububiyah yang diamanatkan Allah. Sehingga kata-kata tidak sanggup lagi menampung sikap musyahadah kepada Allah. []