Nyunggi Lengser – Amul Huzni (3)
Kemlagen #15

Oleh: Samsul Huda
Dalam hal kesulitan hidup dan keraguan tentang kesanggupan menyelesaikan pembelajaran di pondok, ternyata saya tidak sendiri. Ada santri lain dengan kondisi yang kurang lebih sama, meneruskan mondok walau kekurangan biaya. Uang kiriman dari rumah tidak cukup untuk kebutuhan setiap bulannya.
Anak Driyorejo Gresik ini satu kelas dengan saya. Namanya Abdul Nafik. Kami memanggilnya Cak Nafik. Dari tampilannya, tampak bahwa dia bisa menyikapi keadaan dengan santuy. Mungkin ia penganut “mazhab” hidup apa adanya, mengalir begitu saja. Karena ketenangan dan sikapnya yang rileks itu pula tak seorang pun di antara saya dan teman-teman yang mengetahui parahnya keadaan ekonomi Cak Nafik. Padahal sudah lima tahun kami bersamanya. Sejak MTs hingga kelas 2 MA.
Saya tidak ingat betul asbabul wurud, konteks hingga detail peristiwanya. Yang pasti, di permulaan liburan panjang tahun 1983/1984 saya ikut dia ke Surabaya.
Untuk apa kami ke Surabaya? Bekerja. Yups, bekerja selama liburan. Kami harus bekerja karena kekurangan biaya. Kerja apa? Di mana? Ternyata saya diajak ke Wonokromo Tengah di kawasan sebelah barat pasar dan stasiun kereta api Wonokromo. Di wilayah itulah saya menjalani hari-hari sebagai pedagang asongan kue.
Sesampainya kami di lokasi, ternyata kampung itu adalah sentra industri rumah tangga berbagai macam kue basah. Hampir semua jenis kue basah (kue tradisional) diproduksi oleh warga Wonokromo Tengah ini. Oleh seorang saudara Cak Nafik, saya diperkenalkan kepada para juragan kue. Dikatakannya bahwa saya akan ikut jualan kue seperti para pedagang asongan kue yang lain. Respons mereka cukup baik. “Lamaran” saya diterima dengan senang hati.
Ada satu musholla ukuran sedang di tengah kampung yang akhirnya menjadi “markas” dari kegiatan sehari-hari kami. Dari mulai mandi, menyiapkan diri untuk berjualan sampai tidur kami lakukan di sana. Barang-barang bawaan seperti baju, sarung dan kopiah kami letakkan di salah satu sudut bangunan mushola.
Di hari pertama saya mengalami kebingungan luar biasa. Antara canggung dan terkejut dengan apa yang harus dilakukan menjadikan saya tidak “prigel” (= cekatan). Setelah berjamaah sholat subuh di mushola, saya segera menyiapkan diri. Untunglah ada saudara Cak Nafik yang mau mencontohkan dan mengajari bagaimana cara mengambil, menata, membawa dan menjajakan kue.
Saya harus mengambil masing-masing jenis kue ke rumah masing-masing produsen. Setiap produsen kue di kampung itu memproduksi satu jenis kue. Tidak ada produksi ganda. Sistemnya setoran. Sebelum mengambil kue harus ada perjanjian mau ambil berapa biji. Sore harinya kami harus membayar sesuai dengan jumlah kue yang diambil. Sisa kue dikembalikan ke masing-masing produsen.
Setelah semua kue terkumpul, saya tata rapi di lengser (talam) besar kemudian saya tutup plastik transparan dan saya angkat ke atas kepala. Saya jajakan kue-kue yang saya sunggi di kepala dengan berjalan kaki. Rutenya dari Wonokromo Tengah menyebrang jalan protokol dan rel kereta api stasiun Wonokromo menuju daerah dengan nama-nama jalan polo pendem (Gembili, Tales, Ubi dll).
Rute ini saya teruskan sampai ke daerah Jemursari dan Wonocolo, tempat kos-kosan mahasiswa IAIN (sekarang Universitas Islam Negeri Sunan Ampel /UINSA). Perjalanan pulang ke Wonokromo Tengah saya sengaja melalui jalanan yang tadi belum dilewati sambil menjajakan sisa kue yang belum laku. Proses ini saya lakukan dua kali dalam sehari, pagi dan sore.
Rata-rata setiap jualan saya mendapat laba Rp 2000. Kalau pagi dan sore jualan, ya mendapat laba bersih Rp 4000. Pada tahun 1984 itu, uang Rp 4000 sudah sangat besar dan banyak. Saking banyaknya sampai-sampai saya berani mimpi. Bercita-cita bahkan punya azam yang sangat kuat untuk kuliah. Ya, pengalaman jualan kue inilah yang menjadi momentum hidayah saya untuk kuliah. Saya harus melanjutkan kuliah karena ada pekerjaan yang bisa memberikan hasil nyata.
Saya tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan untuk kuliah. Pertimbangannya, kalau kuliah saya jualan sekali saja dalam sehari dan masih bisa mendapat uang Rp 2000 x 30 hari = Rp 60.000. Jumlah yang sangat cukup untuk biaya hidup dan kuliah setiap bulannya.
Surat Yunus (10) Ayat 107
وَإِن يَمْسَسْكَ ٱللَّهُ بِضُرٍّۢ فَلَا كَاشِفَ لَهُۥٓ إِلَّا هُوَ ۖ وَإِن يُرِدْكَ بِخَيْرٍۢ فَلَا رَآدَّ لِفَضْلِهِۦ ۚ يُصِيبُ بِهِۦ مَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِۦ ۚ وَهُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ
“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
—oOo—
Kuliah di mana? Saya punya mimpi kuliah di Unair, Universitas Airlangga Surabaya. Ambil jurusan apa? Saat itu belum terpikirkan ambil jurusan apa. Kenapa di Unair? Ya, karena saya mempunyai sahabat Tionghoa yang muallaf. Dia kuliah di jurusan Kedokteran Hewan Unair. Dua atau tiga kali saya diajak mengikuti perkuliahan di sana. Ia juga mengajak berjalan-jalan mengelilingi kampus Unair yang megah dan besar itu hingga saya diajak masuk ke ruang khusus mayat.
Siapa sahabat saya itu? Linto Purwo nama Indonesianya. Tan Liang Kie (Yangkie) nama asli Tionghoa-nya. Dia alumnus SMP Katolik Santo Yusuf, SMA Taruna Nusa Harapan (TNH) Mojokerto, FKH Unair Surabaya dan FIP Undar Jombang. Saat ini, ia menjadi guru ASN mata pelajaran Biologi di SMAN 1 Puri, Mojokerto.
Penulis adalah santri di PP Roudlotun Nasyi’in, Beratkulon-Kemlagi dan PP Amanatul Ummah Pacet. Keduanya di Mojokerto. Mengaku sebagai salah seorang santri di Padhang mBulan, penulis bisa ditemui di kediamannya di dusun Rejoso-Payungrejo, kecamatan Kutorejo, Kab. Mojokerto